"BILA datang kepada kamu orang fasik dengan satu berita,
hendaklah kamu cek". Demikian satu bagian ayat Quran dalam Surah
Al-Hujurat. Tapi berita tentang "Quran zionis", yang banyak
mengandung pemalsuan dan konon masuk pula ke Indonesia, tidak
datang dari orang fasik. Hanya saja setelah dicek di mana-mana
memang tak ada.
Yang ada bahkan Quran kita sendiri, bukan bikinan Israel, yang
banyak kekurangan ayat. Kebetulan pula hadiah Rabithah Alam
Islami -- organisasi dunia yang berpusat di Mekah, yang
menyumbang lima juta kitab Quran kepada muslimin Indonesia.
Jumlah sebanyak itu disebutkan oleh H.M. Baharthah, direktur
PT Al-Ma'arif, Bandung, Yang mencetak pesanan Rabithah sejak
1980 dan telah menyebarkannya sebanyak dua juta. Dua kitab Quran
yang sama-sama kehilangan 173 ayat itu, yang ditemukan oleh H.
Ahmad Syahid, pemimpin pesantren Quran Al-Fatah di Cicalengka,
Bandung (TEMPO 2 Juli), memang Quran Rabithah.
Bahkan, seperti dituturkan dr. Syamsuddin, kepala Bagian
Penerbitan PT Al-Ma'arif tersebut, di awal Juli juga datang
kiriman dari seseorang bernama Mohammad Ichsan di Bengkulu, yang
menunjuk kesalahan Quran Rabithah tersebut dari segi lain:
kekacauan halaman di beberapa tempat.
Masih tentang Al-Ma'arif, dalam edisinya yang lain -- Quran 11 x
17 cm, bertahun 1977 -- juga terdapat kesalahan satu kata. Dalam
Surah Thaha ayat 43, thagha ditulis dengan tha'a. Dalam bahasa
Arab, perbedaannya hanya pada ada atau tidak adanya titik pada
huruf kedua ('ain atau ghain), yang bisa membawa perbedaan arti.
Tapi ternyata tidak hanya Al-Ma'arif. PT Bumi Restu, milik
Departemen Agama, tahun 1977 mengeluarkan Quran yang banyak
kekurangan ayatnya: empat ayat dari Surah Yasin, 45 dari Surah
Fathir, 54 dari Surah Saba, misalnya. Sedang edisi Proyek
Pengadaan Kitab Suci Al-Quran, didapati ada yang kehilangan juz
IX sementara memuat dua kali juz X.
Tapi masalahnya ternyata "hanya" salah cetak -- atau bahkan
salah jilid. "Itu bisa terjadi ketika pegawai penjilidan
memasukkan vel demi vel, lalu ada yang luput," kata dr.
Syamsuddin yang tadi. "Atau bisa juga satu kateren luput, dan
itu bertepatan dengan 173 ayat yang hilang itu". Juga bisa
terjadi pendobelan, akibat keteledoran pada proses itu.
Dengan kata lain kesalahannya selalu terletak pada perpindahan
halaman. Pada Quran Rabithah maupun yang lain-lain, menurut
penyaksian TEMPO di Bandung, memang tidak ada satu ayat yang,
misalnya, meloncat dengan melewati beberapa ayat lain pada satu
halaman yang sama.
Kekacauan halaman juga bisa terjadi dalam contoh Quran Rabithah
yang dikirimkan dari Bengkulu itu: halaman 279 loncat ke halaman
276, dan seterusnya. Yang ini, seperti diterangkan Syamsuddin,
"adalah keteledoran karyawan ketika melipat". Seharusnya melipat
ke kanan, malah ke kiri. "Dalam kasus ini kekacauan pasti
terjadi pada kesatuan 32 halaman."
Sedang kemungkinan kesalahan berupa kekurangan titik, pada edisi
Al-Ma'arif yang lain itu, menurut Baharthah karena film yang
dijadikan pelat kebetulan kotor. "Lalu ketika membersihkan, si
tukang hapus tak sengaja menghilangkan titik di atas huruf
ghain".
Tapi yang penting, semua Quran yang dicetak, seperti dituturkan
pihak Ma'arif, sudah melewati Lembaga Tashih Departemen Agama --
pihak yang berwewenang mengesahkan konsep ayat-ayat yang berasal
dari tulisan tangan itu. Juga Quran Rabithah yang memakai konsep
ber-tashih tanggal 1 September 1977. Sedang menurut Lajnah
Tashih sendiri, tidak ada kitab Quran bikinan dalam negeri yang
tidak bertanda tashih, sementara yang dari luar -- impor -- pun
diperiksa dan diberi surat izin edar. Termasuk Quran terbitan
Darul Fikr Beirut yang diributkan sebagai "zionis" itu. Sedang
bila ada yang membawanya secara perorangan, tentu jumlahnya tak
banyak (TEMPO, 25 Juni).
Pihak Kantor Wilayah Departemen Agama Jawa Barat dalam pada itu
telah menghubungi Al-Ma'arif mengenai Quran Rabithah -- "dan
telah mafhum, setelah kami jelaskan duduk perkaranya," kata
Syamsuddin. Baharthah sendiri menyatakan, beredarnya Quran yang
salah itu dimungkinkan oleh "pihak yang iseng menjual barang
afkir yang seharusnya tidak bisa lolos dari Al-Ma'arif." Yang
seperti ini memang pernah terjadi, beberapa tahun lalu, pada
kasus dipakainya lembaran-lembaran Quran -- yang ternyata
berasal dari Al-Ma'arif -- untuk pembungkus barang-barang.
Rupanya dijual secara kiloan -- dan sampai ke Aceh.
Di gudang Al-Ma'arif sendiri, penerbit buku agama yang konon
terbesar di Asia Tenggara, di samping termurah harganya, kini
masih tersimpan sekitar 30.000 Quran yang salah. Ini edisi lain
lagi: pesanan Yayasan Pengembangan Al-Quran (YPA) yang dipimpin
Dr. Ibnu Sutowo. "Sampai dua kali dicetak, masih saja ada yang
salah. Akhirnya pencetakannya disetop atas persetujuan kedua
pihak," kata Baharthah.
Quran yang kekurangan satu titik itu sendiri sudah dicetak kedua
kali, 50.000 eksemplar. Tapi karena ketahuan salah, "kami sekali
lagi mengoreksi -- buku demi buku," tutur Syamsuddin. Sampai
sekarang katanya sudah selesai koreksian 15.000 buku -- "dan
10.000 sudah kami pasarkan." Bagaimana terhadap cetakan pertama
sendiri? Tak ada jalan lain rupanya "Kami hanya bisa menyurati
berbagai pihak, seperti pesantren di Cicalengka itu, untuk
menambahkan titik yang hilang itu."
Hanya satu titik. Tapi Quran memang kitab yang "peka". Bukan
sekadar dibaca untuk dipahami, melainkan pembacaannya sendiri --
dengan lafal aslinya -- diyakini sebagai ibadat. Sebagian
muslimin, misalnya, berpendapat bahwa kesalahan membaca,
khususnya yang mengubah arti, bisa punya implikasi dosa. Bahkan
kertas Qurannya itu sendiri bisa menerbitkan ketersinggungan
umat bila, misalnya, diperlakukan tidak semestinya.
Tak heran bila terhadap Quran Ibnu Sutowo yang 30.000 itu pun,
yang tersimpan di gudang, Baharthah menyatakan belum tahu mau
berbuat apa. "Mau dibakar, susah cari tempatnya yang besar. Jika
dilebur lagi menjadi bahan baku, misalnya -- takut ribut
nantinya."
Di atas segala-galanya, yang sudah jelas memang ada Quran yang
salah cetak itu dan usaha penanggulangannya. Dan belum, atau
bukan, "Quran zionis". Seperti kata Sawabi Ihsan M.A., yang
mengepalai Lajnah Tashih Departemen Agama, terhadap Quran
terbitan Beirut itu: "Tak ada bukti, kok kita mau menuduh."
Tenang-tenang sajalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini