Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pakistan, tanpa <font color=#FF3300>Musuh Bersama</font>

Presiden Pervez Musharraf mengundurkan diri sehari sebelum rencana pemakzulan digelar. Partai anti-Musharraf malah ribut.

25 Agustus 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kabar mundurnya Presiden Pervez Musharraf beredar cepat di seantero Pakistan. Lewat pidato yang disiarkan televisi, dengan nada emosio­nal Musharraf menyatakan mundur dari kursi presiden, Senin pekan lalu. Berakhirlah kekuasaan seorang jenderal setelah hampir satu dekade menjadi orang kuat Pakistan. ”Saya pergi dengan kepuasan bahwa apa pun yang dapat saya lakukan untuk negeri ini, saya lakukan dengan integritas,” katanya.

Musharraf menyatakan ia memilih mundur demi stabilitas Pakistan. Tapi diduga ia mundur untuk menyelamatkan muka dari pemakzulan yang sudah disiapkan partai yang berkuasa di parlemen. Rencananya, pemakzulan akan digelar Selasa pekan lalu. ”Saya juga manusia. Saya mungkin melakukan kesalahan, tapi saya percaya rakyat akan memaafkan saya,” katanya.

Di Ibu Kota Islamabad, kabar itu segera disyukuri dengan perayaan. Sekelompok orang menerobos kedai roti di supermarket Jinnah membeli roti dan kue kering untuk merayakannya. Shazia Hassa, 32 tahun, nyaris meledak kegirangan ketika ia antre membeli kue untuk suami dan anaknya. ”Ini kebangkitan demokrasi,” teriaknya.

Pemimpin partai pemerintah Partai Rakyat Pakistan (PPP) dan Partai Liga Muslim Pakistan-N menyambut peng­unduran diri itu. ”Ini kemenangan untuk kekuatan demokratik,” ujar Farzana Raja, anggota tertinggi PPP. ”Kediktatoran seharusnya disingkirkan beberapa tahun lalu.”

Musharraf menjadi duri dalam daging bagi para pemenang pemilihan umum Februari lalu: Partai Rakyat Pakistan yang dipimpin Asif Ali Zar­dari dan Liga Muslim Pakistan-N yang dipimpin Nawaz Sharif. Agenda utama kemenangan mereka adalah mendepak Musharraf yang sudah telanjur anteng di kursi presiden.

Hanya beberapa menit setelah pernyataan pengunduran diri Musharraf, kedua partai itu langsung meminta pemilihan presiden baru dilakukan secepatnya. Zardari dan Sharif bertemu di Islamabad membicarakan langkah selanjutnya dan calon potensial yang akan mengisi kursi yang ditinggalkan Musharraf.

Sebenarnya Zardari didorong untuk menggantikan Musharraf, tapi ia tahu Nawaz Sharif menentangnya. Ia pun menyatakan tak bersedia. Zar­dari malah menyarankan seorang perempuan anggota PPP sebagai calon presiden. Ia memang tak menyebut nama, tapi banyak orang berspekulasi bahwa Far­yal Talpur, saudara perempuan Zar­dari yang kini anggota parlemen dari provinsi selatan Sindh—basis PPP—menduduki daftar teratas calon presiden. Calon kuat lainnya adalah Ketua Majelis Nasional Fehmida Mirza, juga sobat Benazir Bhutto.

Parlemen punya 30 hari untuk memilih pengganti Musharraf. Untuk sementara, tugas kepresidenan dipegang Ketua Senat Pakistan Mohammedmian Soomro. Soomro adalah anggota Liga Muslim Pakistan-Q, partai pendukung Musharraf.

Teman dekat Musharraf menyatakan bahwa partai yang berkuasa telah berjanji, pensiunan jenderal itu akan mendapat kekebalan hukum. Seorang di­plomat Inggris, Sir Mark Lyall Grant, diperkirakan juga meminta pemerintah memberikan kekebalan hukum kepada Musharraf jika ia mundur. Tapi Menteri Kehakiman Farooq Naek ngotot menyatakan: tak ada kesepakatan dengan Musharraf.

Kesepakatan kekebalan Musharraf me­­nyakitkan sejumlah elite politik Pakistan. Aitzaz Ahsan, Ketua Asosiasi Pengacara Pakistan, mengatakan, ”Jika pria ini cukup jantan dan mengatakan dia tak melakukan kesalahan, dia seharusnya diadili.”

Aktivis hak asasi memastikan banyak pembangkang politik yang ditindas Musharraf akan marah. Dua tuduh­an kriminal telah diajukan kepada Musharraf. Khalid Khwaja, aktivis hak asasi, memasukkan petisi ke pengadilan tinggi Islamabad tentang pe­nyerbuan militer terhadap Masjid Merah yang dihuni kelompok radikal. Penyerbuan itu mengakibatkan sejumlah perempuan dan anak-anak tewas.

Tapi, menurut Shaiq Usmani, bekas hakim tinggi, kasus itu sepertinya akan sulit membuktikan tanggung jawab langsung Musharraf. Musharraf memerintahkan operasi militer terhadap Masjid Merah untuk membersihkan kawasan itu dari teroris, tapi soal pembunuhan tersebut sudah bukan tanggung jawabnya. Usmani justru yakin Musharraf bisa diseret ke pengadilan dengan tuduhan berkhianat karena meniadakan konstitusi saat ia memberlakukan keadaan darurat tahun lalu. Ganjarannya hukuman mati.

Pejabat Pakistan menyarankan Mu­sharraf cepat meninggalkan Pakistan­ untuk sementara waktu. Ia mungkin ­me­nunaikan umrah ke Mekkah untuk memadamkan kehebohan di sekitar­nya. Bahkan Amerika, yang merupa­kan sekutu kental Musharraf dalam kampanye perang melawan terorisme, siap ­me­nampung Musharraf jika ia minta suaka politik.

Tapi Musharraf berjanji tak akan kabur ke luar negeri. Kepada pemimpin Partai Liga Muslim Pakistan-Q yang mengunjunginya Rabu pekan lalu, Mu­sharraf menyatakan ia ingin mengha­biskan sisa hidup dengan istri dan anaknya serta menjauhkan diri dari politik. Musharraf bermain tenis dan bersantai dengan keluarga serta teman di rumah yang dijaga militer. ”Dia dalam suasana hati yang baik, sangat santai,” ujar Tariq Azim, salah satu pemimpin partai pendukung Musharraf.

Dan justru dua partai koalisi anti-Musharraf yang kini mulai panas meng­hadapi isu pengembalian jabatan bekas­ hakim agung yang dipecat Musharraf. Nawaz Sharif mengancam: jika semua hakim itu tak dikembalikan ke ­posisi ­semula, partainya akan keluar dari koalisi. Sebaliknya, Asif Ali ­Zardari enggan melakukannya. Pasalnya, ia tak ingin hakim yang punya kecenderungan bersikap independen itu bakal meng­anulir amnesti yang diberikan Musharraf kepada Zardari dalam kasus korupsi.

Analis politik menilai koalisi ini akan pecah. ”Perekat koalisi ini adalah Musharraf. Kini, ketika Musharraf hengkang, tak ada lagi alasan logis aliansi dua partai ini dipertahankan,” ujar Rashid Rahman, analis politik. Rupanya kepergian Musharraf awal baru kekacauan politik di Pakistan.

Raihul Fadjri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus