Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Merindukan Presiden Penjaga Konstitusi

14 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eep Saefulloh Fatah

  • Pendiri dan CEO PolMark Indonesia, political marketing consulting

    BAGAIMANAKAH selayaknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melihat penyerangan dan pembantaian warga Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, dan perusakan gereja di Temanggung, Jawa Tengah? Menjawab pertanyaan semacam ini, sekitar satu setengah abad silam, Abraham Lincoln mengatakan: ”Sebagai presiden, saya tak punya penglihatan kecuali penglihatan konstitusional.”

    Dilihat dengan kacamata konstitusi, rusuh Cikeusik dan Temanggung bukanlah peristiwa biasa. Di dua tempat itu, konstitusi kita diuji—juga kemampuan kita menjaga amanatnya. Seberapa jauh, sebagaimana diamanatkan konstitusi, kita mampu menjamin terselenggaranya kebebasan berkeyakinan bagi setiap orang? Seberapa jauh kita melindungi hak asasi setiap warga negara tanpa kecuali? Seberapa jauh hukum kita tegakkan di atas dasar prinsip keadilan bagi semua warga negara? Dan, di atas segalanya, seberapa pandai kita merawat kemajemukan?

    Cikeusik dan Temanggung bukan yang pertama. Ada banyak kasus lain dalam beberapa tahun terakhir yang sesungguhnya merupakan ujian atas kemampuan kita menjaga amanat konstitusi: kebebasan berkeyakinan, perlindungan atas minoritas, penyelenggaraan hak asasi semua warga negara, kesamaan semua warga negara di depan hukum, dan pemeliharaan prinsip pokok kemajemukan. Sejauh ini, kita cenderung gagal. Kita pandai berpidato tentang pentingnya menjaga amanat konstitusi tapi sambil gagal menunaikannya.

    Prinsip asasi dalam konstitusi lebih sering kita tundukkan di bawah prinsip pragmatis konstituensi. Kebutuhan untuk populer di hadapan mayoritas konstituen politik jauh lebih penting dibandingkan dengan keharusan menjaga amanat konstitusi. Atas dasar salah kaprah yang keterlaluan ini, perlindungan atas hak konstitusional semua warga negara—khususnya kalangan minoritas—pun diabaikan. Popularitas di hadapan khalayak mayoritas dipandang lebih penting dan berguna.

    Kita pun tak punya kegagahan seperti yang ditunjukkan Presiden Barack Obama pada tengah Agustus tahun lalu. Di tengah ancaman kejatuhan popularitas di hadapan mayoritas warga Amerika, Obama bergeming memposisikan diri sebagai penjaga konstitusi ketika bersikap tentang pembangunan masjid dan pusat kegiatan Islam dua blok dari bekas puing serangan teroris pada 11 September 2001 di New York.

    Atas nama konstitusi, Obama menegaskan bahwa sebagai warga negara dan presiden, ia percaya bahwa ”pemeluk agama Islam memiliki hak yang sama untuk menjalankan agama mereka sebagaimana dimiliki oleh semua orang di Amerika”. Ia memilih menjadi penjaga konstitusi sekalipun pilihan ini berbiaya politik amat mahal: popularitasnya di hadapan khalayak mayoritas terjun bebas.

    Obama menegaskan bahwa menjaga amanat konstitusi adalah kewajiban yang tak bisa dikompromikan. Melepaskan kewajiban ini sama artinya dengan kehilangan kelayakan sama sekali sebagai seorang presiden.

    Dengan mengutip Lincoln dan mencontohkan Obama, saya tak bermaksud mempertontonkan keterpesonaan pada Amerika. Saya hanya ingin menandaskan kerinduan pada seorang presiden yang tahu diri dan pandai memposisikan diri. Seorang presiden yang senantiasa memandang setiap persoalan dengan penglihatan konstitusional.

    Saya rindu presiden yang keras, tegas, dan terarah melawan semua jenis persekusi yang dilakukan siapa pun kepada siapa pun, atas nama apa pun. Saya rindu presiden yang berdiri gagah melindungi kalangan minoritas dari segenap kemungkinan perundungan, terlebih-lebih dalam bentuk kekerasan dan pembantaian.

    Saya rindu presiden yang bergegas menyatakan sikapnya dan memobilisasi semua sumber daya kekuasaan di tangannya untuk melawan semua jenis penistaan kemanusiaan yang dilakukan satu pihak atas pihak lainnya. Saya rindu presiden yang mengambil posisi tegas dan tanpa kompromi sebagai penjaga konstitusi.

    Saya merindukan penjaga konstitusi yang gagah, tapi yang hadir penjaga popularitas yang mumpuni. Saya merindukan pemimpin tegas dan terarah, tapi yang ada adalah seorang master penjaga citra yang senang bekerja berputar-putar.

    Sejauh ini saya merasa kerinduan saya tak terobati.

    Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang belum pernah terbukti melanggar konstitusi. Tetapi Presiden tak juga menunjukkan kegagahan seorang penjaga konstitusi. Ketika mesti menegaskan sikap yang berbasis konstitusi, Presiden selalu terperangkap ambigu. Presiden kerap tak menggunakan penglihatan konstitusional atau mengaburkannya dengan bekerja seolah-olah perundungan atas konstitusi bukanlah perkara penting dan genting.

    Sekalipun menilai Presiden sejauh ini gagal menunaikan kewajiban asasinya sebagai penjaga konstitusi, saya tak mau nyinyir dan genit menuntut Presiden mundur. Kegagalan Presiden sejauh ini mendatangkan persoalan amat serius: absennya otoritas politik yang padu untuk menegakkan hukum dan menjalankan mekanisme ganjaran dan sanksi yang adil. Kegagalan itu secara tak langsung memfasilitasi bertahan dan berkembangnya praktek kekerasan yang dilakukan berbagai kelompok. Secara tak langsung, Presiden melakukan pembiaran atas perundungan kaum minoritas dan pelecehan kemajemukan.

    Alih-alih memecahkan persoalan-persoalan itu, mundurnya Presiden hanya akan memfasilitasi kekosongan otoritas sepanjang masa transisi kekuasaan dan karenanya akan memperumit masalah dan memperburuk keadaan. Meminta Presiden mundur karena eskalasi kekerasan belakangan ini bukanlah pemecahan masalah yang tepat; seperti menggaruk lutut padahal kening yang gatal.

    Alih-alih menuntut Presiden ”mundur”, saya menuntut Presiden ”maju”. Atas dasar kepentingan dan kegentingan yang memaksa, sudah selayaknya Presiden menegaskan dirinya sebagai penjaga konstitusi. Presiden harus menundukkan kepentingan pragmatis untuk populer di hadapan konstituen di bawah kewajiban asasinya sebagai perawat kemajemukan.

    Presiden harus segera maju dengan berlaku sebagai Pemimpin dengan ”P” besar dengan menjadi pelayan tugas-tugas kemanusiaan. Presiden harus menunjukkan kualitas kepemimpinan yang tegas dan terarah. Presiden selayaknya segera sadar bahwa kekisruhan, kekacauan, pelecehan hukum, dan kekerasan tumbuh subur di atas kepemimpinan yang lembek, tak tegas, tak terarah.

    Jika tak maju mengambil posisi itu, saya khawatir Presiden Yudhoyono hanya akan dikenang sebagai presiden yang sukses mempertahankan kekuasaannya di tengah kompetisi politik yang amat ketat dan sebagai politikus yang pandai mematut-matut dirinya melalui kerja pencitraan yang mumpuni.

    Sukses itu pun menjadi artifisial lantaran terbangun di atas dua kegagalan mendasar: gagal menjaga konstitusi sekaligus gagal membuktikan bahwa kita punya konstitusi yang demokratis. ”Konstitusi demokratis,” kata Cass R. Sunstein (Designing Democracy: What Constitutions Do, 2001), pertama-tama tak diukur dari kemampuannya dalam menjamin tegaknya kekuasaan mayoritas, tapi dari kemampuannya membangun kerangka kelembagaan yang memadai untuk menjamin terselenggaranya hak dasar semua orang.

    Kita memang patut menuntut Presiden maju. Tapi tak berarti bahwa sebagai warga negara kita tak punya kewajiban konstitusional setara. Perlawanan atas segenap bentuk pelecehan amanat-amanat konstitusi adalah kewajiban sekaligus tugas sejarah yang mesti diemban setiap orang. Kita tak bisa dan tak boleh menuding Presiden sambil menanggalkan kewajiban kita sendiri.

    Menuntut Presiden maju dan menjadi penjaga konstitusi adalah konsekuensi logis saja dari mekanisme demokratis yang kita jalani. Melalui pemilihan umum kita sudah memberikan mandat kepada Presiden untuk berkuasa. Atas nama mandat itulah kita menuntut Presiden untuk mengendalikan semua sumber daya kekuasaan di tangannya dalam setiap situasi penting dan genting.

    Di tengah penting dan gentingnya tragedi kemanusiaan di Cikeusik, Temanggung, dan di mana saja, kita tak merindukan presiden yang mendulang popularitas semata, tapi presiden yang setia menjaga konstitusi kita.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus