Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMANGAT Ifdhal Kasim meluap kembali. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia itu sudah menunggu dua tahun untuk mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kesempatan itu akhirnya tiba. Dua disertasi doktoral memberinya dukungan untuk membawa rancangan revisi itu ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Sabtu dua pekan lalu, di Universitas Sumatera Utara, Medan, Binsar Gultom mempertahankan disertasinya, ”Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Hukum Keadaan Darurat di Indonesia”. Salah satu kesimpulannya, pengadilan hak asasi manusia ad hoc yang pernah ada di Indonesia tidak efektif.
Senin pekan lalu, di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Busyro Muqoddas, kini Ketua Komisi Yudisial, juga mempertahankan disertasi ”Kasus Komando Jihad Ditinjau dari Perspektif dan Transparansi Kekuasaan Kehakiman”ß. Semua disertasi itu lulus dengan predikat sangat memuaskan.
Ifdhal, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2007-2012, mendapat bekal untuk maju ke DPR. ”Bulan depan usulan revisi akan saya ajukan ke DPR,” ujar sarjana hukum lulusan UII Yogyakarta ini.
Disertasi Busyro mengangkat kasus Komando Jihad, sebutan yang dipakai untuk pengikut Negara Islam Indonesia. Kesimpulan Busyro, telah terjadi pelanggaran hak asasi oleh pemerintah dalam penyelesaian kasus itu. Lantaran terjadi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia di masa lampau, pemerintah tetap memandang perlu mempertahankan pengadilan ad hoc hak asasi manusia.
Binsar menunjuk adanya instrumen yang tidak efektif dalam pengadilan hak asasi manusia ad hoc. Yang ia maksud adalah aturan yang mensyaratkan rekomendasi DPR untuk membentuk pengadilan hak asasi manusia ad hoc. ”Selain makan waktu panjang, ini bisa menyebabkan saksi atau alat bukti yang diperlukan hilang,” kata hakim Pengadilan Negeri Bengkulu yang juga pernah menjadi hakim pengadilan hak asasi manusia kasus Timor Timur ini. Akibat tak mendapat rekomendasi DPR, sejumlah kasus yang dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi berat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tidak dapat ditindaklanjuti kejaksaan.
Mekanisme pembentukan pengadilan hak asasi manusia ad hoc merupakan salah satu yang diusulkan Komisi Nasional untuk direvisi. Komisi mengusulkan pembentukan pengadilan itu tak perlu lagi rekomendasi DPR.
Anggota Komisi Hukum DPR, Topane Gayus Lumbuun, sependapat dengan Binsar. Ia juga setuju adanya revisi mekanisme pembentukan pengadilan hak asasi manusia yang diusulkan Komisi Nasional. Menurut Gayus, pelanggaran hak asasi merupakan masalah hukum yang mestinya tak bisa dibawa ke forum politik seperti DPR. Karena, ”Ini akan membuka peluang terjadinya intervensi kekuatan politik atas masalah hukum.”
Menurut Gayus, tak perlu mengubah undang-undang untuk mengubah mekanisme itu, cukup diputuskan di tingkat paripurna DPR. Toh, Gayus berpendapat keterlibatan DPR tetap diperlukan, tapi sebatas meneruskan rekomendasi ke Presiden. ”Berdasarkan hasil penyelidikan Komisi Nasional dan penyidikan kejaksaan, DPR kemudian meminta Presiden membentuk pengadilan hak asasi manusia,” kata Gayus. Dalam pandangan Gayus, DPR memang tidak menguji dan menentukan sebuah kasus adalah pelanggaran hak asasi berat atau bukan pelanggaran.
Soal keterlibatan DPR dalam pembentukan pengadilan hak asasi manusia ad hoc pernah dipermasalahkan Eurico Guterres, salah satu terdakwa kasus pelanggaran hak asasi berat kasus Timor Timur. Eurico menggugat kewenangan DPR ini ke Mahkamah Konstitusi.
Pada 2007, dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan keterlibatan DPR sebagai representasi rakyat tetap diperlukan. Menurut Mahkamah, rekomendasi Dewan harus didasarkan pada hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan penyidikan kejaksaan. Di mata Ifdhal Kasim, putusan Mahkamah memberikan kewenangan pada kejaksaan untuk melakukan penyidikan tanpa menunggu rekomendasi DPR.
Rupanya kesimpulan Ifdhal ditolak Gedung Bundar. Kejaksaan tak sepakat. Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan, sebelum ada rekomendasi Dewan, penyidikan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat tidak bisa dilakukan. ”Pengadilan hak asasi manusia, kalau itu berlaku retroaktif, harus mendapat persetujuan politik," ujar Hendarman.
Selain soal rekomendasi Dewan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengusulkan revisi hukum acara pengadilan hak asasi. Undang-undang yang ada sekarang dianggap sumir. Komisi menunjuk adanya klausul yang menyebut bahwa sepanjang tidak disebut dalam undang-undang ini, maka mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.
Komisi Nasional berkeberatan dengan klausul itu karena dinilai akan menimbulkan masalah dalam penentuan alat bukti. KUHAP menyebutkan bahwa yang bisa dijadikan alat bukti adalah keterangan saksi, barang, keterangan ahli, keterangan terdakwa, dan petunjuk. Sementara itu, dalam kasus dugaan pelanggaran hak asasi berat, Komisi sulit mendapatkan bukti secara langsung. Maka, Komisi mengusulkan bukti rekaman, video, dokumen, dan informasi yang menurut KUHAP hanya ”petunjuk”, bisa dijadikan alat bukti.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menganggap revisi ini sangat penting. Jika revisi ditolak, Komisi Nasional tak lebih hanya menjadi macan ompong. Bila revisi diterima, menurut Ifdhal, Komisi akan lebih bergigi. ”Kejaksaan bisa menindaklanjuti temuan Komisi Nasional tanpa menunggu suara DPR,” ujarnya.
Erwin Dariyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo