Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=arial size=1 color=brown><B>Sel Mewah Ayin</B></font><BR />Sementara, Dikarantina Dulu

Kasus sel mewah Ayin membuat Kepala Rumah Tahanan Pondok Bambu dicopot dari jabatannya. Pemerintah menyiapkan Rp 1 triliun untuk membenahi penjara.

18 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA perempuan itu masuk ke ruang tahanan berukuran 2,5 x 2,5 meter dengan muka masam. Mereka, Artalyta Suryani, Darmawati Dareho, dan Liem Marita, Kamis tengah malam pekan lalu ”resmi” jadi penghuni baru Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, setelah tinggal di sel mewah di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur.

Di rumahnya yang anyar itu, Ayin, demikian Artalyta dipanggil, harus berbagi kasur busa dengan dua rekannya tersebut. Ketiganya memang dimasukkan ke ruang yang sama, kamar nomor 3 Blok Menara. Ruang tahanan itu dilengkapi kamar mandi dan toilet jongkok. ”Ini sel asimilasi bagi narapidana baru,” kata Kepala Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang Arti Wirastuti. Ketiganya akan mendekam di sel itu sepekan sebelum dipindahkan ke sel permanen. ”Selama di dalam sel tersebut mereka tidak boleh dibesuk.”

Ayin, 47 tahun, merupakan terpidana lima tahun penjara atas kasus suap US$ 660 ribu (sekitar Rp 6,6 miliar) terhadap jaksa Urip Tri Gunawan. Adapun Liem Marita alias Aling narapidana kasus narkoba yang divonis seumur hidup oleh Mahkamah Agung, serta Darmawati Dareho terpidana suap pembangunan bandar udara dan dermaga di wilayah timur Indonesia.

Ayin dipindahkan ke Penjara Tangerang setelah Tim Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum memergoki sejumlah kemewahan yang dinikmatinya saat melakukan inspeksi mendadak Ahad dua pekan lalu. Di kamar tidurnya di Pondok Bambu, misalnya, terdapat kasur pegas ukuran dobel dan televisi layar datar 21 inci. Di situ juga ada mesin penyejuk udara yang disembunyikan di lemari pakaian.

Tim juga menemukan Ayin ternyata ”menyulap” lantai tiga gedung administrasi rumah tahanan tersebut jadi kantor pribadi. Ruang kerja seluas 6 x 6 meter itu, selain dilengkapi AC, diisi seperangkat sofa, meja kerja, dan kulkas yang penuh buah dan camilan.

Fasilitas tak kurang mencengangkan juga ditemukan Tim Pemberantasan Mafia di kamar tahanan Aling. Sel itu dilengkapi seperangkat alat karaoke dan televisi. Di tahanan, Aling pun ke mana-mana menenteng BlackBerry.

l l l

Patrialis Akbar baru saja salat magrib saat tiga tamunya itu muncul di rumahnya di Jalan Cakra Wijaya, Cipinang Muara, Jatinegara, Jakarta Timur. Kepada tuan rumah, Ahad dua pekan lalu, tamu tersebut, Denny Indrayana, Mas Achmad Santosa, dan Yunus Husein dari Tim Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum meminta izin menginspeksi Rutan Pondok Bambu. Mereka menyatakan menerima informasi ada tahanan yang mendapat perlakuan istimewa. Patrialis kaget mendengar alasan itu. ”Belum lama saya ke sana, tapi kok tidak lihat,” katanya. Patrialis datang ke Pondok Bambu tiga pekan sebelum tim menggerebek.

Denny, Sekretaris Tim, mengajak Patrialis ikut bersama mereka menengok Pondok Bambu. Tapi Patrialis menyatakan tak bisa. ”Saya tidak ikut, ada acara di kediaman Menteri Sosial,” kata Patrialis.

Tiba di pintu gerbang penjara, Denny mengontak Patrialis melalui telepon seluler. Kala itu Patrialis sudah hadir di acara pernikahan putra Menteri Sosial. Berbicara sebentar dengan Patrialis, ia lalu menyerahkan teleponnya ke penjaga pintu gerbang. ”Saya instruksikan agar diberi akses ke mana pun, jangan ditutup-tutupi,” kata Patrialis kepada petugas jaga tersebut. Tim Pemberantasan Mafia Hukum yang dibentuk Presiden itu pun langsung menuju ruang tahanan Ayin. Berita tentang Ayin memiliki istana di Pondok Bambu dengan cepat tersiar ke luar.

Geger Ayin memiliki fasilitas mewah itu pun ”mengguncang” Departemen Hukum. Dua hari kemudian, Selasa pekan lalu, Patrialis mengumpulkan semua pejabat departemennya. Keputusan diambil, Kepala Rutan Pondok Bambu Sarju Wibowo dicopot dari jabatannya. Posisinya digantikan Catur Budi Fatayatin, Kepala Rutan Kelas II-A Jakarta Timur. ”Pak Sarju itu sebetulnya bagus. Kesalahannya, dia tidak berani tegas,” kata Untung Sugiyono, Direktur Jenderal Pemasyarakatan, kepada Tempo. Kala Untung menjabat Kepala Kantor Wilayah Hukum Jawa Tengah, Sarju Kepala Lembaga Pemasyarakatan Jepara.

Inspektorat Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia kini tengah menyelidiki lolosnya berbagai fasilitas itu. Patrialis juga menyatakan akan merotasi pegawai dan sipir Rutan Pondok Bambu. Menurut Untung, Ayin dan narapidana yang ketahuan menggunakan berbagai fasilitas berlebihan akan dikenai sanksi disiplin setelah pemeriksaan rampung. ”Bisa jadwal kunjungannya dikurangi atau tidak mendapat remisi,” ujarnya.

Untung selamat dalam kasus ini. Ia tak mendapat sanksi apa pun. ”Dirjen Pemasyarakatan tidak tahu-menahu kondisi di Pondok Bambu,” kata Patrialis. Menurut dia, pengawasan di tahanan itu menjadi kewenangan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta.

Menurut Untung, lembaga pemasyarakatan memang menghadapi banyak masalah. Misalnya, tak sebandingnya jumlah narapidana dan kapasitas penjara. Sebanyak 527 penjara yang ada sekarang ini, kata Untung, dijejali 132 ribu orang, yang 30 persen di antaranya narapidana narkoba. Padahal, semestinya maksimal 90 ribu orang. ”Semua penjara yang ada sudah melebihi kapasitas, terutama di kota-kota besar,” kata Untung. Dia mencontohkan Penjara Cipinang yang sebenarnya hanya bisa menampung seribu tahanan. ”Sekarang di sana ada sekitar 2.500 narapidana.”

Untung memperkirakan pada tahun-tahun mendatang ruang penjara akan makin sesak lantaran jumlah narapidana setiap tahun selalu bertambah. Data Direktorat Pemasyarakatan memang menunjukkan penambahan tahanan baru dua kali lipat dibanding penambahan ruang tahanan. Masalah lain, kata dia, perbandingan jumlah sipir dan tahanan juga tidak imbang. Idealnya, menurut Untung, seorang sipir mengawasi 25 tahanan. ”Sekarang satu sipir bisa mengawasi 70 orang. Sangat berat,” ujarnya.

Satu-satunya cara, kata Untung, memang mesti dibangun penjara baru atau merenovasi penjara yang ada. Tapi, dari segi dana, ini bukan perkara mudah. ”Biaya membangun ruang tahanan mahal,” ujarnya. Untuk membangun penjara dengan kapasitas 500 orang, misalnya, dibutuhkan dana hingga Rp 35 miliar. Itu hanya untuk membangun, belum termasuk peralatan dan fasilitas lainnya.

Tapi kasus Ayin rupanya membuat pemerintah membuka mata terhadap masalah ”klasik” ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan telah menyiapkan dana Rp 1 triliun untuk keperluan perbaikan penjara. Dengan dana sebesar itu, Untung memperkirakan, dalam waktu tiga tahun, kelak, semua narapidana akan mendapat sel yang layak. ”Kalau sekarang ini kami ibaratnya serdadu tanpa senapan sedang diserang musuh,” kata Untung menunjuk banyaknya cercaan yang mengarah ke instansinya.

Sutarto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus