Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI ruang pleno gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, putusan sengketa informasi tentang rekening gendut milik sejumlah perwira polisi dibacakan. Komisi meminjam tempat itu lantaran ruang sidang di sana dilengkapi fasilitas video teleconference. Lewat perangkat canggih ini, sidang pekan lalu itu ”dipancarkan” ke beberapa universitas di sejumlah daerah. ”Untuk sosialisasi sekaligus pembelajaran,” kata Ahmad Alamsyah Saragih, Ketua Komisi Informasi Pusat yang juga pemimpin sidang itu.
Dalam putusannya pada Selasa pekan lalu, Komisi mengabulkan permohonan yang diajukan Indonesia Corruption Watch. Komisi menyatakan nama-nama pemilik rekening berikut jumlahnya yang dinilai ICW mencurigakan itu mesti dibuka. Komisi menegaskan, 17 rekening polisi yang oleh Markas Besar Polri dinyatakan wajar itu dikategorikan sebagai informasi terbuka. Artinya, publik berhak mengetahuinya.
Walau menang, ICW tak serta-merta bisa menikmati putusan tersebut. Kepolisian menyatakan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Mereka keukeuh menyatakan 17 rekening tersebut sebagai rahasia pribadi, tidak akan dibuka lantaran masih dalam proses penyidikan. ”Kami tak sependapat dengan dalil-dalil komisioner,” ujar Kepala Biro Hukum Markas Besar Polri Brigadir Jenderal Iza Fadri.
Indonesia Corruption Watch membawa sengketa informasi ke Komisi Informasi, setelah pada 2 Agustus mereka gagal meminta rekening itu ke Markas Besar Polri. Permintaan dikirim melalui pejabat pengelola informasi dan dokumen. ”Kami ajukan karena sebelumnya polisi menyatakan telah memeriksa 17 perwira pemilik rekening tersebut,” kata Tama Satrya Langkun, aktivis ICW yang aktif menelisik soal rekening ini.
Rekening gendut anggota Bhayangkara itu sempat menjadi buah bibir masyarakat setelah bocor dan dimuat beberapa media. Tempo edisi 28 Juni-4 Juli 2010 menurunkan laporan perihal para pemilik rekening itu. Inspektur Jenderal Budi Gunawan, misalnya, disebut bahwa ke dalam rekeningnya pernah mengalir fulus Rp 29 miliar.
Adapun Inspektur Jenderal Bambang Suparno disebut-sebut sepanjang 2006-2007 rekeningnya pernah dialiri dana Rp 11, 4 miliar. Saat diwawancarai Tempo, Budi menegaskan, berita tentang rekeningnya yang berisi puluhan miliar rupiah itu tak benar. Adapun Bambang menjawab, ”Tidak ada masalah dengan transaksi tersebut. Itu terjadi saat saya masih di Aceh.” Yang pasti, soal rekening ini pula yang diduga melatarbelakangi penyerangan terhadap Tama dan pelemparan bom molotov ke kantor majalah ini, awal Juli silam.
Polisi menyatakan telah memeriksa para anggotanya yang disebut-sebut memiliki rekening dengan jumlah tak wajar itu. Hasilnya disampaikan berulang kali, baik oleh Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Edward Aritonang maupun Kepala Kepolisian Jenderal Bambang Hendarso Danuri, kala itu.
Menurut Edward, dari 23 rekening yang diperiksa, hanya dua rekening yang diindikasikan pidana. Dua rekening lainnya menunggu pembuktian, satu rekening belum bisa ditindaklanjuti karena pemiliknya tengah mengikuti pemilihan kepala daerah, dan satu pemiliknya meninggal. Adapun 17 rekening lainnya dinyatakan wajar karena diperoleh secara legal. Kasusnya dianggap selesai.
Pernyataan ini yang mendasari ICW meminta daftar 17 nama pemilik rekening. Menurut Tama, rekening yang dianggap wajar bisa diartikan tidak ada unsur pidana. Dengan demikian, informasi siapa pemilik 17 rekening dan besarannya bukan informasi yang dikecualikan, seperti diatur Peraturan Kepala Kepolisian RI dan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 17 huruf a.
Namun dua hari kemudian surat ICW itu dijawab Mabes Polri dengan penolakan. Alasannya, informasi yang diminta adalah informasi yang dikecualikan Undang-Undang Keterbukaan. Jika dibuka, itu dapat mengungkap aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang. Alasan lain: dokumen tersebut masih dalam penyidikan tindak pidana pencucian uang. Jadi tidak boleh dibocorkan.
Ditolak semacam itu, ICW mengirim keberatan ke Mabes Polri. ”Tapi, hingga 30 hari, keberatan itu tak dijawab,” ujar Tama. Maka, pada 21 Oktober, ICW mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat. Akhir Desember lalu, Komisi mulai menyidangkan sengketa ini.
Sidang gugatan ini diawali uji konsekuensi atas penolakan Mabes Polri yang menganggap informasi 17 rekening jenderal itu informasi yang dikecualikan. Sesuai dengan undang-undang, lembaga publik yang menyatakan suatu data dan dokumen rahasia harus melakukan uji konsekuensi, apakah ditutup atau dibukanya rahasia itu memiliki manfaat lebih besar untuk kepentingan publik. ”Ternyata mereka tak bisa membuktikan telah melakukan uji konsekuensi itu,” ujar Alamsyah.
Alasan penolakan polisi tak bersedia membuka informasi itu terkait dengan rahasia pribadi juga ditampik. Berdasar pendapat mantan anggota Komisi I DPR, Andreas Hugo Parera, salah satu perumus Undang-Undang Keterbukaan Informasi, polisi bukan pejabat publik yang dikecualikan dalam urusan keterbukaan informasi ini.
Komisi Informasi juga menganggap polisi tak bisa menjelaskan kriteria wajar yang mereka maksud. Belakangan, polisi menyatakan wajar yang mereka maksud adalah ”wajar dalam proses”, yakni mereka masih terus menyelidiki 17 rekening itu. ”Tapi tak jelas sampai mana penyelidikannya,” kata Alamsyah. Yenti Ganarsih, pakar pencucian uang yang dihadirkan sebagai saksi, menilai istilah wajar dalam proses itu ganjil. Menurut dia, jika sebuah perkara dinyatakan wajar, berarti perkara itu dianggap sudah selesai.
Kepada Komisi, saksi penyidik yang memeriksa rekening menyatakan sudah memeriksa dokumen dan memanggil para pemilik rekening gendut itu. Tapi soal dipanggilnya para pemilik rekening itu justru disesalkan Yenti. Menurut doktor pertama Indonesia dalam hukum pencucian uang itu, mestinya penyidikan atas kejahatan pencucian uang tak boleh diberitahukan kepada mereka yang diduga melakukan kejahatan itu. Mereka baru diberi tahu jika penyidik telah memperoleh bukti kuat. ”Jadi, dengan telah diperiksanya yang bersangkutan, artinya pemeriksaan telah dianggap selesai.”
Selama sidang, kata Alamsyah, polisi juga tak bisa menunjukkan surat dimulainya penyelidikan dan penyidikan pidana yang menandai adanya proses hukum atas 17 rekening mencurigakan perwira Polri itu. Sehingga, ujar Alamsyah, alasan jika informasi itu dibuka akan mengganggu proses penyidikan dianggap tidak relevan.
Jalan memang masih panjang bagi ICW untuk memperoleh data tentang pemilik dan isi rekening itu. Jika kalah di PTUN, sesuai dengan undang-undang, polisi juga bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. ”ICW akan tetap menuntut polisi membuka rekening itu,” kata Tama.
Ramidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo