Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

"PHK lewat saya"

Gagasan menteri sudomo: PHK harus seizin menteri tenaga kerja, pengusaha yang melakukan pelanggaran dicabut izin usahanya. Boleh melanggar peraturan mengenai jam kerja. (hk)

9 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUKUM Perburuhan seperti ketinggalan, mengikuti gerak dan langkah Sudomo, sejak laksamana itu menjabat Menteri Tenaga Kerja. Pekan lalu, misalnya, Sudomo tiba-tiba memberi kelonggaran bagi pengusaha untuk tidak mengikuti undang-undang perburuhan sebagai ketentuan mati. Pembatasan jam kerja dan usia terendah buruh, katanya, boleh dilanggar, asal saja menguntungkan, tidak membahayakan keshatan dan juga tidak merusak masa depan karyawan. Apa yang dicetuskan Sudomo, seperti ketika mengunjungi pabrik rokok kretek Gudang Garam itu, selalu meminta perhatian. Juga yang dilontarkan sebelumnya mengenai perlunya "hakim" -- yang ternyata "orang Departemen Kehakiman", kata Menteri Kehakiman Ali Said -- dimasukkan ke dalam susunan P4 (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan). Banyak ahli hukum menolak gagasan Sudomo yang dianggap tidak sesuai dengan maksud pembentukan lembaga peradilan semu itu. (TEMPO, 4 Juni). Belum selesai soal hakim itu, sudomo meminta perhatian lagi. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), katanya, tidak bisa dilakukan tanpa izin Menteri Tenaga Kerja. Menteri yang bekas Pangkopkamtib itu merasa perlu membuat ketentuan baru itu. Karena banyak keputusan P4 yang sudah mengikat, katanya, ternyata tidak dipatuhi pihak pengusaha. Untuk itu disiapkan sanksi keras bagi pengusaha yang melanggar: pencabutan izin usaha. Tentu saja pencabutan itu harus dilakukan melalui departemen teknis masing-masing perusahaan. "Ini kami atur. Sebab bila terjadi PHK, yang tidak bisa dihindarkan lagi, perlu dipersiapkan penampungannya," kata Sudomo kepada pers. Gagasan PHK "model baru" boleh merupakan tiang penyangga bagi hidup buruh di masa sulit ini. Meski ada yang mempertanyakan legalitasnya. Dosen Perburuhan FH-UI, H.P. Rajagukguk, menilai bahwa tidak seluruh gagasan itu bertentangan dengan undang-undang perburuhan yang ada. Undang-undang yang ada, UU no 22/1957, menyebutkan antara lain bahwa fungsi P4 hanya sebagai lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan dan tidak memberi izin PHK. Fungsi pemberian izin itu, katanya, kemudian didapat P4 dari pendelegasian wewenang menteri. Jadi, kata Rajagukguk, menteri bisa menangani kembali soal izin itu. Namun, kata Rajagukguk yang juga ikut di P4P, wewenang lzin PHK melalui menteri itu baru timbul bila ada pihak yang keberatan atas putusan P4D atau P4P. "Masalahnya, jika tidak ada yang keberatan, apakah setiap PHK harus dapat izin menteri juga?" seperti dipertanyakan Rajagukguk. Yang boleh disebut sebagai ganjalan, kata dosen itu, adalah sanksi pencabutan izin usaha seperti dilontarkan Sudomo. Undang-undang ternyata tidak mencantumkan sanksi itu bagi perusahaan yang tidak mentaati putusan P. Sebab itu pula, Rajagukguk mengakui, undang-undang bidang perburuhan sangat ketinggalan. Kekurangan itu pula yang terasa sering dimanfaatkan pengusaha yang sampai hati mengurangi hak buruh. Ketika Sudomo mengancam pengusaha, seorang buruh pabrik tekstil Ganatex di Bandung, Chandra Setiaji, sedang sibuk mengurus permohonan eksekusi keputusan P4 melalui Pengadilan Negeri Bandung. Sebab keputusan P4P Jawa Barat, yang memenangkan gugatannya untuk mendapatkan pesangon, ternyata tidak diacuhkan pengusaha pabrik tekstil itu. Bekas kepala bagian administrasi sejak pabrik Ganatex didirikan, 1970, Chandra senasib dengan 300 orang rekannya yang kena depak manajemen. Hanya saja, karyawan lainnya bersedia menerima "uang kebijaksanaan" dari perusahaan, sementara Chandra, tidak. Ia membawa persoalannya ke P4D. Tapi empat kali persidangan di P4D Jawa Barat, Direktur I PT Ganatex, Naga Budiman, ternyata tidak datang memenuhi panggilan. Sebab itu P4D terpaksa mengabulkan gugatan Chandra, untuk mendapat pesangon sebanyak Rp 1,9 juta, tanpa mendengarkan keterangan pihak pabrik. Namun kemenangan Chandra, yang diputuskan September lalu, ternyata hanya kemenangan di atas kertas belaka. "P4D ternyata hanya macan kertas," kata Chandra, 49 tahun. Karena itu ia memohon Pengadilan Negeri Bandung melakukan lelang eksekusi. Tapi cerita lama kembali muncul: Chandra harus membayar biaya iklan eksekusi yang ditetapkan pengadilan sebesar Rp 300 ribu. "Kalau ia tidak punya biaya, eksekusi tidak bisa dilakukan," ujar Ketua Pengadilan Negeri Bandung, Soebandi, pekan lalu. Chandra memang angkat tangan. "Dari mana saya akan mendapatkan uang sebanyak itu," jeritnya. Satu-satunya jalan yang akan dicobanya hanyalah mengadu ke PO Box 555 yang dibuka Sudomo ketika baru saja mengurus ketenagakerjaan. Naga Budiman, yang akan diadukan, mengaku mengalami kebangkrutan. Tapi ia membantah telah memecat Chandra. "Salah sendiri, kenapa tidak datang ke sini," kata Naga. Karena tidak merasa memecat itu pula, ia tidak merasa wajib datang ketika dipanggil P4D. "Buat apa saya datang, toh saya tidak memecat dia," ujar Naga lagi. Tapi, tentu tidak semua pengusaha seperti Naga Budiman. T.D. Pardede, pengusaha tekstil terbesar di Medan, misalnya, ternyata "lebih maju" dari undang-undang. Dua bulan lalu, ketika produksi tekstilnya menurun keras, Pardede menawarkan sebuah jalan keluar kepada karyawannya: "Siapa saja yang mau berhenti, akan diberi tanah perumahan, serta pesangon sebanyak tiga bulan gaji". Tidak kurang 40 karyawan saat itu juga mengacungkan tangan. Kini ke-40 karyawan itu dengan gembira sibuk membangun rumahnya di tanah hadiah bekas bosnya itu. Setiap orang mendapatkan tanah seluas sekitar 80 m2 di Desa Purwodadi, 13 km dari Medan, sekitar 100 meter dari pabrik tempat mereka bekerja sebelumnya. "Sampai tua bekerja di pabrik itu, tidak mungkin mendapatkan perumahan," ujar Ahmad Jamin, 30 tahun, yang sudah 10 tahun mengabdi di pabrik tekstil itu. Sebelumnya, ia tidak berani membayangkan mendapat rumah itu, jika harus membeli dari gajinya yang hanya Rp 50 ribu sebulan. "Untuk makan saja tidak cukup, kalau istri saya tidak jualan," ujar Ahmad Jamin. Perusahaan Pardede memang lagi terancam gulung tikar. "Kalau dulu produksi kami laku keras, sekarang hancur," ujar Pardede, 67 tahun yang mengaku sejak beberapa tahun ini hanya 10% dari 1.000 mesinnya yang bekerja. Sebab itu ia berniat akan memberi perumahan bagi 600 orang karyawannya jika semuanya bersedia berhenti. Ia tidak merasa rugi membagi-bagi tanah miliknya itu. "Sebenarnya merekalah yang membangun pabrik itu dan merekalah yang berjasa," kata Pardede, yang belakangan ini rajin dalam kegiatan keagamaan. Untuk membagi-bagi tanah kepada karyawannya yang di PHK-kan tentu tak perlu izin Menteri Tenaga Kerja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus