Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=2 color=#FF9900>PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI</font><br />Sederhana Membawa Bebas

Untuk pertama kalinya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi membebaskan terdakwa. Standar jaksanya tak secakap Komisi Pemberantasan Korupsi.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Kuningan, Jakarta Selatan, Senin siang dua pekan lalu itu tak seramai biasanya. Kursi di ruang sidang hanya setengah terisi. Tak terlihat kerumunan wartawan yang biasanya gegap-gempita meliput sidang korupsi di sana.

Padahal hari itu juga ada sidang korupsi digelar. Majelis hakim yang diketuai Herdi Agusten menggelar sidang kasus korupsi yang menyeret terdakwa Mieke Henriett Bambang. Hari itu Herdi membacakan putusan sela. Di kursi depan Mieke duduk dengan kepala tertunduk.

Berjalan singkat, sekitar setengah jam, Herdi kemudian mengetuk palunya. Isinya mengejutkan. Majelis hakim menyatakan menerima eksepsi Mieke. Majelis berpendapat dakwaan yang disusun tim jaksa lemah dan tak cermat. Artinya, Mike bebas. Tak ada sorak-sorai dari siapa pun menyambut putusan ini. Mieke sendiri hanya berucap pendek, ”Puji Tuhan.”

Dalam putusan Pengadilan Tipikor—demikian pengadilan ini biasa disebut—bisa dibilang putusan seperti yang diterima Mieke ini tak pernah terjadi. Inilah untuk pertama kalinya pengadilan antikorupsi membebaskan terdakwa. ”Selama ini, dalam sejarahnya, Pengadilan Tipikor memang selalu sukses menyeret terdakwa ke penjara,” kata Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho.

Mieke adalah mantan karyawan Bank Indonesia. Perempuan 58 tahun ini didakwa mengganggu penggeledahan yang dilakukan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi di ruang kerja Gubernur Bank Indonesia saat itu, Burhanudin Abdullah. Peristiwa tersebut terjadi pada 28 Januari 2008. Saat itu Mieke adalah sekretaris Burhanudin Abdullah.

Penggeledahan itu berkaitan dengan kasus penyelewengan uang Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia Rp 100 miliar yang dilakukan para petinggi BI untuk, antara lain, diseminasi amendemen Undang-Undang Bank Indonesia. Para petinggi BI sendiri, termasuk Burhanudin, belakangan kemudian menjadi tersangka dan dijebloskan ke penjara.

Nah, untuk mencari bukti keterlibatan Burhanudin itulah, sejumlah penyidik KPK lantas menelisik ruang kerja Burhanudin. Sasaran mereka: mencari dan menyegel segala sesuatu yang dianggap berkaitan dengan kasus yang tengah mereka selidiki.

Di sinilah Mieke dianggap melanggar hukum. Ibu tiga anak ini dituding telah memindahkan dengan sengaja setumpuk dokumen yang berada di lemari Burhanudin. Padahal lemari itu sudah disegel penyidik. Mieke menegaskan ia tak tahu lemari sudah disegel. Ia menyatakan memindahkan berkas itu agar rapi dan itu sudah menjadi tugasnya. Alasan ini tak diterima. Mieke diperiksa dan kemudian status tersangka pun dijatuhkan. Januari lalu, perkaranya pun masuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

l l l

Kasus Mieke merupakan perkara pertama yang disidangkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Mengacu pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Mahkamah Agung pada Desember lalu membentuk empat pengaduan antikorupsi. Selain di Jakarta, tiga lainnya ada di Bandung, Semarang, dan Surabaya. Dengan adanya pengadilan ini di daerah, kasus-kasus korupsi di daerah tak perlu diadili di Jakarta. Penyidikannya diserahkan ke kepolisian dan penuntutan dilakukan Kejaksaan Tinggi setempat. Jadi bisa saja sebuah perkara korupsi ditemukan KPK, tapi kemudian diserahkan ke polisi. ”Penanganan kasus korupsi dengan demikian memang tak lagi dimonopoli KPK,” kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P.

Persoalannya, menurut sumber Tempo, polisi dan jaksa tak cukup siap rupanya dengan perubahan ini. Di Jakarta, ini bisa dilihat dari kasus Mieke itu. Mieke sebenarnya sudah diperiksa tiga tahun lalu. Saat itu, oleh KPK ia diserahkan ke kepolisian. Di kepolisian ia diperiksa hanya dua kali. Karena itulah ia terkejut saat tiba-tiba pada 10 Januari lalu berkasnya dinyatakan lengkap dan kemudian ia ditahan serta dimasukkan ke Rumah Tahanan Pondok Bambu. ”Penyidikan yang tidak lazim,” kata Tumpal Halomoan Hutabarat, pengacara Mieke.

Surat dakwaan untuk kliennya pun, kata Tumpal, agak aneh bagi sebuah kasus korupsi. Tiga lapis dakwaan untuk Mieke hanya diuraikan dalam lima lembar kuarto. Padahal ancaman untuk Mieke cukup berat. Minimal ia bisa ditahan tiga tahun penjara karena, antara lain, menghalangi penyidikan kasus korupsi.

Di mata Tumpal, uraian dakwaan untuk Mieke tak lain sekadar copy-paste dari berita acara pemeriksaan. Kedua, dakwaan itu tidak memasukkan uraian kesaksian lima orang penyidik KPK yang merasa kerjanya terganggu atas ulah Mieke. Barang bukti yang diajukan juga tidak jelas. ”Dari awal kami yakin hakim akan membebaskan Mieke kalau dilihat dari surat dakwaan yang sederhana begini,” kata Tumpal.

Bebasnya Mieke ini memang jadi pembicaraan sejumlah penyidik KPK dan juga para jaksa di Kejaksaan Agung. Hanya Kejaksaan Agung menegaskan surat dakwaan yang dibuat tim jaksa pimpinan Syahroli sebenarnya sudah jelas. ”Dakwaan itu sudah mencantumkan dengan cermat pasal demi pasal dakwaan, unsur formal dan materiilnya juga sudah terpenuhi,” kata juru bicara Kejaksaan Agung, Noor Rachmad.

Kejaksaan, kata Noor, melakukan perlawanan atas putusan hakim. Pihaknya, menurut dia, sudah mendaftarkan perlawanan (verzet) itu ke Pengadilan Tinggi Jakarta dua pekan lalu. Noor menyatakan masih ada peluangnya untuk menang karena ketua hakim kasus Mieke, Herdi, mengemukakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan dua hakim lainnya. ”Kami ingin menguji dua pendapat hakim yang lain,” ujar Noor.

Emerson menyatakan pihaknya tak terkejut atas kasus-kasus seperti bebasnya Mieke di Pengadilan Antikorupsi Jakarta ini. Menurut dia, ini semua karena jaksa dan polisi, apalagi jika itu di daerah, tak cukup cakap menangani kasus-kasus korupsi layaknya jika ditangani KPK. ”Mereka tak punya standar sebaik petugas KPK,” ujar Emerson. ”Dan sejak awal ICW sudah menduganya.” Menurut Emerson, pembagian pengadilan korupsi yang kemudian disebar ke daerah itu justru akan membusukkan gerakan pemberantasan korupsi.

Johan Budi mengakui KPK memang tak bisa lagi ikut campur jika perkara korupsi yang ditangani polisi atau kejaksaan sudah masuk pengadilan. ”Tidak ada garis komando ke kejaksaan. Yang bisa KPK lakukan hanya berkoordinasi dengan mereka selama penyidikan,” kata Johan.

Mustafa Silalahi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus