Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keluar dari kelaziman adalah cara yang dipilih Sutiyoso untuk memasuki bursa pencalonan presiden. Dia tidak mendirikan partai baru. Dia tidak menunggu dicalonkan partai. Agaknya dia tahu, tempo bisa habis lebih lama bila calon menempuh ”ritual basa-basi”: mula-mula menolak tapi sebetulnya merindukan ”lamaran”.
Sutiyoso pilih ”tembak langsung”: pagi-pagi mengumumkan niat menjadi Presiden Indonesia pada 2009 secara terbuka. Bekas Panglima Kodam Jakarta itu lalu menyilakan partai mana pun menelisik rekornya dengan leluasa jika ada minat meminang.
Cara yang terkesan terlalu percaya diri ini ada tujuannya. Ia perlu promosi besar. Sebab, popularitas Sutiyoso cekak benar bila disandingkan dengan Presiden Yudhoyono atau bekas presiden Megawati. Penelitian terbaru Lembaga Survei Indonesia mencatat dia hanya disokong satu persen suara. Yudhoyono mendapat 32 persen, Megawati kebagian 18 persen. Maka, masuk bursa dengan cara beda harus dilihat sebagai bagian dari upaya menciptakan promosi tadi. Lumayan cerdik dan membetot perhatian.
Seandainya Sutiyoso sukses besar memimpin Jakarta, mungkin tradisi baru akan tercipta: gubernur berprestasi merupakan salah satu sumber rekrutmen calon presiden. Bang Yos sepuluh tahun memimpin Jakarta, provinsi ”paling ruwet” se-Indonesia, dengan angka rapor biru dan merah. Rapornya biru tatkala dia berhasil mewujudkan busway, proyek kontroversial yang sekarang banyak dipuji penduduk kelas menengah DKI. Tapi, dalam soal penanganan banjir, yang memang berat, dia bisa dikatakan gagal. Jadi, sulit menilai dengan suara bulat.
Maka, harus dicari keunggulan lain untuk ”dijual”. Para pendukungnya sekarang aktif menyiarkan citra Sutiyoso sebagai pemimpin tegas dan mampu membuat keputusan cepat—sebagai antitesis terhadap kepemimpinan nasional yang lamban dan ragu. Kelebihan bergerak cepat, yang tentu datang dari pengalaman 25 tahun memimpin pasukan tempur, dianggap akan berguna menyiangi begitu banyak persoalan Republik yang sekarang seperti tak tersentuh.
Dengan kata lain, Sutiyoso mengambil posisi head to head dengan presiden yang sedang berkuasa. Ia terkesan tak rikuh. Mungkin karena ia memang lebih senior dibanding Susilo Bambang Yudhoyono di militer. Sutiyoso lulus Akademi Militer Nasional pada 1968, SBY baru lulus Akabri lima tahun kemudian. Mengajak orang membayangkan Indonesia sekarang dipimpin seorang presiden yang tegas merupakan strategi jitu, walau bisa menyesatkan. Sebab, bobot pekerjaan seorang presiden dan gubernur sangat jauh berbeda.
Meski begitu, Sutiyoso sedikit mengubah warna konvensional calon presiden yang umumnya datang dari pos di kementerian atau militer. Di era reformasi, dialah gubernur pertama yang mencalonkan diri sebagai presiden ketika sedang aktif memimpin provinsi. Ini juga sebuah strategi agar ingatan orang tetap lekat padanya, meskipun ada kritik bahwa pencalonan ini tak etis ketika pejabat negara belum rampung masa tugasnya.
Ada kritik lain. Sutiyoso datang tanpa program. Masyarakat tak melihat dengan jelas agenda yang dia tawarkan. Mereka yang kini mendukungnya boleh jadi tak mau pusing terhadap rencana kerjanya, tapi membayangkan posisi atau keuntungan yang akan didapat kalau Sutiyoso menang. Ini pun bukan dosa, meskipun terkesan kurang sehat bagi perkembangan demokrasi.
Alhasil, pada masa pemilihan umum langsung ini, rakyatlah yang akan menentukan sang pemenang. Kiat usang yang mesti tetap dipegang: teliti dulu sebelum membeli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo