Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Umur sebuah perkara

Eksekusi putusan Mahkamah Agung tentang sengeta tanah perkotaan di Medan (antara ahli waris toga raja tampubolon dengan bachtiar lumbantobing) belum dilaksanakan, meski telah diputus 10 th yang lalu. (hk)

9 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA tahun lalu Mardohar Tampubolon menerima wasiat dari mendiang ayahnya, Toga Raja Uluan Tampubolon. Isi wasiat pendek saja: "Miliki kembali tanah pertokoan itu". Pemuda Batak itu terpaksa meninggalkan bangku kuliahnya, di Sekolah Tinggi Publisistik Jakarta, dan kembali ke kampungnya di Tarutung, Sumatera Utara. Tekadnya hanya satu: mendapatkan kembali hak milik ayahnya, sepetak tanah pertokoan yang sudah diputuskan Mahkamah Agung 10 tahun lalu. Namun, sampai pekan lalu, usahanya gagal total. Eksekusi keputusan Mahkamah Agung itu tidak pernah terlaksana. "Bayangkan, sepuluh tahun umur keputusan itu, tanpa bisa dilaksanakan. Stamina kami sudah melemah," ujar Mardohar putus asa. Sejak putusan dijatuhkan Mahkamah Agung, 21 Maret 1973, baik Toga Tampubolon -- semasa hidupnya -- maupun Mardohar, sudah 25 kali mengirim surat memohon eksekusi ke Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, Gubernur Sumatera Utara dan bahkan ke Presiden. "Tapi tak ada hasilnya -- mungkin ada setan yang menghalangi," ujar Mardohar. Tanah yang dipersengketakan itu tidak begitu luas. Terletak di Jalan Sisingamangaraja, Tarutung, tanah seluas 8 x 38 meter itu dibeli kakek Mardohar, Iskandar Tampubolon, April 1924. Toga Tampubolon, yang kemudian mewarisi, tidak memanfaatkan tanah itu. Sebab Pemerintah Belanda membuat gang kebakaran di tanah itu yang kebetulan letaknya persis di depan pasar. Setelah kemerdekaan, tanah warisan itu kembali kosong. Sesuai perkembangan kota, di sepanjang jalan itu bermunculan pertokoan, termasuk di kedua sisi tanah Toga. Entah kenapa, pada 22 Juli 1970, seorang pedagang yang juga pengurus HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), Bachtiar Lumbantobing, mendapat hak pakai atas tanah itu dari bupati Tarutung, waktu itu M.S.M Sinaga. Setahun kemudian Bachtiar, yang juga dikenal dengan nama Baluto, mendapat izin mendirikan bangunan. Baluto pun membangun tokonya. Toga Tampubolon, 53 tahun? tentu saja kaget ketika melihat tanahnya dibangun toko tanpa sepengetahuannya. Ia segera menggugat ke Pengadilan Negeri Tarutung, 1970, menuntut agar bupati Tarutung dan Baluto menyerahkan kembali tanah itu kepadanya. Keputusan Pengadilan Negeri Tarutung, setahun kemudian, sangat membingungkan siempunya perkara: Gugatan Toga ditolak, tapi haknya atas tanah itu diakui. Tapi Pengadilan Tinggi di Medan, 1972, memberikan kemenangan buat Toga yang memang punya bukti-bukti pemilikan atas tanah itu. Keputusan banding itu kemudian dikuatkan dengan keputusan Mahkamah Agung, yang ditandatangani Ketua Mahkamah Agung ketika itu, R. Soebekti. Tapi, walau sudah dua kali pula ketua Mahkamah Agung diganti dan sudah 8 kali ketua Pengadilan Negeri Tarutung ditukar, eksekusi tak juga terlaksana. Menurut Mardohar, selama 10 tahun itu sudah dua kali muncul surat peringatan Mahkamah Agung untuk melaksanakan eksekusi, pada 1976 dan 1981. Tak kurang dari 10 kali pula surat Pengadilan Tinggi mendesak eksekusi itu ke Pengadilan Negeri. Bahkan, Inspektur Jenderal Departemen Kehakiman sudah tiga kali meminta Departemen Dalam Negeri membantu menyelesaikan perkara yang menyangkut seorang bupati itu. Namun hasilnya tetap nihil. Usaha perdamaian pun, kata Mardohar berulang kali sudah dicoba tanpa hasil. Pada 1972, Pengadilan Tinggi pernah membuka kesempatan berdamai. Ketika itu Toga malah bersedia memberi penggantian sebanyak Rp 300 ribu dengan cara mencicil kepada Baluto. Tapi Baluto menolak. "Saya sudah menghabiskan 5 kg emas untuk membangun toko itu," kilah pedagang yang membangun toko permanen di atas tanah Toga itu. Sebaliknya mendiang Toga Tampubolon juga menolak ganti rugi Baluto. "Itu tanah pusaka, punya nilai historis, dibayar berapa pun juga saya tidak mau," kata mendiang Toga -- Tampubolon seperti ditirukan Mardohar. Sekarang pintu damai benar-benar sudah tertutup. "Saya tidak akan meninggalkan toko itu, walau apa pun yang terjadi," kata Baluto kepada TEMPO. Menjual alat-alat rumah tangga di toko sengketa itu, Baluto berniat balik menuntut ganti rugi kepada bupati, sebesar Rp 250 juta. "Rp 200 juta untuk gengsi saya dan sisanya untuk toko itu," kat, Baluto. Ia, katanya, akan menuntut bupati yang memberikan tanah sengketa itu kepadanya. Soalnya sekarang terpulang pada Pengadilan Negeri Tarutung. Ketua Pengadilan Agustinus Hutauruk, yang baru sebulan menduduki jabatannya, menjanjikan eksekusi keputusan itu bulan Juli ini juga. Tapi Mardohar belum begitu yakin. Sebab, ucapan yang sama sudah didengar Mardohar dari pendahulu-pendahulu Agustinus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus