Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Main paksa di jalan pemuda

Pengadilan negeri semarang melaksanakan eksekusi secara paksa terhadap sebagian bangunan rumah milik jachja. perkara dimulai dari jual beli antara jachja dengan budi setio (hok). (hk)

3 April 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Jalan Pemuda 105 Semarang ada tontonan menarik 18 Maret siang. Rumah ini milik saya. Sertifikatnya atas nama saya. Kenapa barang-barang milik saya dalam rumah ini dibongkar," teriak Jachja dari atas loteng rumahnya. Jachja, 51 tahun, yang sehari-hari membuka usaha menjahit itu, tetap bertahan di atas loteng lantai dua. Hari itu Pengadilan Negeri Semarang sedang melaksanakan eksekusi secara paksa terhadap sebagian bangunan rumah Jachja. Untuk sampai ke lantai dua para petugas harus melewati bagian rumah yang tidak terkena eksekusi. Di sinilah adegan yang disaksikan banyak orang itu terjadi. Ny. Fadlilah, istri Jachja, yang mempertahankan haknya, berbaring "memalangi" pintu bagian tengah arah ke bagian yang dieksekusi. Soetojo, jurusita yang dibantu 6 kuli dan 10 anggota Tibum Kotamadya Semarang, terlibat tarik menarik dengan Fadlilah. Perlawanan wanita itu sengit hingga mereka kelabakan juga. Akhirnya mereka berhasil menyeret istri Jachja seenaknya keluar rumah dan dipaksa naik ke atas truk begitu saja berikut barang-barangnya. Tapi ketika petugas lengah Fadlilah meronta dan melompat dari truk. Pergumulan terjadi lagi dan nyonya itu berhasil dimasukkan ke sebuah sedan yang sudah tersedia dan pintu mobil itu dikunci dari luar. Garagara seret-menyeret dan pergumulan tadi Fadlilah kesakitan, kaki dan lengannya memar. Ketika adegan itu terjadi polisi dan petugas Tripida setempat menonton saja. Eksekusi tersebut dilaksanakan atas dasar penetapan Ketua Pengadilan Negeri Semarang yang lama, R. Soemadi Aloei SH pada 4 Juni 1981. Tapi baru dilakukan hari itu, menurut Hasan G. Shahab SH, Ketua Pengadilan Negeri yang sekarang, "setelah melalui banyak proses dan sudah dikonsultasikan dengan Mahkamah Agung." Perkara perdata bernomor: 381/1975 ini dimulai dari rencana jual beli anura Jachja dengan Budi Setio alias Hok, pedagang tegel yang tinggal di Jalan Petudungan 119 Semarang. Pada tahun 1973 Jachja menawarkan rumah dan tanahnya (bekas hak milik, itu dengan harga yang sudah disepakati: Rp 5 juta. Mereka membuat perjanjian di depan notaris Joeni Moeljani, bahwa sebelum jual beli dilunaskan, Budi Setio harus membayar uang muka Rp 1 juta. Karena rumah dan tanah itu masih dalam status disewa orang, sisa yang Rp 4 juta lagi akan diserahkan Budi setelah bangunan dalam keadaan kosong. Dan karena belum ada sertifikat, sebulan sebelum ada perjanjian di depan notaris itu, Jachja mengurus balik nama atas tanah tersebut. Tanah itu warisan ayahnya, almarhum Haji Chamim. Pihak Kantor Agraria menyebutkan statusnya Hak Milik (HM) No: 20 yang luasnya 10 m2 dan Hak Guna Bangunan (HGB) No: 22 yang luasnya 131 m2. Ingkar Janji Budi tidak sabar menunggu munculnya sertifikat itu. Melalui notaris Joeni Moeljani, dengan mengeluarkan biaya Rp 128 ribu, dia mendesak proses pengurusannya. "Tapi sertifikat itu tetap atas nama Jachja," kata Budi Setio. Sertifikat itu muncul pada 19 April 1975 dan disimpan di kantor si notaris. "Tapi ketika Pejabat Pembuat Akta Tanah datang, Jachja justru ingkar janji," tuduh Budi. Sebaliknya, Nyonya Fadlilah merasa yakin "ada permainan antara Budi dengan notaris." FadLilah yang sehari-hari dikenal sebagai anggota Majlis Ulama JaTeng dan kini calon anggota DPR dari PPP, menduga sertifikat itu sudah jatuh ke tangan Budi. Tapi menulut notaris Joeni Moeljani, "yang saya berikan kcpada Budi hanya fotokopinya." Yang asli ditahannya karena dia menunggu terlaksana jual belinya PPAT dan persoalan antara pihak Jachja dan Budi selesai. Fadlilah juga menuduh Budi ingkar janji. Setelah rumah itu dikosongkan pada Maret 1974, justru Budi menunda melunasi sisanya. Budi dan istrinya malah datang ke sana, seperti sudah pemilik, sambil menawarkan rumah itu kepada orang lain dan mau menata ruangannya. "Karena sertifikatnya belum ada kok saya mesti melunasi harganya," tangkis Budi. Akhirnya timbullah sengketa itu dan berakhir di pengadilan. Dicoret Hakim Soeparman Emawan SH yang memeriksa perkara perdata ini pada 4 Juni 1976 memvonis: Tergugat Jachja ingkar janji dan akta jual beli yang dibuat notaris pada 19 Oktober 1973 itu sah dan mengikat antara penggugat dan tergugat. Kepada penggugat hakim mewajibkan melunaskan harga tanah dan rumah itu sebesar Rp 3.382.000, dan Jachja harus meningggalkan bangunan dan tanah itu 8 hari setelah putusan hakim. Pihak Jachja menolak uang itu dan kini disimpan di Pengadilan Negeri Semarang. Fadlilah dan suaminya tidak puas dan banding karena perjanjian jual beli itu dlanggap mereka masih bersifat opsi (pendahuluan). Tapi ditolak, karena disampaikan sudah lewat waktu. Pada 29 Juni 1976 Fadlilah didatangi Fatimah, petugas pengadilan Semarang, menyampaikan putusan yang tanpa dihadiri tergugat. Relasnya selain disangsikan tergugat juga merasa dirugikan. Semula relas itu bertanggal 25 Juni 1976, menurut Fadlilah yang sarjana muda hukum itu, "dicoret dan diganti 29 Juni 1976." Kalau relas itu disampaikan 25 Juni maka batas waktunya sampai 9 Juli. Tergugat mengajukan banding 12 Juli, berarti ada 14 hari tenggang waktu kalau dihitung dari 25 Juni. Tapi menurut Fatimah, relas itu sudah disampaikannya pada Fadlilah 25 Juni 1976. Upaya hukum tergugat yang digugurkan Pengadilan Tinggi Semarang, kemudian dilanjutkan Fadlilah ke MA. Tapi pada 16 April 1980 permohonan kasasinya juga ditolak MA. Maka terjadilah eksekusi paksa itu. Pengadilan sudah melaksanakan eksekusi. Pada 23 Maret lalu penyegelan rumah itu dibuka polisi dan diketahui petugas pengadilan. Di situ terdapat beberapa sisa perabot. Yang lainnya kini disimpan di gudang PN Semarang yang lama. Budi Setio (50 tahun) pun bingung. Dia tidak dibolehkan menempatkan petugasnya di rumah itu karena ditolak pihak Jachja. "Eksekusi memang sudah selesai. Setelah itu, apa pun yang terjadi, bukan lagi tugas pengadilan," ucap Fadlilah. Dia juga tak menerima perlakuan kasar petugas terhadap dirinya, keluarga, dan sempat anak-anaknya kucar-kacir. Wanita yang punya sembilan anak itu sedang mempersiapkan tuntutannya. "Saya akan tetap mempertahankan hak milik dan kehormatan keluarga kami," kata wanita yang juga anggota Korp Penasihat PB-4 dan Ketua Unit Pelaksanaan KKB itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus