Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

<font size=2 color=#FF9900>PENYERANGAN</font><br />Rasa Kopi Bau Judi

Sekelompok preman menyerbu kantor Harian Orbit di Medan. Polisi tidak menjerat para tersangka dengan Undang-Undang Pers.

16 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOLA mata Asli Atmadi menatap dengan lekat layar komputer yang tercogok di depannya. Ia memperhatikan dengan saksama kalimat per kalimat yang tampil di layar. Sesekali ia mengisap rokok di tangannya. Ruangan lain di sekitarnya sudah tampak sepi. Saat tengah malam seperti itu, ia selalu menjadi orang terakhir di kantor. ”Saya pulang setelah koran siap cetak,” katanya saat ditemui Tempo, Selasa malam pekan lalu, di kantornya.

Atmadi memang orang yang paling bertanggung jawab atas apa yang akan dicetak anak buahnya. Ia Pemimpin Redaksi Harian Orbit, yang berkantor di Jalan Tengku Amir Hamzah, Medan. Harian ini sudah mengorbit sejak Februari 2007. Berita yang mereka sajikan banyak menyoroti kasus korupsi dan politik di sekitar Sumatera Utara, khususnya Medan. Karena itu harian ini menggunakan jargon ”Media Aspirasi Rakyat”, yang tercantum di sudut kanan halaman depan.

Perkara sajian berita kritis inilah yang merepotkan Orbit. Selasa tengah malam dua pekan lalu, gerombolan 20 orang menyerbu kantor harian yang memiliki tiga lantai ini. Tujuan mereka mencari satu orang, yaitu pria yang lebih populer dipanggil As Atmadi itu. Saat awal penyerbuan, Atmadi memang berada di ruangannya di lantai dua. Para penyerbu tak sempat bertemu dengan Atmadi karena ia ngumpet di lantai tiga. ”Rencananya kami mau melarikan diri lewat atap,” kata pria paruh baya ini.

Pagi hari sebelum penyerbuan, harian ini muncul dengan laporan utama yang berjudul ”PT WDM Terindikasi Judi Gaya Baru, Polisi Harus Usut”. Berita ini awalnya berasal dari acara peluncuran produk perusahaan itu di Wisma Benteng, Medan, pada 30 April 2011. Perhelatan ini diliput banyak wartawan. Perusahaan itu memperkenalkan kopi dan teh yang akan mereka jual dalam bentuk kemasan. Tapi wartawan mengendus ada aroma yang tak sedap di balik kemasan itu. Atmadi pun mengutus wartawannya ke kantor PT Wahana, yang hanya berjarak sekitar satu kilometer dari kantor Orbit.

Dari temuan mereka, Atmadi yakin PT Wahana memang berbisnis judi. Modusnya, mereka menjual teh dan kopi dalam kemasan. Di dalam kemasan itu tercatat nomor undian dari dua angka hingga empat angka. Kemasan yang mencantumkan dua angka paling murah dijual seharga Rp 2.000. Lalu kemas­an dengan empat angka dijual dengan harga paling mahal Rp 20 ribu. Sepekan sekali, mereka mengundi nomor itu. Pembeli yang memiliki kemasan sesuai dengan nomor yang keluar mendapat uang puluhan kali lipat dari harga kemasan. ”Mirip togel,” kata Atmadi.

Tudingan judi ini yang bikin geram PT Wahana. Lamsar Saragih, bos perusahaan itu, diduga memerintahkan penyerbuan ke kantor Orbit setelah berita itu muncul. ”Mereka yang menyerbu hanya anak buah yang ikut perintah atasan,” kata Kepala Kepolisian Sektor Medan Barat Komisaris Arke Furman. Sementara penyerangan itu dipimpin oleh Letnan Kolonel Iwan Barli, tentara aktif di Komando Daerah Militer Bukit Barisan. ”Bila terbukti bersalah, dia akan diproses,” kata Wakil Kepala Penerangan Kodam Bukit Barisan, Mayor Fatimah.

Iwan Barli masih bebas berkeliaran. Namun polisi sudah menahan Lamsar dan enam anak buahnya. Mereka disangka telah melakukan pengeroyokan dan perusakan kepada karyawan dan kantor Orbit. Namun Lamsar membantah berbisnis judi. ”Kami bahkan belum beroperasi,” katanya. Lamsar memang sudah minta maaf kepada Atmadi karena penyerbuan itu. Tapi Atmadi tak menggubris uluran tangan Lamsar. ”Ini bukan masalah penyerangan fisik, ini intimidasi kepada pers,” katanya.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen Kota Medan Rika Yoesz mendukung langkah Atmadi. Menurut Rika, berita yang disampaikan Harian Orbit sudah sesuai dengan kaidah jurnalistik. Mereka sudah melakukan konfirmasi, meski wartawan Orbit diusir oleh satpam PT Wahana. AJI juga meminta polisi tidak hanya menjerat para tersangka dengan pasal pidana di KUHP. ”Polisi harus menggunakan Undang-Undang Pers, karena ini pelecehan,” kata Rika.

Mustafa Silalahi (Jakarta), Soetana Monang Hasibuan (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus