Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRIA paruh baya itu terlihat ringkih. Didampingi ajudan berseragam polisi, Inspektur Jenderal (Purnawirawan) M.H. Ritonga bergegas menuju ruang Balai Agung Betawi Dua, Hotel Santika Jakarta. Kamis siang pekan lalu, Wakil Ketua Panitia Seleksi Pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi itu terlambat mengikuti rapat. ”Saya agak kurang sehat,” katanya kepada salah satu anggota staf panitia seleksi yang menjemputnya.
Di dalam ruangan sudah menunggu sebelas anggota panitia seleksi yang lain. Ketua Panitia Seleksi, yang juga Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis Akbar tidak hadir karena dipanggil Presiden. Para anggota panitia seleksi duduk dalam formasi berbentuk huruf ”U”. Di tengah mereka terpacak layar selebar papan tenis meja yang menayangkan satu per satu profil peserta seleksi. Sejak Selasa pekan lalu, panitia memelototi kelengkapan administrasi 233 pendaftar. ”Yang tidak lengkap gugur,” kata Sekretaris Panitia Seleksi Ahmad Ubbe.
Dalam menyeleksi calon pemimpin KPK, panitia berpegang pada syarat yang ditentukan undang-undang. Syarat itu antara lain usia 40-65 tahun, sarjana, berpengalaman di bidang hukum, ekonomi, atau perbankan selama 15 tahun, tidak menjadi salah satu pengurus partai politik, dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Pendaftar yang terbukti masih menjadi anggota partai politik tertentu atau umurnya tidak memenuhi persyaratan langsung dinyatakan gugur.
Pengacara Farhat Abbas misalnya. Menurut Ubbe, Farhat adalah pendaftar pertama dalam seleksi kali ini. Namun, karena usianya masih 35 tahun, Farhat dinyatakan didiskualifikasi panitia. Dalam seleksi sebelumnya, saat panitia mencari pemimpin pengganti Antasari Azhar, yang terjerat kasus pembunuhan, Farhat juga ikut mendaftar. Tapi panitia tidak meloloskannya dengan alasan usia. Farhat sempat melakukan perlawanan. Ia mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi soal batas usia menjadi pemimpin KPK. Tapi perlawanannya kandas.
Hasnaeni juga menjadi peserta yang gugur sebelum berperang. Selain terpental karena usianya 37 tahun, perempuan ini terang-terangan mengaku sebagai kader partai. Padahal panitia sudah mengharamkan kader partai mendaftar. Dari penelusuran Tempo, Hasnaeni tak lain adalah Mischa Moein, yang memiliki nama lengkap Hasnaeni Muslim. Ia putri politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Max Moein. Hasnaeni juga pernah membintangi sejumlah sinetron. Yang paling terkenal adalah sinetron Jin dan Jun pada 2000-an. ”Ia juga sudah kami coret,” kata Ubbe.
Akhir pekan lalu, panitia merampungkan uji administrasi. Ada 142 pendaftar yang lolos. Menurut Ubbe, pihaknya hanya punya waktu dua bulan untuk memilih nama calon yang akan disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam kurun waktu itu, seleksi yang dilakukan berupa pembuatan makalah, profil assessment, rekam jejak, dan wawancara. Setelah itu, seleksi akan dilanjutkan di Dewan Perwakilan Rakyat. ”Diharapkan Desember nanti sudah terpilih pimpinan KPK yang baru,” ujarnya.
PESERTA seleksi yang lolos administrasi banyak didominasi profesi pengacara. Dari 49 pengacara, berdasarkan penelusuran Tempo, ada sejumlah nama yang memiliki catatan buruk. Arbab Paproeka misalnya. Pengacara yang juga bekas anggota DPR dari Partai Amanat Nasional ini pernah disebut-sebut menerima US$ 40 ribu (sekitar Rp 400 juta) dalam proyek dana stimulus infrastruktur perhubungan di kawasan timur Indonesia. Awal 2009, proyek itu menyeret politikus PAN, Hadi Djamal. Kepada Tempo ketika perkara itu bergulir, Arbab berkali-berkali membantah keterlibatannya dalam proyek itu.
Ediwarman juga tercatat memiliki catatan karier yang kurang ”mulus”. Pada Mei 2007, pengacara kondang di Medan ini pernah diadili karena diduga memalsukan surat otentik untuk menjadi barang bukti kliennya. Karena jaksa tidak bisa membuktikan tuduhan itu, Ediwarman akhirnya divonis bebas. Ada juga nama Mahendradatta, bekas pengacara Muchdi Pr. dalam kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir.
Dari korps Adhyaksa, ada tiga pendaftar yang juga lolos seleksi administrasi. Mereka adalah Fachmi, Zulkarnain, dan K.R.H. Badri. Nah, menurut sumber Tempo, tiga jaksa ini memiliki catatan yang kurang baik. Fachmi misalnya. Ini kedua kalinya Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat itu mendaftar seleksi calon anggota pimpinan KPK. Saat penelusuran rekam jejak seleksi sebelumnya, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia mendapat sejumlah catatan buruk kinerja Fachmi di kejaksaan.
Rekam jejak Fachmi dinilai cacat karena pernah mendapat sanksi dari Jaksa Agung Hendarman Supandji. Tak hanya ”dikandangkan” menjadi anggota staf ahli Jaksa Agung, ia juga pernah turun pangkat setahun karena dianggap melanggar prosedur penerbitan penuntutan perkara kasus pembalakan di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Tuntutan itu berbuah vonis bebas untuk Adelin Lis, bos PT Keang Nam Development.
Fachmi menyatakan tak bersalah dalam kasus tersebut. Itu, ujarnya, karena jaksa ketika itu menuntut Adelin hukuman sepuluh tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Buktinya, kata Fachmi, adalah terbitnya putusan kasasi Mahkamah Agung yang menghukum Adelin sepuluh tahun dan denda Rp 1 miliar. Berkat vonis ini, Fachmi menyatakan sanksi penurunan pangkatnya dicabut.
Di kalangan jaksa, Fachmi dikenal sebagai jaksa yang kerap menangani kasus-kasus korupsi kakap. Ia, misalnya, adalah jaksa yang menangani kasus korupsi tukar guling tanah Badan Urusan Logistik dengan tersangka Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Fachmi jugalah yang menuntut Akbar Tandjung empat tahun penjara dalam perkara penyalahgunaan dana nonbujeter Bulog. Belakangan, di Mahkamah Agung, Tommy dan Akbar divonis bebas.
Sedangkan K.R.H. Badri, saat menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Poso pada 2004, pernah disebut-sebut menerima uang dari tersangka korupsi di Dinas Kesehatan Sosial Poso Anwar Ali. Ketika itu, Kejaksaan Negeri Poso menahan Anwar karena diduga melakukan korupsi dana jaminan hidup dan bekal hidup pengungsi Poso. Belakangan, Anwar bebas dari tahanan setelah ada surat jaminan. Kepada sejumlah media di Poso, Anwar mengaku pembebasannya itu tak gratis. Ia, misalnya, harus menyetor Rp 100 juta kepada Badri. Kendati Badri menyanggah tuduhan itu, akibat kasus ini, ia kemudian dimutasi ke Jawa Timur.
Zulkarnain, menurut seorang sumber Tempo”yang juga seorang jaksa”relatif tidak banyak diterpa isu miring. Bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan dan Jawa Timur itu kini menjadi anggota staf ahli Jaksa Agung. Soal ”rombongan” jaksa yang mendaftar menjadi pemimpin KPK ini, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Noor Rachmat menjamin mereka orang-orang terbaik. ”Mereka tidak ditunjuk institusi, tapi berdasarkan kemauan sendiri,” kata Noor.
Berbeda dengan kejaksaan, calon berlatar belakang polisi didominasi pensiunan. Mereka di antaranya bekas Deputi Pembinaan Markas Besar Polri Inspektur Jenderal (Purnawirawan) Ariyanto Sutadi, bekas Wakil Kepala Polri Nana Rukmana, dan bekas kepala di Deputi Logistik Mabes Polri Brigadir Jenderal (Purnawirawan) Idris. Adapun yang masih aktif antara lain Ade Rahardja, yang kini menjadi Deputi Penyidikan KPK. Menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S. Pane, dari nama-nama itu, hanya Ariyanto yang layak. ”Dia bagus dan tergolong bersih,” kata Neta.
Adapun perihal Ade Rahardja yang ikut mendaftarkan diri, Neta meminta Ade lebih baik mengundurkan diri. ”Selama di KPK, ia tidak pernah menyeret satu pun petinggi polisi,” katanya. Padahal, ujar Neta, sejumlah lembaga swadaya masyarakat berkali-kali melansir hasil penelitian yang menyebut kepolisian sebagai salah satu lembaga terkorup. ”Dia tidak netral.”
Indonesia Corruption Watch tetap menghendaki pimpinan KPK tidak berasal dari polisi, jaksa, dan pengacara yang membela kasus korupsi. Kalau unsur itu masih ada, kata Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho, kriteria calonnya harus memiliki integritas, independen, berani mengambil risiko, dan bebas dari konflik kepentingan. Sebab, kata dia, tantangan pimpinan KPK ke depan jauh lebih berat. Perkara yang ditangani juga banyak menyerempet partai besar. ”Supaya bernyali.”
Sejumlah tokoh penggiat korupsi juga turut mendaftar, di antaranya pengacara Bambang Widjojanto serta Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein. Adapun orang dalam KPK, selain Ade, yang mendaftarkan diri adalah juru bicara Johan Budi, Deputi Pengawasan Internal Handoyo Sudrajat, dan Wakil Ketua KPK Chandra Marta Hamzah.
Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Hasril Hartanto meminta panitia seleksi benar-benar memilih calon berkualitas dan rekam jejaknya yang antikorupsi tak diragukan. ”Integritas itu hal yang mutlak,” katanya.
Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo