HUKUM Perburuhan seperti ketinggalan, mengikuti gerak dan
langkah Sudomo, sejak laksamana itu menjabat Menteri Tenaga
Kerja. Pekan lalu, misalnya, Sudomo tiba-tiba memberi
kelonggaran bagi pengusaha untuk tidak mengikuti undang-undang
perburuhan sebagai ketentuan mati. Pembatasan jam kerja dan
usia terendah buruh, katanya, boleh dilanggar, asal saja
menguntungkan, tidak membahayakan keshatan dan juga tidak
merusak masa depan karyawan.
Apa yang dicetuskan Sudomo, seperti ketika mengunjungi pabrik
rokok kretek Gudang Garam itu, selalu meminta perhatian. Juga
yang dilontarkan sebelumnya mengenai perlunya "hakim" -- yang
ternyata "orang Departemen Kehakiman", kata Menteri Kehakiman
Ali Said -- dimasukkan ke dalam susunan P4 (Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan). Banyak ahli hukum menolak
gagasan Sudomo yang dianggap tidak sesuai dengan maksud
pembentukan lembaga peradilan semu itu. (TEMPO, 4 Juni).
Belum selesai soal hakim itu, sudomo meminta perhatian lagi.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), katanya, tidak bisa dilakukan
tanpa izin Menteri Tenaga Kerja. Menteri yang bekas
Pangkopkamtib itu merasa perlu membuat ketentuan baru itu.
Karena banyak keputusan P4 yang sudah mengikat, katanya,
ternyata tidak dipatuhi pihak pengusaha. Untuk itu disiapkan
sanksi keras bagi pengusaha yang melanggar: pencabutan izin
usaha. Tentu saja pencabutan itu harus dilakukan melalui
departemen teknis masing-masing perusahaan. "Ini kami atur.
Sebab bila terjadi PHK, yang tidak bisa dihindarkan lagi, perlu
dipersiapkan penampungannya," kata Sudomo kepada pers.
Gagasan PHK "model baru" boleh merupakan tiang penyangga bagi
hidup buruh di masa sulit ini. Meski ada yang mempertanyakan
legalitasnya. Dosen Perburuhan FH-UI, H.P. Rajagukguk, menilai
bahwa tidak seluruh gagasan itu bertentangan dengan
undang-undang perburuhan yang ada. Undang-undang yang ada, UU no
22/1957, menyebutkan antara lain bahwa fungsi P4 hanya sebagai
lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan dan tidak memberi
izin PHK. Fungsi pemberian izin itu, katanya, kemudian didapat
P4 dari pendelegasian wewenang menteri. Jadi, kata Rajagukguk,
menteri bisa menangani kembali soal izin itu.
Namun, kata Rajagukguk yang juga ikut di P4P, wewenang lzin PHK
melalui menteri itu baru timbul bila ada pihak yang keberatan
atas putusan P4D atau P4P. "Masalahnya, jika tidak ada yang
keberatan, apakah setiap PHK harus dapat izin menteri juga?"
seperti dipertanyakan Rajagukguk.
Yang boleh disebut sebagai ganjalan, kata dosen itu, adalah
sanksi pencabutan izin usaha seperti dilontarkan Sudomo.
Undang-undang ternyata tidak mencantumkan sanksi itu bagi
perusahaan yang tidak mentaati putusan P. Sebab itu pula,
Rajagukguk mengakui, undang-undang bidang perburuhan sangat
ketinggalan.
Kekurangan itu pula yang terasa sering dimanfaatkan pengusaha
yang sampai hati mengurangi hak buruh. Ketika Sudomo mengancam
pengusaha, seorang buruh pabrik tekstil Ganatex di Bandung,
Chandra Setiaji, sedang sibuk mengurus permohonan eksekusi
keputusan P4 melalui Pengadilan Negeri Bandung. Sebab keputusan
P4P Jawa Barat, yang memenangkan gugatannya untuk mendapatkan
pesangon, ternyata tidak diacuhkan pengusaha pabrik tekstil itu.
Bekas kepala bagian administrasi sejak pabrik Ganatex didirikan,
1970, Chandra senasib dengan 300 orang rekannya yang kena depak
manajemen. Hanya saja, karyawan lainnya bersedia menerima "uang
kebijaksanaan" dari perusahaan, sementara Chandra, tidak. Ia
membawa persoalannya ke P4D. Tapi empat kali persidangan di P4D
Jawa Barat, Direktur I PT Ganatex, Naga Budiman, ternyata tidak
datang memenuhi panggilan. Sebab itu P4D terpaksa mengabulkan
gugatan Chandra, untuk mendapat pesangon sebanyak Rp 1,9 juta,
tanpa mendengarkan keterangan pihak pabrik.
Namun kemenangan Chandra, yang diputuskan September lalu,
ternyata hanya kemenangan di atas kertas belaka. "P4D ternyata
hanya macan kertas," kata Chandra, 49 tahun. Karena itu ia
memohon Pengadilan Negeri Bandung melakukan lelang eksekusi.
Tapi cerita lama kembali muncul: Chandra harus membayar biaya
iklan eksekusi yang ditetapkan pengadilan sebesar Rp 300 ribu.
"Kalau ia tidak punya biaya, eksekusi tidak bisa dilakukan,"
ujar Ketua Pengadilan Negeri Bandung, Soebandi, pekan lalu.
Chandra memang angkat tangan. "Dari mana saya akan mendapatkan
uang sebanyak itu," jeritnya. Satu-satunya jalan yang akan
dicobanya hanyalah mengadu ke PO Box 555 yang dibuka Sudomo
ketika baru saja mengurus ketenagakerjaan.
Naga Budiman, yang akan diadukan, mengaku mengalami
kebangkrutan. Tapi ia membantah telah memecat Chandra. "Salah
sendiri, kenapa tidak datang ke sini," kata Naga. Karena tidak
merasa memecat itu pula, ia tidak merasa wajib datang ketika
dipanggil P4D. "Buat apa saya datang, toh saya tidak memecat
dia," ujar Naga lagi.
Tapi, tentu tidak semua pengusaha seperti Naga Budiman. T.D.
Pardede, pengusaha tekstil terbesar di Medan, misalnya, ternyata
"lebih maju" dari undang-undang. Dua bulan lalu, ketika produksi
tekstilnya menurun keras, Pardede menawarkan sebuah jalan keluar
kepada karyawannya: "Siapa saja yang mau berhenti, akan diberi
tanah perumahan, serta pesangon sebanyak tiga bulan gaji". Tidak
kurang 40 karyawan saat itu juga mengacungkan tangan.
Kini ke-40 karyawan itu dengan gembira sibuk membangun rumahnya
di tanah hadiah bekas bosnya itu. Setiap orang mendapatkan tanah
seluas sekitar 80 m2 di Desa Purwodadi, 13 km dari Medan, sekitar
100 meter dari pabrik tempat mereka bekerja sebelumnya. "Sampai
tua bekerja di pabrik itu, tidak mungkin mendapatkan perumahan,"
ujar Ahmad Jamin, 30 tahun, yang sudah 10 tahun mengabdi di
pabrik tekstil itu. Sebelumnya, ia tidak berani membayangkan
mendapat rumah itu, jika harus membeli dari gajinya
yang hanya Rp 50 ribu sebulan. "Untuk makan saja tidak cukup,
kalau istri saya tidak jualan," ujar Ahmad Jamin.
Perusahaan Pardede memang lagi terancam gulung tikar. "Kalau
dulu produksi kami laku keras, sekarang hancur," ujar Pardede,
67 tahun yang mengaku sejak beberapa tahun ini hanya 10% dari
1.000 mesinnya yang bekerja. Sebab itu ia berniat akan memberi
perumahan bagi 600 orang karyawannya jika semuanya bersedia
berhenti. Ia tidak merasa rugi membagi-bagi tanah miliknya itu.
"Sebenarnya merekalah yang membangun pabrik itu dan merekalah
yang berjasa," kata Pardede, yang belakangan ini rajin dalam
kegiatan keagamaan. Untuk membagi-bagi tanah kepada karyawannya
yang di PHK-kan tentu tak perlu izin Menteri Tenaga Kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini