Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ada Brimob di Kampung Narkoba

Puluhan anggota Brigade Mobil menduduki beberapa “kampung narkoba”. Inilah salah satu upaya aparat membersihkan kampung yang selama ini dikenal sebagai sarang obat terlarang.

25 Agustus 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA anggota Brigade Mobil tampak asyik bermain PlayStation di sebuah pondok bambu. Di sudut lain, di tempat yang sama, sejumlah rekannya menonton pertandingan olahraga lewat televisi 29 inci. Itulah kegiatan sehari-hari belasan anggota Brigade Mobil yang kini ”bermarkas” di kompleks Perumahan Permata, Kelurahan Kedaung Angke, Cengkareng, Jakarta Barat.

Sudah sekitar satu setengah bulan, 40 anggota Brigade Mobil diterjun­kan ke kawasan yang dikenal dengan nama Kampung Ambon itu. Mereka meng­awasi peredaran narkoba di sana. Ini untuk ketiga kalinya polisi diterjun­kan ke sana. Soalnya, meski beberapa kali dilakukan razia, peredaran barang haram di tempat itu tak lenyap-lenyap juga.

Menurut Brigadir Jenderal Indradi Thanos, Direktur IV Narkoba Markas Besar Kepolisian, pasukan Briga­de Mobil ditempatkan untuk memba­tasi ruang gerak para bandar. Hasilnya, ujar Indradi, untuk sementara transaksi benda haram di sana menukik tajam. Tidak hilang sama sekali, memang. ”Soalnya, pekan lalu, kami masih menangkap seorang bandar berikut barang bukti­nya,” ujar Inspektur Dua Galih Wardani, Komandan Brigade Mobil yang bertugas di kompleks Permata.

Menurut Romiah, seorang warga setempat, sejak ”diduduki” aparat, kondisi kampungnya kini damai. Dulu, ujarnya, transaksi narkoba berjalan terang-terangan. Tak kenal siang, tak kenal malam, dan tak sembunyi-sembunyi. ”Setiap orang yang lewat akan didekati bandar, lalu ditawari narkoba,” ujarnya. ”Setiap hari banyak tamu yang datang untuk membeli narkoba.”

Lalu, seperti biasanya, bisnis ini diikuti bisnis haram lainnya, seperti judi. Perjudian, kendati tidak terang-terang­an, marak. Meski tak seberapa luas, di kompleks itu ada beberapa tempat perjudian. Judi yang terhitung besar berada di sebuah rumah di Jalan Akik. ”Kalau lagi main, parkir mobil meluber hingga tiga gang,” kata Romiah.

Selain perjudian yang ”tersembunyi”, ada perjudian yang terang-terangan. Ini, misalnya, sabung ayam dan judi mickey mouse. Perjudian dengan mesin di kawasan ini, menurut Galih, termasuk ”berkelas”, lantaran hadiahnya sampai Rp 3 juta. ”Rumah itu dulu tempat judi mesin,” kata Galih, menunjuk sebuah rumah di depan pondok bambu tempat pasukannya bersiaga. Rumah bekas judi mesin itu kini jadi ”barak” pasukannya.

Menurut Galih, sejak pasukannya menduduki Kampung Ambon, sekitar 500 penduduk kampung itu diketahui menyingkir. ”Mereka ini disinyalir pengedar dan pemakai narkoba,” katanya. Para anggota Brigade Mobil mendapat perintah mengejar bandar dan antek-anteknya yang selama ini membuka pos di Kampung Ambon. ”Identitas mereka sudah kami pegang,” ujar Galih.

Kendati sudah sebulan ”makan-tidur” di sana tetap saja ada tamu yang datang dan mengira tempat itu masih seperti dulu, tempat transaksi narkoba. Pernah, ujar Galih, suatu siang tiba-tiba datang seorang pemuda ke rumah tempat pasukannya berdiam, yang di depannya terpasang spanduk bertulisan ”Posko Terpadu Polda Metro Jaya”. Dari gerak-geriknya, ujar Galih, dia seorang pemakai. Saat me­longok ke dalam, sang tamu, yang kaget lantaran di dalamnya ada ”gerombolan” polisi dan bukan bandar, langsung ngibrit. ”Tidak kami tangkap karena memang tidak ada barang buktinya,” ujar Galih.

l l l

KOMPLEKS Permata bukanlah ka­wasan kumuh lazimnya ”kawasan hitam” narkoba. Rumah di sana rata-rata bertembok. Jalan ke kompleks peru­mahan tersebut juga beraspal mulus, muat untuk dua mobil.

Kompleks ini dibangun pada 1971 oleh Pemerintah DKI guna menampung 400 warga gusuran dari Gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta, yang sebagian besar warga Maluku. Saat itu, pemerintah ingin merehabilitasi gedung itu. Warga Maluku tersebut sebagian bekas tentara KNIL.

Dari 16 rukun tetangga di kompleks Permata, warga Ambon menempati RT 1 hingga 7. Keturunan para mantan prajurit inilah yang kini mendi­ami kawasan itu. Semasa krisis mendera, pada 1998, banyak dari mereka tak memiliki pekerjaan tetap. Sebagian lalu berbisnis narkoba. ”Narkoba marak sejak 1998-an,” ujar seorang warga.

Menjamurnya narkoba di kawasan ini sem­pat dirisaukan warga. Buntutnya, pecah kerusuhan pada 28 Oktober 2003 antara ”Ambon” dan ”non-Am­bon”. Tercatat saat itu ada 27 rumah yang sebagian besar milik warga non-Am­bon terbakar. ”Sejak itu warga non-Ambon tak berani mengutak-atik bisnis­ narkotik di sana,” ujar sumber Tempo ini.

Sulitnya merazia kampung ini juga lantaran warga selalu memberikan perlawanan jika aparat masuk. Tatkala polisi melakukan razia narkoba pada Oktober 2004, misalnya, kedatangan mereka disambut warga dengan parang, senjata rakitan, dan lemparan batu. Setiap kali habis ”disapu”, kampung ini hanya bertahan ”bersih” satu-dua bulan saja. Setelah polisi pergi, ”surga narkoba” pun marak lagi.

Tak hanya Kampung Ambon yang diduduki aparat guna memberangus­ narkoba. Di kawasan permukiman Menteng Tenggulun dan Kelurahan Pegangsaan, Jakarta Pusat, sejak 19 hingga 31 Agustus juga ditempatkan puluhan polisi.

Penempatan ini menyusul operasi besar-besaran yang digelar pada Selasa pekan lalu. Saat itu 259 aparat yang terdiri atas polisi, polisi militer, dan anggota Badan Narkotika Provinsi DKI Jakarta, merangsek permukiman tersebut. Pada saat operasi, polisi menangkap tangan beberapa pemakai dan pengedar narkoba. Dari beberapa rumah, polisi menemukan 55 paket heroin, 56 butir ekstasi, 3 paket ganja, dan 16 jarum suntik. Kendati terhitung sukses, menurut sumber Tempo, operasi ini sebenarnya bocor. Kini enam warga yang ditangkap dalam ”Operasi Pegangsaan” itu dijadikan tersangka.

Ada yang mengejutkan polisi dalam operasi itu. ”Kami menemukan heroin jenis brown sugar,” ujar Direktur Narkoba Polda Metro Jaya Komisaris Besar Arman Depari. Ini termasuk barang langka di Jakarta. Jenis narkoba ini berasal dari Afganistan dan Pakis­tan, kawasan yang dikenal sebagai gol­den crescent (bulan sabit emas). Selain brown sugar, ditemukan heroin ­jenis white crystal, yang biasanya ber­asal dari Laos, Burma, dan Thailand (Segi Tiga Emas). ”Artinya, kawasan itu telah dimasuki jaringan peredaran internasional,” ujar Arman.

Sumber Tempo yang pernah berkecimpung dalam bisnis haram di Menteng Tenggulun bercerita, malam sebelum operasi dilancarkan, ada sejumlah warga memberikan informasi adanya razia itu. Sebagian warga segera angkat kaki, sebagian lagi adem ayem dan asyik sakaw. ”Mereka yang sakaw itu yang tertangkap,” ujar sumber itu.

Menteng Tenggulun dan Pegangsaan telah dikenal sejak 1998 sebagai kawasan narkoba. Tak seperti Kampung Ambon yang dikenal sebagai sentra ganja dan sabu-sabu, Menteng Tenggulun dan Kelurahan Pegangsaan dikenal para konsumen narkoba sebagai sentra putaw. ”Jenis lainnya sih ada, tapi tak seramai jenis putaw,” katan sumber itu. Konsumennya tak hanya datang dari Jakarta, tapi juga dari Bogor, Bandung, hingga luar Jawa. Nilai transaksi yang beredar di kawasan itu diperkirakan mencapai miliaran rupiah per bulan. Menurut polisi, setiap tahun sekitar 100 warga meninggal lantaran narkoba. Tapi, sumber Tempo di kampung itu memperkirakan lebih. ”Sekitar 200,” ujarnya yakin.

Peredaran narkoba, baik di kawasan Pegangsaan maupun Kampung Ambon, memiliki modus yang sama. Biasanya dikuasai oleh satu bandar besar, lalu di bawah bandar besar ada bandar kecil yang mendapat pasokan dari bandar besar. Bandar besar biasanya royal memberikan bantuan kepada warga sekitar. Akibatnya, mereka memiliki ­ikat­an komunitas yang kuat. ”Dulu setiap menjelang munggah (menjelang puasa) pasti ada pembagian uang dari bandar besar di Pegangsaan,” kata sumber ini.

Bisnis narkoba ini memang ”mata pencaharian” yang menggiurkan. Ha­nya duduk di rumah, ”pasien”—demiki­an istilah untuk para pemakai barang haram itu—datang sendiri. Transaksi juga dilakukan kontan, tidak ada istilah utang-piutang. Biasanya warga di sana terjun ke bisnis ini karena tergiur tetangganya yang gampang menangguk duit dengan cara ini.

Menurut Indradi Thanos, melihat peta narkoba di wilayah seperti Kampung Ambon dan Menteng Tenggulun seperti itu, tak ada cara lain selain menduduki tempat tersebut. ”Harus ditongkrongi,” kata Indradi. Dari sini, polisi lantas membentuk satuan tugas anti­narkoba yang melibatkan masyarakat. Nah, setelah Ambon, Menteng, dan Pegangsaan, pekan-pekan mendatang sebuah ”kampung narkoba” lainnya bakal diserbu Brimob. Kampung mana itu, Indradi tak buka mulut.

Ramidi, Munawwaroh, Rina Widiastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus