TIGA tahun lalu Mardohar Tampubolon menerima wasiat dari
mendiang ayahnya, Toga Raja Uluan Tampubolon. Isi wasiat pendek
saja: "Miliki kembali tanah pertokoan itu". Pemuda Batak itu
terpaksa meninggalkan bangku kuliahnya, di Sekolah Tinggi
Publisistik Jakarta, dan kembali ke kampungnya di Tarutung,
Sumatera Utara. Tekadnya hanya satu: mendapatkan kembali hak
milik ayahnya, sepetak tanah pertokoan yang sudah diputuskan
Mahkamah Agung 10 tahun lalu. Namun, sampai pekan lalu, usahanya
gagal total. Eksekusi keputusan Mahkamah Agung itu tidak pernah
terlaksana.
"Bayangkan, sepuluh tahun umur keputusan itu, tanpa bisa
dilaksanakan. Stamina kami sudah melemah," ujar Mardohar putus
asa. Sejak putusan dijatuhkan Mahkamah Agung, 21 Maret 1973,
baik Toga Tampubolon -- semasa hidupnya -- maupun Mardohar,
sudah 25 kali mengirim surat memohon eksekusi ke Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, Gubernur Sumatera
Utara dan bahkan ke Presiden. "Tapi tak ada hasilnya -- mungkin
ada setan yang menghalangi," ujar Mardohar.
Tanah yang dipersengketakan itu tidak begitu luas. Terletak di
Jalan Sisingamangaraja, Tarutung, tanah seluas 8 x 38 meter itu
dibeli kakek Mardohar, Iskandar Tampubolon, April 1924. Toga
Tampubolon, yang kemudian mewarisi, tidak memanfaatkan tanah
itu. Sebab Pemerintah Belanda membuat gang kebakaran di tanah
itu yang kebetulan letaknya persis di depan pasar.
Setelah kemerdekaan, tanah warisan itu kembali kosong. Sesuai
perkembangan kota, di sepanjang jalan itu bermunculan pertokoan,
termasuk di kedua sisi tanah Toga. Entah kenapa, pada 22 Juli
1970, seorang pedagang yang juga pengurus HKBP (Huria Kristen
Batak Protestan), Bachtiar Lumbantobing, mendapat hak pakai atas
tanah itu dari bupati Tarutung, waktu itu M.S.M Sinaga. Setahun
kemudian Bachtiar, yang juga dikenal dengan nama Baluto,
mendapat izin mendirikan bangunan. Baluto pun membangun tokonya.
Toga Tampubolon, 53 tahun? tentu saja kaget ketika melihat
tanahnya dibangun toko tanpa sepengetahuannya. Ia segera
menggugat ke Pengadilan Negeri Tarutung, 1970, menuntut agar
bupati Tarutung dan Baluto menyerahkan kembali tanah itu
kepadanya. Keputusan Pengadilan Negeri Tarutung, setahun
kemudian, sangat membingungkan siempunya perkara: Gugatan Toga
ditolak, tapi haknya atas tanah itu diakui.
Tapi Pengadilan Tinggi di Medan, 1972, memberikan kemenangan
buat Toga yang memang punya bukti-bukti pemilikan atas tanah
itu. Keputusan banding itu kemudian dikuatkan dengan keputusan
Mahkamah Agung, yang ditandatangani Ketua Mahkamah Agung ketika
itu, R. Soebekti.
Tapi, walau sudah dua kali pula ketua Mahkamah Agung diganti dan
sudah 8 kali ketua Pengadilan Negeri Tarutung ditukar, eksekusi
tak juga terlaksana. Menurut Mardohar, selama 10 tahun itu sudah
dua kali muncul surat peringatan Mahkamah Agung untuk
melaksanakan eksekusi, pada 1976 dan 1981. Tak kurang dari 10
kali pula surat Pengadilan Tinggi mendesak eksekusi itu ke
Pengadilan Negeri. Bahkan, Inspektur Jenderal Departemen
Kehakiman sudah tiga kali meminta Departemen Dalam Negeri
membantu menyelesaikan perkara yang menyangkut seorang bupati
itu. Namun hasilnya tetap nihil.
Usaha perdamaian pun, kata Mardohar berulang kali sudah dicoba
tanpa hasil. Pada 1972, Pengadilan Tinggi pernah membuka
kesempatan berdamai. Ketika itu Toga malah bersedia memberi
penggantian sebanyak Rp 300 ribu dengan cara mencicil kepada
Baluto. Tapi Baluto menolak. "Saya sudah menghabiskan 5 kg emas
untuk membangun toko itu," kilah pedagang yang membangun toko
permanen di atas tanah Toga itu. Sebaliknya mendiang Toga
Tampubolon juga menolak ganti rugi Baluto. "Itu tanah pusaka,
punya nilai historis, dibayar berapa pun juga saya tidak mau,"
kata mendiang Toga -- Tampubolon seperti ditirukan Mardohar.
Sekarang pintu damai benar-benar sudah tertutup. "Saya tidak
akan meninggalkan toko itu, walau apa pun yang terjadi," kata
Baluto kepada TEMPO. Menjual alat-alat rumah tangga di toko
sengketa itu, Baluto berniat balik menuntut ganti rugi kepada
bupati, sebesar Rp 250 juta. "Rp 200 juta untuk gengsi saya dan
sisanya untuk toko itu," kat, Baluto. Ia, katanya, akan menuntut
bupati yang memberikan tanah sengketa itu kepadanya.
Soalnya sekarang terpulang pada Pengadilan Negeri Tarutung.
Ketua Pengadilan Agustinus Hutauruk, yang baru sebulan menduduki
jabatannya, menjanjikan eksekusi keputusan itu bulan Juli ini
juga. Tapi Mardohar belum begitu yakin. Sebab, ucapan yang sama
sudah didengar Mardohar dari pendahulu-pendahulu Agustinus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini