Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUBUHNYA lunglai terduduk di kursi ruang tunggu di pintu gerbang Istana Negara. Di tangannya tergenggam empat lembar surat tulisan tangannya sendiri. Kekecewaan tergores jelas di wajah perempuan 48 tahun itu. Menunggu berjam-jam di ruang kaca itu, ia tetap tak bisa menjumpai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Selasa dua pekan lalu, Esi Ronaldi ingin menyampaikan isi hatinya kepada SBY. Dia akan mengadu soal pengusutan kasus tewasnya suaminya, Irzen Octa, 50 tahun. Dalam surat yang menurut Esi ia buat semalaman itu, ada enam poin yang ingin disampaikan ke SBY. Intinya, ia meminta bantuan dan perhatian Istana atas kasus tewasnya suaminya. ”Mohon Bapak Presiden mendesak pihak Citibank bertanggung jawab secara perdata, mengingat suami saya adalah pemberi nafkah bagi saya dan kedua putri saya,” demikian antara lain isi surat tersebut. Jumat dua pekan lalu, setelah gagal bertemu dengan Presiden, Esi mengadukan kasus suaminya itu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Menurut Esi, ada dua hal yang mengganjal berkaitan dengan tewasnya suaminya, yang sehari-hari juga menjabat Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Bangsa. Pertama, soal hasil otopsi versi polisi yang dinilainya janggal dan tak lengkap dalam menyimpulkan kematian suaminya. Kedua, soal tidak adanya pihak Citibank yang ikut dipersalahkan dalam kasus ini.
Irzen meninggal di Ruang Cleo kantor Citibank Menara Jamsostek, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, pada 29 Maret silam. Nasabah pemegang kartu platinum itu tewas dianiaya saat hendak membereskan tagihan kartu kredit yang membengkak hingga menjadi Rp 100 juta dari semula hanya Rp 48 juta. Tidak mendapat penjelasan tentang membengkaknya tagihannya itu, dia malah dibawa ke ruang bagian penagihan dan dipaksa penagih utang yang semuanya kini telah jadi tersangka itu untuk membayar.
Pengacara keluarga korban, Otto Cornelis Kaligis, menilai Citibank salah dalam penanganan korban. Dalam pengaduannya ke Komnas HAM, pengacara senior itu menuduh Citibank juga melakukan penggelapan fakta. Pemindahan jenazah Irzen dari tempat kejadian perkara ke Rumah Sakit Mintohardjo, misalnya, dilakukan tanpa menunggu polisi.
Menurut Kaligis, keluarga saat itu juga mempertanyakan hasil otopsi yang dibuat polisi pada 29 Maret 2011. Hasil otopsi tersebut dinilai tidak valid karena tak sesuai dengan fakta. Misalnya, disebutkan ada luka lecet di dekat hidung serta tanda-tanda mati lemas. Satu bulan kemudian pihak keluarga meminta ahli forensik Mun’im Idris melakukan otopsi ulang terhadap jenazah Irzen. Hasilnya, ditemukan banyak memar di sekujur tubuh Irzen, yang menurut Mun’im akibat kekerasan benda tumpul.
Country Corporate Affairs Head Citibank Indonesia Ditta Amahorseya tidak mau berpanjang-lebar menanggapi persoalan ini. Pihak Citibank, ujarnya, telah menyerahkan sepenuhnya perkara ini ke proses hukum. ”Kami sudah bekerja sama dengan polisi,” katanya.
Kendati pihak keluarga memiliki bukti lain dari hasil otopsi, kepolisian agaknya tetap berpegang pada hasil otopsi 29 Maret. Menurut Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Sutarman, pihaknya hanya menggunakan hasil otopsi resmi yang diminta penyidik. Hasil otopsi yang dilakukan dokter Mun’im Idris, yang atas permintaan keluarga itu, akan dipakai sebagai pembanding, bukan alat bukti. ”Hasil otopsi hanya satu dari banyak alat bukti,” kata Sutarman.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim setuju dengan pendapat Sutarman. Menurut Ifdhal, hanya hasil otopsi pro justicia-lah yang bisa dijadikan alat bukti. Kendati demikian, Ifdhal meminta kepolisian tetap menghormati hak korban yang mencoba mencari pendapat lain. ”Kami minta polisi lebih obyektif, berimbang, dan transparan dalam penyidikan kasus ini,” katanya.
Kini berkas perkara para tersangka penganiaya Irzen, semuanya lima orang, sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, M. Yusuf, berkas kasus tengah dipelajari jajarannya. Jika dinilai tak ada masalah, berkas itu akan secepatnya dikirim ke pengadilan.
Tidak adanya pihak Citibank yang menjadi tersangka dalam perkara ini juga dipertanyakan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Husna Zahir. Menurut Husna, petugas debt collector atau penagih utang adalah representasi dari bank yang menyewa jasa mereka. Karena itulah, dalam kasus Irzen ini, Citibank tetap tidak bisa lepas dari tanggung jawab. ”Sebab, soal bagaimana cara menagih itu, bank biasanya memberi arahan,” katanya.
Sandy Indra Pratama, Eko Ari Wibowo, Puti Noviyanda
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo