Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

7 Poin Komentar Koalisi Masyarakat Sipil atas Kasus Haris Azhar dan Fatia

7 poin penting dalam komentar koalisi masyarakat sipil mengenai kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.

4 April 2023 | 09.20 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dari beberapa lembaga menyampaikan pendapat soal kasus Haris Azhar, Pendiri Lokataru dan Fatia Maulidiyanti, Koordinator Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Koalisi masyarakat sipil terdiri dari beberapa organisasi nonpemerintah di bidang advokasi hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Beberapa diantaranya adalah STHI Jentera, HiVOS, KontraS, Amnesty International Indonesia, SAFEnet, ICJR, KPA, PBHI, HRWG, AJI Pusat, LBH Apik, ICW, YLBHI, JSKK, LBH Jakarta, Trend Asia, PUSAKA, Solidaritas Perempuan, Greenpeace, Bersihkan Indonesia, PSHK, ICEL, AMAN, Asian Justice and Right, PAKU ITER, KontraS Papua dan lain sebagainya.

Kabar Buruk bagi Demokrasi

Koalisi Masyarakat Sipil menganggap kriminalisasi Fatia dan Haris merupakan kabar buruk bagi demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Pertama klien kami Fatia dan Haris meyakini apa yang diucapkan mengandung fakta, mengandung hasil penelitian yang cukup kuat,” kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, M Isnur kepada wartawan di YLBHI, Jakarta Pusat, Ahad, 3 April 2023. 

Menurutnya, kliennya sudah melakukan kritik terhadap pemerintah bukan kali pertama namun, sudah beberapa kali. 

“Mereka sangat panjang bukan kali ini saja mereka bicara sebagai orang yang mengkritisi pemerintah mereka sudah puluhan tahun,” ucap dia.

Fatia dan Haris Azhar Korban Judicial Harassment

Koalisi Masyarakat Sipil mengatakan Fatia dan Haris Azhar telah menjadi korban judicial harassment dalam kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Koalisi mengatakan Haris dan Fatia telah dikriminalisasi menggunakan perangkat hukum untuk mempidanakan masyarakat yang aktif berpendapat.

“Secara umum, dilanjutkannya kasus ini hanya akan menambah catatan hitam pada rekam jejak demokrasi di Indonesia,” kata kuasa hukum Haris Azhar dan Fatia, Muhammad Isnur, sekaligus Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) saat ditemui di kantor YLBHI di Jakarta Pusat, Ahad, 2 April 2023.

Ancaman Serius bagi Kebebasan Sipil

Menurut Isnur, kriminalisasi terhadap Fatia dan Haris merupakan ancaman serius bagi demokrasi dan situasi kebebasan sipil di Indonesia. Selama beberapa tahun terakhir, kebebasan berekspresi di Indonesia tak kunjung mengalami kemajuan. Hal ini ditandai dengan masifnya penangkapan sewenang-wenang, pembubaran paksa terhadap demonstrasi secara berlebihan, kriminalisasi terhadap sejumlah aktivis yang mengkritik pemerintah dan sejumlah pelanggaran lainnya. 

UU ITE Jadi Momok Kebebasan Berpendapat di Ruang Digital

Selain itu, Undang-undang ITE kembali menjadi momok bagi kebebasan berpendapat di ruang digital. Berbagai pasal karet yang ada dalam undang-undang ini terbukti telah memakan banyak korban. 

“Belum lagi penggunaan instrumen hukum tersebut begitu diskriminatif, sebab hanya akan menjerat mereka yang dikategorisasikan sebagai bukan simpatisan pemerintah,” ujar Isnur.

Isnur menuturkan dengan UU ITE yang tak kunjung direvisi oleh pemerintah, masyarakat semakin enggan berpendapat di platform media sosialnya masing-masing karena takut dikriminalisasi. Langkah pemerintah untuk mengeluarkan pedoman implementasi pun tak efektif berjalan. Produk hukum semacam ini, menurut Koalisi, diperparah dengan kemunculan pasal-pasal anti-demokrasi di KUHP baru yang baru disahkan akhir tahun 2022 lalu.

Tak Ada Perlindungan untuk Pembela HAM

Kemudian, proteksi terhadap kerja-kerja Pembela HAM di Indonesia masih sangat lemah. Walaupun sudah ada beberapa instrumen seperti halnya Standar Norma dan Pengaturan (SNP) terkait Pembela HAM yang diterbitkan oleh Komnas HAM, nyatanya kerja pembelaan HAM seringkali dalam ancaman. 

“Pembungkaman pun terus menerus dilakukan dengan berbagai cara oleh perangkat negara,” ujar Isnur.

Di sisi lain, ketika Pembela HAM meminta keadilan atas peristiwa yang menimpanya, saluran-saluran tersebut dalam rangka akuntabilitas pun tertutup. Hal ini pada akhirnya membuat mereka yang bekerja membela kepentingan publik berada pada kerentanan.

Aktivitas Fatia dan Haris adalah Bentuk Pengawasan Masyarakat terhadap Pemerintah 

Selanjutnya, kritik publik merupakan bagian dari HAM dan unsur penting dalam negara demokrasi. Selain dilindungi oleh berbagai instrumen HAM baik nasional maupun internasional, aktivitas yang dilakukan oleh Fatia dan Haris merupakan bagian dari masyarakat sipil dalam mengawasi kerja pemerintah agar tak terjadi absolutisme kekuasaan.

Kritikan Fatia dan Haris Azhar Tak Pernah Dibuktikan Sebaliknya

Selain itu, kritikan Fatia dan Haris tidak pernah dibuktikan sebaliknya, sehingga tak dapat diklasifikasikan sebagai berita bohong. Sampai sejauh ini, Luhut Binsar Panjaitan tidak pernah memaparkan data bantahan berkaitan dengan keterlibatannya pada praktik bisnis pertambangan yang ada di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua. 

“Hasil riset yang dibuat oleh sembilan organisasi masyarakat sipil yang menjadi landasan kritikan Fatia dan Haris juga seharusnya dibiarkan menjadi diskursus publik terkait permasalahan tambang di Papua, bukan justru dijadikan dasar pelaporan tindak pidana,” ujar Isnur.

EKA YUDHA SAPUTRA | DESTY LUTHFIANI

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus