MASSA memadati Lapangan Banteng, Jakarta. Hari itu (18 Maret)
Golongan Karya (Golkar) mengadakan, rapat raksasa untuk
kampanye Pemilu 1982. Datang secara bergelombang, mereka juga
berharap akan dihibur oleh pelawak Bagyo, penyanyi Benyamin S.,
ratu dangdut Elvie Sukaesih, Camelia Malik, Reynold Panggabean
dkk.
Para penyanyi dan pelawak itulah tampaknya yang menyebabkan
Lapangan Banteng jadi lautan manusia. Sama keadaannya dengan dua
hari sebelumnya, tatkala Partai Persatuan Pembangunan (PPP), di
tempat yang sama, mengandalkan raja dangdut Rhoma Irama dengan
Soneta Group-nya.
Tapi Kamis sian itu, panggung kampanye Golkar, yang cukup luas
dengan tinggi 2 meter, jadi sasaran bondongan manusia. Mereka
saling menyikut, berusaha mendekati panggung. Para penyanyi dan
pelawak itu menyambut lambaian hangat massa penyanjung mereka,
sementara terik matahari siang itu sudah menyengat, dan debu
mengepul. Kemudian . . . panggung kampanye sebelah kanan rubuh.
Dengan massa yang berdesak-desakan, kerusuhan terjadi, bahkan
berlanjut dengan pembakaran dan pengrusakan.
Akhirnya satuan ABRI dan pasukan huru-hara. didatangkan. Setelah
dihalau dari Lapangan Banteng, sebagian. massa pergi merusak dan
membakar di tempat-tempat lain yang mereka lalui. Yakni di
sekitar Pusat Perdagangan Senen, Jalan Raya Kramat, sampai
Salemba, Jl. Letjen Suprapto sampai Cempaka Putih. Mobil-mobil
dibakar, pot-pot tanaman hias dijungkirbalikkan, dan lampu-lampu
lalulintas dihancurkan.
Tapi semua itu tak segera menjadi berita bagi pers Indonesia.
Sebab pada Kamis malam itu juga wakil-wakil media dikumpulkan
Pangkopkamtib Laksamana Soedomo. Dan, seperti biasa, Pak Domo
menghimbau supaya kerusuhan itu jangan diberitakan sampai ada
pengumuman resmi. Sementara itu di luar negeri beritanya
tersebar luas. Koran-koran luar negeri, yang juga beredar di
Indonesia, tentu kemudian mendapat banyak cat hitam.
Dalam hal ini koran Singapura The Straits Times agak cerdik.
Edisinya untuk Singapura memuat berita kerusuhan di Jakarta itu,
sedang yang untuk Indonesia tidak sama sekali. Pada edisi 20
Maret, misalnya, Straits Times yang bukan untuk Indonesia
ternyata memuat berita itu lumayan panjang dengan foto besar 5
kolom.
Penduduk Indonesia di daerah Riau bisa menyaksikannya melalui
stasiun televisi Singapura dan Malaysia Sabtu malam dalam siaran
berita. Dari mana material kerusuhan Lapangan Banteng itu
diperoleh? General Manager TV Singapura Ny. Wong Lie yang
dihubungi TEMPO menolak menyebutkan sumbernya. Tapi Walter
J.Burgess, cameraman Visneus di Jakarta, dengan senang hati
bercerita.
Mortit
Burgess, kelahiran Australia yang berkantor di Wisma Antara,
bangga sekali bahwa adalah filmnya yang disiarkan di sana.
Pemberitahuan via teleks diperolehnya dari rekannya di Reuter
Singapura. Ia memang semula merekam kampanye plus wawancara
dengan beberapa tokoh parpol dan Golkar. "Itu kerja rutin saya.
Kebetulan ada keributan di Lapangan Banteng, maka jadi
lengkaplah laporan sava itu," tuturnya.
Film sepanjang 55 feet itu dikirimkannya ke Roma, tempat semua
film Visnews Limited diproses, sebelum disebar ke kropa. nari
Roma dikirim ke London yang kemudian, lewat satelit, disebar ke
seluruh dunia. "Berita dari Asia dan Timur Jauh biasanya kembali
ke kawasan ini. Apa yang terjadi di Indonesia pasti laku sebagai
berita di Asia Tenggara, Australia dan Jepang," tutur Burgess.
Berbadan tegap, Burgess pernah bekerja di Thailand dan pernah
kena pecahan mortir di Kar,puchea. April nanti genap dua tahun
dia bekerja di Indonesia.
"Saya ingin kembali ditempatkan di Kampuchea," tuturnya. Kenapa?
"Di sini sulit dapat izin untuk membuat rekaman film," katanya.
Tapi untuk pembuatan film kerusuhan Lapangan Banteng itu dia tak
mendapat kesulitan. Tak ada teguran.
Burgess tentu lebih beruntung ketimbang rekannya dari pers
Indonesia. Namun pekan lalu Suara Karya, AB, Berita Yudha, Pos
Kota, Terbit memuat bartyak gambar dan berita kerusuhan Lapangan
Banteng itu. Sudah boleh menyiarkannya2 Orang maklum, siapa
pendukung koran-koran itu. Dan wajar kemudian ada media lain
yang mengikuti mereka.
"Kami dapat teguran Dispen Hankam lewat telepon," tutur Sjamsul
Basri, Pem-Red/Penanggungjawab Suara Karya. Walaupun ada
konsensus untuk tidak memuat foto-foto itu, kata Sjamsul Basri,
"kemudian kami berpikir masyarakat perlu diberitahu bahwa suatu
keributan bisa berakibat buruk." Tapi Deppen mencatat juga
pelanggaran itu. "Yang penting, jangan dilanjutkan dan diikuti
yang lain. Bila sampai tak terkendali, bisa berakibat fatal
berupa penutupan," kata Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika
Soekarno SH. Surat teguran konon siap dikirim kepada yang
bersangkutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini