Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eep Saefulloh Fatah
Pendiri dan CEO PolMark Indonesia, political marketing consulting
PERJUMPAAN pertama saya dengan Tempo berlangsung pada 1985. Kala itu, saya adalah seorang siswa kelas dua sekolah menengah atas yang terpesona oleh keajaiban Catatan Pinggir dan menemukan Tempo sebagai sekolah bahasa yang menyenangkan. Tempo kemudian menemani saya memasuki dan menjalani periode melek politik dalam masa-masa bergairah perkuliahan. Sejak itu hingga kini, Tempo menetap di kepala saya sebagai mitos sekaligus realitas.
Dalam sosok mitologisnya, Tempo adalah bagian dari perlawanan atas kekuasaan pongah Orde Baru. Dalam sosok historisnya, saya memahami Tempo di masa itu bukan sebagai media yang amat berani, sangat lugas, dan karena itu konyol. Justru saya memahaminya sebagai media yang dingin dan pandai bersiasat, memainkan peran kritisnya di bawah segenap kekangan dan keterbatasan semasa. Terlepas dari jarak yang terbentang di antara mitos dan realitas itu, Tempo berhasil menghindari jeratan birokratisasi bahasa dalam memainkan fungsinya.
Zaman berubah. Begitu pula Tempo. Majalah itu hadir dalam sosoknya yang lebih rumit dalam periode transisi dari Orde Baru ke masa selepas Soeharto. Pemberangusan Tempo, Detik, dan Editor pada 21 Juni 1994 menjadi salah satu monumen yang menandai senjakala kekuasaan Soeharto. Pembredelan ini mengumpulkan kantong-kantong kritis dalam masyarakat Orde Baru yang sebelumnya begitu teserpih.
Di bawah hantaman krisis moneter, krisis ekonomi, dan kemudian krisis politik, Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998. Indonesia pun berubah menderu-deru. Dan ketika kembali terbit, mulai 6 Oktober 2008, Tempo hadir dengan wajah berbeda.
Sebelum pembredelan, saya memahami Tempo lebih sebagai kumpulan suara para jurnalis. Selepasnya, yang lebih banyak saya sua adalah suara para aktivis. Dari pewarta yang dingin, Tempo berubah menjadi penyebar pamflet yang bersemangat. Tentu saja saya memakluminya karena dua alasan: jejak kemarin dan kesempatan baru hari ini.
Di satu sisi, pemberangusan oleh pemerintahan Orde Baru dan perlawanan atasnya tampaknya meninggalkan jejak tegas. Tempo lebih menegaskan diri sebagai saluran perlawanan. Ia tak lagi bisa dikenali hanya sebagai pelanjut Tempo 1971-1994, tapi ”wajah di atas permukaan” dari Tempo Interaktif–”institusi perjuangan bawah tanah” selama masa pembredelan.
Maka, sejak 1998 itu, saya tak lagi bersua dengan politik redaksi Tempo yang matang dan dingin. Yang saya sua adalah pamflet mingguan yang lantang dan penuh semangat.
Di sisi lain, sejak 1998, periode awal demokratisasi adalah musim semi kebebasan, partisipasi, dan kompetisi. Di sini Tempo menemukan lahan subur untuk menyuarakan perubahan dengan berapi-api dan lantang. Ada ”kesempatan baru hari ini” yang rupanya tak hendak disia-siakan para jurnalis qua aktivis Tempo.
Saya maklum, tapi tak urung kecewa. Lebih tepatnya, saya mungkin tak sabar membiarkan sebuah proses–semacam metamorfosis–dalam tubuh Tempo. Pada masa penting dan genting awal reformasi itu, teriakan aktivis adalah alat ucap sehari-hari yang menjadi rutin. Di masa ini, setiap aksi senantiasa tersambut dengan reaksi yang bergegas. Pada titik ini, yang hilang dan layak dirindukan adalah kontemplasi yang menampilkan kedalaman dan kebugaran sikap. Saya merindukan ini pada Tempo dan merasa bertepuk sebelah tangan. Dalam beberapa tahun terakhir, Tempo terlihat lebih dingin dan mematang. Namun tetap saja belum sesuai dengan harapan.
Di masa Orde Baru, ”informasi yang bernilai” sulit didapat dan ketika didapatkan pun kerap kali sulit dipublikasikan. Ekspektasi pembaca terhadap Tempo pun mau tak mau menjadi relatif terbatas. Tapi, selepas Orde Baru, kelimpahruahan informasi terjadi dan meningkatlah ekspektasi publik terhadap Tempo.
Dalam konteks demokrasi kita hari-hari ini, lalu lintas informasi menjadi begitu ingar-bingar. Informasi mudah diperoleh dari sumber yang amat beragam dan disebar dalam komunikasi yang hiruk-pikuk. Dalam konteks ini, media dengan kredibilitas setinggi Tempo layak diharapkan bukan sekadar menambah sumber kebisingan dengan mengedarkan informasi-informasi tidak atau kurang mendalam.
Pembaca berharap Tempo menjadi muara dari sebuah kerja pemberitaan berjenjang. Bermula dari pencarian berita via Tempo News Room, berlanjut menjadi menu sajian di tempointeraktif.com, lalu terseleksi dan terdalami dengan konteks dan latar menjadi berita-berita Koran Tempo, dan akhirnya bermuara pada pemberitaan-pemberitaan mendalam hasil kerja investigasi yang tersaji dalam majalah Tempo.
Di masa Orde Baru, karena sejumlah kekangan terhadap pers, media massa sulit mengembangkan jurnalisme investigatif. Pasca-Orde Baru, investigasi adalah sebuah keharusan. Di tengah dunia yang begitu ingar-bingar, sebuah majalah berita mingguan yang tak pekat dilekati kerja investigasi sejatinya kehilangan raison d’être atau alasan hidup.
Sejauh ini, menurut hemat saya, Tempo baru berhasil menjadi majalah berita yang sesekali diisi hasil kerja investigasi, dan belum berhasil menjadi majalah berita investigatif. Walhasil, Tempo bukan hanya layak beroleh ucapan selamat pada ulang tahunnya yang ke-40, tapi juga saran penataan diri. Tanpa itu, Tempo bisa kalah berkelahi melawan waktu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo