GUBERNUR Jawa Timur, Soenandar Prijosoedarmo, menilai PP No: 49
yang mengatur sewa menyewa rumah oleh Kantor Urusan Perumahan
(KUP), lemah. Dalam satu bagian PP itu klausul tingkat banding
untuk keputusan sengketa perumahan ada pada Kepala Daerah
Tingkat 11, misalnya bupati atau walikota. Banyaknya pekerjaan
yang mereka hadapi mengakibatkan ketidaktelitian dalam memberi
keputusan tingkat banding. "Akibatnya sering tidak memuaskan
pihak yang bersengketa," ujar Soenandar.
Dan yang tidak puas itu biasanya meneruskan kasusnya ke
pengadilan dan menggeret si Kepala Daerah yang bersangkutan.
"Dari segi politik pemerintahan, PP No: 49/1963 tidak
menguntungkan," ungkap gubernur itu. Terseretnya si pejabat itu
ke pengadilan dia juga "menerima bengkaknya". Ditegur atasannya.
Menurut Soenandar, ia menemukan lebih 50% kasus sengketa
perumahan kurang memuaskan bagi yang berperkara. "Kalau yang
punya bukti bisa meneruskan ke pengadilan. Tapi bagi mereka yang
tidak ada bukti lantas mengadu ke gubernur," tambah Soenandar.
Kepala Urusan Perumahan DKI Jaya, Sumartono, mengatakan, pada
1975 pemerintah DKI meminta ke da pemerintah pusat agar
sengketa perumahan dilimpahkan ke pengadilan. Setelah 6 tahun
permintaan itu membeku, baru sekarang dijawab dengan munculnya
PP No. 55. Disini urusan sengketa perumahan diserahkan pada
pengadilan. KUP tetap mengurus sewa menyewa, pemberian dan
pencabutar surat izin perumahan. Pengadilan kasu sengketa
perumahan dari KUP ke pengadilan baru berlaku awal Januari lalu.
Di DKI Jaya, menurut Sumarto no, 45 tahun, selama tahun 1981
pihaknya menangani lebih 200 sengketa perumahan. Sebagian besar
diselesaikan menurut hukum melalui KUP. Sedang pengalihan kasus
sengketa perumahan kepengadilan baru berangsur-angsur berjalan
setelah Januari lalu. Tapi kalau ada yang mau mengambil jalan
damai, sengketa itu dapat diselesaikan di KUP.
Yang masih terpisah agaknya menyangkut rumah dengarl Surat Izin
Penempatan (SIP) yang dibuat KUP. Kalau ada sengketa masih tetap
diselesaikan di KUP. Tapi yang belum jelas dalam PP No. 55
adalah menyangkut wewenang pengosongan yang diberikan pada KUP.
Menurut Soenandar, sebaiknya semuanya ke pengadilan negeri
sajalah, tanpa kecuali rumah yang ada SlP-nya. Dan KUP cukup
mengurusi SIP-nya tanpa campur lagi dalam wewenang mengadili.
Tapi banyak pengacara bilang: Penyelesaian kasus perumahan di
pengadilan bisa lebih lama daripada di KUP.
Munculnya PP No. 55/1981, konon, berkaitan dengan perminuan
Soenandar. Tapi dia menolak anggapan itu. "Sebagiannya saja,"
ucapnya merendah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini