Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ombudsman menemukan ada 6 indikasi pidana dalam kasus pagar laut di perairan Tangerang. “Kami mendorong agar aparat penegak hukum mengusut tuntas pidana tersebut,” ujar Kepala Perwakilan Ombudsman Banten Fadli Afriadi saat merilis hasil investigasi pagar laut Tangerang di Gedung Ombudsman RI, Senin, 3 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berikut indikasi pidana pagar laut menurut Ombudsman:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Penguasaan hak atas tanah di atas ruang laut dari masyarakat secara illegal.
370 hektare wilayah air di Desa Kohod diterbitkan 263 Hak Guna Bangunan (HGB). Pihak yang sama kemudian kembali berupaya untuk menguasai 1.415 hektare laut yang terbentang sepanjang 30 km persis di atas berdirinya pagar laut Tangerang. Sebagai informasi dari 263 HGB yang terbit itu, 50 diantaranya telah dibatalkan oleh ATR/BPN karena cacat adminisgtrasi.
Namun untuk data 1,415 hektare belum sampai pada pengajuan ke pihak ATR/BPN. Jumlah itu baru sebatas bersurat ke Dinas Kelautan Perikanan (DKP) Banten. Dimana pihak yang bersangkutan ingin DKP Banten menerbitkan rekomendasi pemanfaatan bidang tanah milik adat dengan dasar girik atau letter C desa.
Namun oleh DKP ditegaskan sedari awal wilayah yang mereka mohonkan adalah wilayah laut yang tidak bisa diterbitkan HGB. Menurut Ombudsman pihak yang mengajukan tersebut adalah perusahaan firma hukum.
2. Tidak berizin
Status ini telah dipastikan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provonsi (DKP) Banten sebagai pihak daerah yang berwenang melakukan pengawasan di wilayah perairan laut sampai dengan batas 12 mil. Oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan kemudian pagar laut itu disegel pada 9 Januari 2025. Kemudian atas instruksi Presiden Prabowo Subianto dilakukan pembongkaran pagar sejak 18 Januari 2025, kini dari total Panjang pagar 18,7 km diantaranya telah dibongkar. Proses pembongkaran masih terus berjalan secara bertahap.
3. Potensi mengganggu ketertiban umum
Adanya pagar laut itu telah menganggu aktivitas nelayan setempat. Mereka terpaksa harus memutar untuk mencari ikan ke tengah laut. Ombudsman sebelumnya juga mengindikasikan ada upaya memecah belah masyarakat atas polemik pemasangan pagar laut. Hal itu diungkap oleh Kepala Ombudsman Mokhammad Najih pada konferensi pers pencapaian penyelesaian laporan 2024 via zoom meet, Kamis, 16 Januari 2025.
Beberapa warga mengeluhkan keberadaan pagar laut ke Ombudsman. Di lain pihak ada yang mengklaim pemasangan pagar laut itu dilakukan secara swadaya oleh masyarakat. Kelompok masyarakat itu bernama Jaringan Rakyat Pantura (JRP). Mereka mengaku sebagai pemasang pagar dan berdalih pemasangan dilakukan untuk mencegah abrasi dan mengurangi dampak gelombang besar.
4. Merugikan Masyarakat
Ombudsman mencatat terhitumg sejak Agustus 2024 sampai Januari 2025 kerugian masyarakat atas keberadaan pagar laut itu kurang lebih mencapai Rp 24 miliar. Angka itu diasumsikan dari 3.888 nelayan yang mengalami gangguan melaut. Berdasarkan sejumlah sampel wawancara nelayan, ada ongkos bahan bakar yang naik, terjadi kerusakan kapal dan pengurangan tangkapan ikan selama pagar laut Tangerang berdiri. Itulah yang kemudian dijadikan ombudsman sebagai tolak ukur kerugian.
5. Beredarnya dua surat yang diduga palsu
Setelah adanya penolakan dari DKP Banten beredar kop Dinas Kelautan. Isi surat itu menyatakan area yang dimohonkan oleh Septian Wicaksono bukan di zona perikanan budi daya, perikanan tangkap, serta wilayah kerja minyak dan gas bumi. Surat itu telah dibantah langsung oleh Kepala DKP Banten Eli Susiyanti.
6. Potensi dampak lingkungan
Selain tidak berizin, pagar laut yang membentang dari Desa Muncung hingga Pakuhaji, Tangerang itu belum memiliki analisi dampak lingkungan (Amdal)