DI Jalan Pemuda 105 Semarang ada tontonan menarik 18 Maret
siang. Rumah ini milik saya. Sertifikatnya atas nama saya.
Kenapa barang-barang milik saya dalam rumah ini dibongkar,"
teriak Jachja dari atas loteng rumahnya. Jachja, 51 tahun, yang
sehari-hari membuka usaha menjahit itu, tetap bertahan di atas
loteng lantai dua. Hari itu Pengadilan Negeri Semarang sedang
melaksanakan eksekusi secara paksa terhadap sebagian bangunan
rumah Jachja.
Untuk sampai ke lantai dua para petugas harus melewati bagian
rumah yang tidak terkena eksekusi. Di sinilah adegan yang
disaksikan banyak orang itu terjadi. Ny. Fadlilah, istri Jachja,
yang mempertahankan haknya, berbaring "memalangi" pintu bagian
tengah arah ke bagian yang dieksekusi. Soetojo, jurusita yang
dibantu 6 kuli dan 10 anggota Tibum Kotamadya Semarang, terlibat
tarik menarik dengan Fadlilah. Perlawanan wanita itu sengit
hingga mereka kelabakan juga.
Akhirnya mereka berhasil menyeret istri Jachja seenaknya keluar
rumah dan dipaksa naik ke atas truk begitu saja berikut
barang-barangnya. Tapi ketika petugas lengah Fadlilah meronta
dan melompat dari truk. Pergumulan terjadi lagi dan nyonya itu
berhasil dimasukkan ke sebuah sedan yang sudah tersedia dan
pintu mobil itu dikunci dari luar. Garagara seret-menyeret dan
pergumulan tadi Fadlilah kesakitan, kaki dan lengannya memar.
Ketika adegan itu terjadi polisi dan petugas Tripida setempat
menonton saja.
Eksekusi tersebut dilaksanakan atas dasar penetapan Ketua
Pengadilan Negeri Semarang yang lama, R. Soemadi Aloei SH pada 4
Juni 1981. Tapi baru dilakukan hari itu, menurut Hasan G. Shahab
SH, Ketua Pengadilan Negeri yang sekarang, "setelah melalui
banyak proses dan sudah dikonsultasikan dengan Mahkamah Agung."
Perkara perdata bernomor: 381/1975 ini dimulai dari rencana jual
beli anura Jachja dengan Budi Setio alias Hok, pedagang tegel
yang tinggal di Jalan Petudungan 119 Semarang.
Pada tahun 1973 Jachja menawarkan rumah dan tanahnya (bekas hak
milik, itu dengan harga yang sudah disepakati: Rp 5 juta. Mereka
membuat perjanjian di depan notaris Joeni Moeljani, bahwa
sebelum jual beli dilunaskan, Budi Setio harus membayar uang
muka Rp 1 juta. Karena rumah dan tanah itu masih dalam status
disewa orang, sisa yang Rp 4 juta lagi akan diserahkan Budi
setelah bangunan dalam keadaan kosong. Dan karena belum ada
sertifikat, sebulan sebelum ada perjanjian di depan notaris itu,
Jachja mengurus balik nama atas tanah tersebut. Tanah itu
warisan ayahnya, almarhum Haji Chamim. Pihak Kantor Agraria
menyebutkan statusnya Hak Milik (HM) No: 20 yang luasnya 10 m2
dan Hak Guna Bangunan (HGB) No: 22 yang luasnya 131 m2.
Ingkar Janji
Budi tidak sabar menunggu munculnya sertifikat itu. Melalui
notaris Joeni Moeljani, dengan mengeluarkan biaya Rp 128 ribu,
dia mendesak proses pengurusannya. "Tapi sertifikat itu tetap
atas nama Jachja," kata Budi Setio. Sertifikat itu muncul pada
19 April 1975 dan disimpan di kantor si notaris. "Tapi ketika
Pejabat Pembuat Akta Tanah datang, Jachja justru ingkar janji,"
tuduh Budi.
Sebaliknya, Nyonya Fadlilah merasa yakin "ada permainan antara
Budi dengan notaris." FadLilah yang sehari-hari dikenal sebagai
anggota Majlis Ulama JaTeng dan kini calon anggota DPR dari PPP,
menduga sertifikat itu sudah jatuh ke tangan Budi. Tapi menulut
notaris Joeni Moeljani, "yang saya berikan kcpada Budi hanya
fotokopinya." Yang asli ditahannya karena dia menunggu
terlaksana jual belinya PPAT dan persoalan antara pihak Jachja
dan Budi selesai.
Fadlilah juga menuduh Budi ingkar janji. Setelah rumah itu
dikosongkan pada Maret 1974, justru Budi menunda melunasi
sisanya. Budi dan istrinya malah datang ke sana, seperti sudah
pemilik, sambil menawarkan rumah itu kepada orang lain dan mau
menata ruangannya. "Karena sertifikatnya belum ada kok saya
mesti melunasi harganya," tangkis Budi. Akhirnya timbullah
sengketa itu dan berakhir di pengadilan.
Dicoret
Hakim Soeparman Emawan SH yang memeriksa perkara perdata ini
pada 4 Juni 1976 memvonis: Tergugat Jachja ingkar janji dan akta
jual beli yang dibuat notaris pada 19 Oktober 1973 itu sah dan
mengikat antara penggugat dan tergugat. Kepada penggugat hakim
mewajibkan melunaskan harga tanah dan rumah itu sebesar Rp
3.382.000, dan Jachja harus meningggalkan bangunan dan tanah itu
8 hari setelah putusan hakim. Pihak Jachja menolak uang itu dan
kini disimpan di Pengadilan Negeri Semarang.
Fadlilah dan suaminya tidak puas dan banding karena perjanjian
jual beli itu dlanggap mereka masih bersifat opsi (pendahuluan).
Tapi ditolak, karena disampaikan sudah lewat waktu. Pada 29 Juni
1976 Fadlilah didatangi Fatimah, petugas pengadilan Semarang,
menyampaikan putusan yang tanpa dihadiri tergugat. Relasnya
selain disangsikan tergugat juga merasa dirugikan. Semula relas
itu bertanggal 25 Juni 1976, menurut Fadlilah yang sarjana muda
hukum itu, "dicoret dan diganti 29 Juni 1976." Kalau relas itu
disampaikan 25 Juni maka batas waktunya sampai 9 Juli. Tergugat
mengajukan banding 12 Juli, berarti ada 14 hari tenggang waktu
kalau dihitung dari 25 Juni. Tapi menurut Fatimah, relas itu
sudah disampaikannya pada Fadlilah 25 Juni 1976. Upaya hukum
tergugat yang digugurkan Pengadilan Tinggi Semarang, kemudian
dilanjutkan Fadlilah ke MA. Tapi pada 16 April 1980 permohonan
kasasinya juga ditolak MA. Maka terjadilah eksekusi paksa itu.
Pengadilan sudah melaksanakan eksekusi. Pada 23 Maret lalu
penyegelan rumah itu dibuka polisi dan diketahui petugas
pengadilan. Di situ terdapat beberapa sisa perabot. Yang lainnya
kini disimpan di gudang PN Semarang yang lama. Budi Setio (50
tahun) pun bingung. Dia tidak dibolehkan menempatkan petugasnya
di rumah itu karena ditolak pihak Jachja.
"Eksekusi memang sudah selesai. Setelah itu, apa pun yang
terjadi, bukan lagi tugas pengadilan," ucap Fadlilah. Dia juga
tak menerima perlakuan kasar petugas terhadap dirinya, keluarga,
dan sempat anak-anaknya kucar-kacir. Wanita yang punya sembilan
anak itu sedang mempersiapkan tuntutannya. "Saya akan tetap
mempertahankan hak milik dan kehormatan keluarga kami," kata
wanita yang juga anggota Korp Penasihat PB-4 dan Ketua Unit
Pelaksanaan KKB itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini