Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUDY Sebastian seperti tak memiliki kelelahan memperjuangkan nasibnya. Bersama istrinya, Imas Tini Kartini, ia datangi sejumlah lembaga hukum. Dari Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, hingga Lembaga Bantuan Hukum. Kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ia juga sudah mengadukan nasibnya. Tapi tetap saja belum ada perubahan.
Awal Agustus lalu, pria 38 tahun ini baru keluar dari penjara. Setahun ia mendekam di penjara Garut. Pengadilan Negeri Garut menyatakan ia bersalah, menguasai rumah tanpa izin pemiliknya. Putusan ini diperkuat oleh pengadilan tinggi. Kendati hanya setahun di penjara, Rudy merasa telah menjadi korban kesewenang-wenangan.
Di dalam penjara itu pula ia kehilangan salah satu penglihatannya. Mata kanannya buta dianiaya sejumlah tahanan. ”Saya dihukum atas perbuatan yang tidak saya lakukan,” kata bapak empat putri ini kepada Tempo di rumahnya, di kawasan Karangpawitan, Garut. Bersama keluarganya, pada 1996, Rudy hijrah dari Palembang ke kota dodol ini.
PETAKA ini berawal pada November 2003. Saat itu ia ditawari membeli sebuah rumah di Jalan Ahmad Yani, Garut. Awalnya, ia tak tertarik lantaran kondisi rumah itu rusak. ”Kosen dan pintunya keropos,” ujar Rudy. Tapi sang pemilik rumah, Agus Susanto, dan istrinya, Neneng Mulya, terus membujuk. Harga yang ditawarkan Agus Rp 85 juta. Menurut Rudy, Agus hanya minta uang muka Rp 10 juta dan sisanya diangsur tiga kali. ”Mereka mengaku kepepet utang.”
Akhirnya, Rudy menerima tawaran Agus. Ia memang butuh rumah karena selama di Garut tinggal dari satu kontrakan ke kontrakan lain. Di Garut, Rudy merintis usaha servis alat-alat elektronik. Sebagai tanda jadi, kala itu Rudy menyerahkan kepada Agus Rp 5 juta. ”Mereka berjanji mengosongkan rumah seminggu kemudian,” katanya.
Ternyata Agus tidak meninggalkan rumah itu. Dia hanya bersedia pergi jika sisa uang muka dilunasi. Rudy lantas menyerahkan sisa uang muka Rp 5 juta. Perjanjian tertulis pun dibuat. Sisa pembayaran sebesar Rp 75 juta akan diangsur tiga kali. Masing-masing Rp 25 juta pada Juni, Juli, dan Agustus 2004. Rudy pun menempati rumah tersebut.
Namun, baru tiga pekan Rudy menempati rumah tersebut, Agus datang menagih angsuran. ”Saya mengalah dan membayar Rp 3 juta,” kata Rudy. Menagih di luar jadwal kesepakatan itu diulangi Agus pada Maret 2004. Dengan alasan ”menggenapkan” uang muka jadi Rp 15 juta, Agus minta Rp 2 juta lagi.
Pada Mei 2004, giliran Rudy mendapat musibah. Kakak perempuannya mesti menjalani operasi kanker dan ia harus membantu biayanya. Akibatnya, ia tak bisa memenuhi kewajiban membayar angsuran. Agus memberi batas waktu hingga September 2004 dengan syarat pembayaran rumah harus lunas. Pada September 2004, dengan uang pinjaman, Rudy bermaksud melunasi utangnya. Namun, di luar dugaan, Agus menolak. ”Uang itu bukan milikmu, tidak sah,” kata Rudy menirukan ucapan Agus.
Yang mengejutkan, Agus justru meminta rumahnya kembali. Rudy jelas emoh. Apalagi rumah itu sudah diperbaikinya. Sejak itulah ia dan keluarganya diteror sejumlah orang. Peneror meminta ia hengkang dari rumah itu. Sejumlah preman dan aparat juga pernah datang mencoba mengusirnya. Ia bahkan juga pernah mendapat surat dari Pengadilan Negeri Garut yang berisi perintah pengosongan rumah. ”Bagaimana surat itu keluar tanpa ada pengadilan?” katanya heran.
Agus lantas melaporkan Rudy ke polisi. Ia dituduh melakukan tindak pidana, menguasai tanah dan bangunan tanpa hak, serta merenovasi rumah tanpa izin. Sejak itulah ia berurusan dengan polisi sampai kemudian kasusnya masuk Pengadilan Negeri Garut.
Sama seperti saat diperiksa di polisi, di ruang sidang pun Rudy nyaris tak mendapat kesempatan membela diri. ”Setiap kali bicara, dipotong oleh ketua majelis hakim Imam Su’udi,” ujarnya menyebut nama hakim yang juga menjabat Ketua Pengadilan Negeri Garut saat itu. Pada 21 Maret 2006, pengadilan pun memvonis Rudy hukuman satu tahun penjara.
Rudy langsung mengajukan permohonan banding. Sia-sia. Pengadilan Tinggi Jawa Barat menguatkan putusan Pengadilan Negeri Garut. Bahkan pengadilan memutuskan rumah tersebut harus dikembalikan ke Agus. Putusan banding ini baru diterimanya setelah lebih dari sebulan ditetapkan. Artinya, peluangnya mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung tertutup.
Putusan ini mengubah kehidupannya secara total. Keluarganya terusir dari rumah yang ditempatinya dan ia dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Garut. Di penjara, kekejaman lain menyambutnya. Ia dihajar oleh sejumlah sipir dan tahanan. Salah satunya adalah Ahmad Sarif, adik Agus Susanto. Akibatnya fatal. Mata kanannya rusak dan lantas buta.
LEMBAGA Bantuan Hukum Bandung kini bersiap menyiapkan sejumlah langkah untuk menangani ketidakadilan yang menimpa Rudy. Menurut Arip Yogiawan, pengacara LBH Bandung yang juga salah satu kuasa hukum Rudy, pihaknya akan menggugat secara perdata kepemilikan rumah di Jalan Ahmad Yani serta melakukan uji publik atas putusan Pengadilan Garut. Uji publik akan dilaporkan ke Komisi Yudisial.
Menurut Arip, pengadilan menjerat Rudy dengan Pasal 12 Undang-Undang tentang Perumahan dan Permukiman. Pasal itu menyatakan penguasaan rumah tanpa izin pemilik dapat dipidana penjara maksimal 2 tahun dan denda Rp 20 juta. ”Penerapan pasal ini tidak tepat,” kata Arip. ”Seharusnya ini urusan perdata.” Hak Rudy di persidangan juga tidak dipenuhi. Rudy, ujar Arip, tak diberi kesempatan mengajukan pembelaan dan saksi meringankan.
Putusan terhadap kasus penganiayaan yang menimpa Rudy di penjara juga jauh dari rasa keadilan. Tiga sipir pelakunya, Agus Catur Prasetyo, Oki Setiawan, dan Ahmad Sarif, hanya divonis hukuman percobaan 3 bulan. Sidangnya pun, kata Arip, cepat, hanya satu hari, bak sidang tindak pidana ringan. ”Ada kesalahan penerapan delik,” ujarnya. Karena itulah LBH, kata Arip, segera melakukan uji publik atas putusan hakim itu.
Tapi, kepada Tempo, mantan ketua majelis hakim kasus ini, Imam Su’udi, menyatakan perkara Rudy sudah tuntas. Rudy, kata Imam, sudah diberi hak membela diri. ”Termasuk menghadirkan saksi meringankan,” ujar Imam, yang kini menjadi Ketua Pengadilan Negeri Sragen. Hakim, kata dia, memutus Rudy bersalah karena ia tak bisa menunjukkan bukti perjanjian jual-beli rumah. ”Vonis itu sudah sesuai prosedur,” katanya.
Adapun Agus Susanto kini didera stroke. Namun Gungun Gunawan, putra Agus, yakin ayahnya di pihak yang benar. ”Orang tua saya malah banyak mengalah,” ujarnya. Uang Rp 10 juta yang lantas meningkat jadi Rp 15 juta itu, kata Gunawan, bukan uang muka pembelian rumah. ”Itu uang sewa.” Menurut Gunawan, sesuai dengan perjanjian, jika sampai Agustus 2004 rumah itu belum dilunasi, uang Rp 10 juta tersebut dianggap ”uang kontrak”. Ayahnya, kata Gunawan, juga tak pernah berniat menjebloskan Rudy ke penjara. Hakim, ujarnya, sudah beberapa kali menawarkan perdamaian. ”Tapi dia tolak. Sekarang dia terima akibatnya.”
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim menyesalkan terjadinya penganiayaan terhadap Rudy di dalam penjara. Komnas HAM, kata Ifdhal, akan menindaklanjuti kasus kekerasan ini. ”Karena itu bentuk pelanggaran HAM.”
Rudy memang sudah bebas dari penjara. Ia tetap tak memiliki rumah dan tinggal di kontrakan. Untuk hidup sehari-hari, ia dan keluarganya mengandalkan bantuan kerabatnya. Akibat penganiayaan di penjara, tubuhnya kini sakit-sakitan. ”Kondisi fisik saya tak memungkinkan bekerja seperti dulu,” katanya.
Dimas A., Rana Akbari Fitriawan (Garut), Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo