Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agenda pertemuan Ketua Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu Ugan Gandar dengan Galaila Karen Agustiawan pada Rabu pekan lalu adalah membahas perjanjian kerja bersama. Di tengah rapat, pokok bahasan beralih ke topik yang lebih "panas". Ugan bertanya tentang kabar pengunduran diri Karen. "Apa benar Ibu mau mundur?" ujar Ugan mengulang pertanyaannya kepada Karen di hadapan Tempo.
Karen tak menampik. Perempuan 56 tahun ini membenarkan akan mundur. Dia mengaku ingin berfokus mengurus keluarga dan mengajar di Universitas Harvard, Amerika Serikat. Tak puas atas jawaban tersebut, Ugan terus mencecar. "Akhirnya Ibu mengaku mundur karena tak mau jadi korban, tak mau jadi sarden," kata Ugan.
Memimpin Pertamina sejak 5 Februari 2009, tadinya Karen mengisi pos direktur hulu. Perempuan pertama yang memimpin badan usaha milik negara ini berhasil membawa Pertamina menembus daftar 500 perusahaan dengan pendapatan tertinggi di dunia versi Global Fortune pada 2013 dan 2014. Dia juga satu-satunya pemimpin paling lama di posisi pucuk Pertamina-sejauh ini.
Sederet prestasi moncer ini rupanya hanya di atas kertas. Seorang mantan petinggi Pertamina mengatakan, kendati Pertamina masih mencetak laba Rp 32,05 triliun pada 2013, kondisi keuangan salah satu BUMN terbesar Indonesia ini sebenarnya dalam kondisi kritis. "Persediaan uang kas Pertamina terus menipis," ujarnya kepada Tempo.
Pertamina saat ini masih punya piutang Rp 48 triliun akibat beban subsidi bahan bakar minyak dan elpiji yang belum bisa dibayar pemerintah dan tak dimasukkan ke Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015. Itu belum termasuk kerugian usaha lain, seperti di sektor penjualan elpiji 12 kilogram yang mencapai Rp 6 triliun dan kerugian penjualan solar kepada PLN sebesar Rp 495 miliar.
Tekanan lain yang harus dipikul Karen adalah ekspansi bisnis Pertamina melalui akuisisi blok minyak di luar negeri. "Investasi itu tak membuahkan hasil, seperti yang diperkirakan di awal," kata mantan pejabat tadi. "Malah bisa disebut gagal," dia menegaskan.
Contohnya? Investasi di Blok Basker-Manta-Gummy, Australia, senilai Rp 568 miliar untuk partisipasi saham 10 persen yang akhirnya gagal. Yang teranyar adalah investasi Pertamina di Aljazair dengan mengakuisisi saham ConocoPhillips Algeria senilai Rp 17,5 triliun, yang dinilai terlalu mahal. Dengan transaksi ini, Pertamina menguasai 65 persen saham di Blok 405a, yang memiliki tiga lapangan minyak utama: Menzel Lejmat North, Ourhoud, dan EMK.
Semestinya, sesuai dengan perjanjian dulu, dari lapangan-lapangan tersebut Pertamina mendapat tambahan produksi 23 ribu barel per hari. Pada Maret lalu, produksi minyak dari lapangan tersebut yang sampai ke Indonesia hanya 600 ribu barel untuk 75 hari produksi. Artinya rata-rata produksi minyak hanya 8.000 barel per hari.
Seorang kawan dekatnya menuturkan beban lain yang membikin Karen makin kepingin hengkang. Tatkala Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa dia sebagai saksi kasus suap mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini, Karen, menurut kawannya ini, merasa sendirian betul. "Semuanya hanya cari aman," ucapnya.
Karen menyangkal ketika ihwal ini ditanyakan kepadanya. Dia mengaku pengunduran dirinya sudah diajukan sejak tahun lalu. "Saya minta agar tak dikaitkan dengan hal-hal bersifat politis, apalagi sampai dipolitisasi," dia menegaskan.
Direktur Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina Afdal Bahaudin membantah ada kerugian dalam kegiatan investasi. "Hak siapa saja untuk menganalisis investasi (Pertamina)." Tapi faktanya, kata Afdal, "Lihat saja di laporan keuangan."
Gustidha Budiartie, Retno Sulistyawati, Bernadette Christina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo