Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Center of Economic and Law Studies (Celios) membuka posko pengaduan bagi masyarakat yang merasa menjadi korban Pertamax oplosan. Sejak dibuka pada 26 Februari lalu, posko pengaduan secara luring dan daring itu telah menerima sebanyak 506 laporan masyarakat.
“Per hari ini sudah 506, saya belum dapat informasi apakah ada yang datang langsung atau enggak, tapi yang masuk kebanyakan daring hari ini,” kata Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfathan saat dihubungi, pada Sabtu, 1 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan masyarakat itu akan menjadi rujukan bagi mereka untuk mendalami kasus dugaan pengoplosan BBM. Dugaan Pertamax oplosan itu terungkap ketika Kejaksaan Agung mendalami kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja sama (KKKS) periode 2018-2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apabila pengoplosan itu terbukti benar, LBH Jakarta akan menjembatani masyarakat untuk memulihkan hak mereka atas kerugian dari tindak rasuah para bos di Pertamina itu. “Ini kan bukan cari sensasi, demi cari kebenaran dan dorong keadilan,” ujar dia.
Kendati demikian, apabila Pertamina bersedia menunaikan ganti rugi kepada masyarakat, LBH Jakarta dan Celios akan mengurungkan niat untuk menempuh jalur hukum. Alasannya, kasus dianggap telah selesai sehingga tidak perlu digugat. “Langkah hukum itu sifatnya last resort,” tutur Fadhil.
Fadhil mengatakan siap menggugat perusahaan BUMN itu bila Pertamina abai terhadap kerugian yang ditimbulkan terhadap masyarakat. Terdapat dua opsi hukum yang mereka pertimbangkan, yakni gugatan class action atau citizen lawsuit.
Soal gugatan, mereka juga masih mendalami dinamika perkembangan kasus. Sebab class action dan citizen lawsuit memiliki tujuan yang berbeda. Citizen lawsuit dilakukan untuk menuntut keadilan sebagai imbas dari kekosongan kebijakan. “Kalau memang masalahnya kebijakan, kami akan gunakan itu.”
Sementara itu, class action lawsuit akan ditempuh apabila Pertamina terbukti abai dalam menerapkan kebijakan mereka sehingga membuat rugi masyarakat. “Ada beberapa orang yang mewakili banyak orang, mereka punya kesamaan fakta dan permasalahan hukum, dalam konteks kasus ini kan sama-sama dirugikan oleh pengoplosan ini,” kata Fadhil.
Kejagung tetapkan 9 tersangka kasus impor minyak
Hingga saat ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan tersangka kasus impor minyak. Usai meringkus tiga Direktur Utama Sub Holding PT Pertamina dan empat orang lainnya, Kejagung menetapkan dua bos PT Pertamina Patra Niaga sebagai tersangka baru kasus ini. Mereka adalah Maya Kusmaya (MK) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga dan Edward Corne (EC) selaku VP Trading Operation Pertamina Patra Niaga.
Sementara itu, tersangka dari subholding PT Pertamina meliputi Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Sani Dinar Saifuddin, dan Direktur PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi.
Selain itu, empat tersangka lainnya yakni Vice President (VP) Feedstock Management PT KPI Agus Purwono, beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Andrianto Riza, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati, dan Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede.
Dalam kasus korupsi Pertamina ini, MK dan EC atas persetujuan tersangka Riva Siahaan membeli RON 90 atau lebih rendah, namun dengan harga RON 92. Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung Abdul Qohar mengatakan, hal itu menyebabkan Pertamina perlu membayarkan impor produk kilang dengan harga tinggi dan tidak sesuai dengan kualitas barang.
MK juga berperan memerintahkan dan atau memberikan persetujuan kepada EC untuk mencampur BBM jenis RON 88 dengan RON 92 untuk menghasilkan RON 92. Pengoplosan itu dilakukan PT Orbit Terminal Merak milik tersangka Gading Ramadan Joede (GRJ) selaku Direktur Utama dan Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa. “Hal ini tidak sesuai dengan proses pengadaan produk kilang dan kor bisnis PT Pertamina Patra Niaga,” kata Qohar.
Selain itu, MK dan EC disebut melakukan pembayaran impor produk kilang yang seharusnya dapat dilakukan melalui metode pemilihan langsung dalam waktu jangka panjang untuk memperoleh harga yang wajar. “Tetapi dalam pelaksanaannya menggunakan metode spot.” Dengan demikian, PT Pertamina Patra Niaga membayar impor produk kilang dengan harga yang tinggi kepada mitra usaha.
Tak sampai di situ, Qohar mengatakan, MK dan EC juga mengetahui dan menyetujui adanya mark up kontrak pengiriman yang dilakukan oleh Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur PT Pertamina International Shipping. Hal itu menyebabkan PT Pertamina Patra Niaga harus mengeluarkan biaya sebesar 13 hingga 15 persen secara melawan hukum. Uang itu kemudian diberikan kepada MKAR dan Dimas Werhaspati (DW) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim.
Pertamina bantah ada Pertamax oplosan
Sebelumnya, pelaksana tugas harian Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, membantah soal Pertamax oplosan seperti yang ditudingkan Kejaksaan Agung. Ega menjelaskan BBM yang diterima Pertamina Patra Niaga berasal dari dua sumber utama, yakni kilang dalam negeri dan pengadaan dari luar negeri. Produk tersebut sudah memiliki nilai RON yang sesuai sebelum didistribusikan.
“Baik yang dari luar negeri maupun yang dari dalam negeri, itu kita sudah menerima dalam bentuk RON 92. Yang membedakan adalah, meskipun sudah dalam RON 90 maupun RON 92, itu sifatnya masih base fuel, artinya belum ada aditif. Jadi Pertamina Patra Niaga itu mengelola dari terminal sampai ke SPBU,” ujar Mars Ega, dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR RI, pada Rabu 26 Februari 2025.
Jihan Ristiyanti berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Bareskrim: Kasus Pagar Laut di Bekasi Mirip Pemalsuan Dokumen di Desa Kohod