Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Ada Iklan Mengajak Kerja ...

Dengan mengaku sebagai pengusaha yang mencari partner usaha, komplotan penipu berhasil menggaet uang dari beberapa perusahaan di bandung. 3 tertangkap, otak komplotan masih buron. (krim)

28 Januari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA dalam waktu singkat, kawanan Eko Widodo, 40, berhasil menggaet Rp 500 juta. Mereka menyedotnya dari sekitar 30 perusahaan di Bandung, yang diajaknya "kerja sama". Beberapa perusahaan di Jakarta, Semarang, dan Solo, kabarnya, Juga ada yang sempat jadi mangsa. Kawanan Eko, tak salah lagi, memang merupakan contoh bagaimana model penipu di aman ini: punya modal, punya penampilan meyakinkan, dan punya perhitungan matang. Tapi, begitu belangnya tercium, dengan cepat mereka bisa menghapus jejak. Sampai pekan lalu, Eko - otak komplotan itu - belum tertangkap. Polisi hanya bisa menjaring tiga orang yang dituduh jadi kaki tangannya, yaitu Salim dan Tan Kian Ciang alias Indra Sugianto alias Indra Sribrata alias Benny, serta Pang Tju lie alias Atju alias Boy. "Kelihatannya, mereka itu anggota suatu sindikat," ujar komandan reserse kepolisian Bandung, Mayor Teddy Djuanda. Korban pertama kawanan penipu itu adalah P.N. Parapat, direktur PT Paradacoy. Sebagai pedagang besar farmasi (PBF), Parapat tertarik membaca iklan di surat kabar Pikiran Rakyat tanggal 29 Oktober 1983, yang menawarkan kerja sama. Ia segera mengontak pemasang iklan, yang ternyata bernama Eko Widodo, yang mengaku direktur PT Star Plastik Indonesia (SPI), perusahaan yang bergerak di bidang kontraktor. Parapat yakin, Eko seorang pengusaha sungguhan, ketika ia diajak Benny - yang mengaku wakil direktur PT SPI - ke kantor mereka di Jalan Setiabudi 191 A, Bandung Utara. Kantor ini besar dan mewah, memberi kesan bahwa perusahaan Eko memang bonafide. Tak tahunya, kantor mewah itu oleh Eko hanya dikontrak, mulai Agustus tahun lalu. "Nilai kontrak Rp 20 juta untuk waktu dua tahun, baru dibayar Rp 2 juta," kata pemilik rumah, Nyonya Dede Allen. Setelah Paravat mulai masuk perangkap, Eko bertindak lebih jauh Untuk membuktikan niat baiknya Eko mengedrop peralatan kantor ke PT Paradacoy berupa meja, kursi, mesin fotokopi, kulkas, serta lemari penyimpan obat. Kantor pun didandani: dinding dicat dan lantai diberi karpet. Tak lupa ia menyetorkan dana Rp 2 juta. Parapat gembira mendapat partner demikian. Apalagi sejak tujuh tahun lalu, ia mengidap sakit liver, sementara anak-anaknya masih kecil. Maka, uluran tangan Eko untuk menyehatkan perusahaannya disambut baik. Parapat semakin yakin, kompanyonnya berniat baik ketika mereka mengukuhkan rencana kerja sama di hadapan Notaris Komar Arasasmita, November tahun lalu. Dalam akta perjanjian disebutkan, Eko diberi kuasa penuh menjalankan roda PT Paradacoy. Segera setelah perjanjian ditandatangani, Eko - atas nama PT Paradacoy - memesan sejumlah obat-obatan ke beberapa perusahaan farmasi, mencapai nilai Rp 55 juta. "Ketika saya tanya, alasannya untuk stok," kata Paravat. Sabtu sore 18 November 1983, semua obat-obatan berikut peralatan yang dulu disetorkan diangkut entah ke mana oleh kawanan penipu itu. Mereka juga sudah tancap dari kantor mewah di Jalan Setiabudi dan menyikat semua barang yang ada, termasuk gorden jendela. Nyonya Dede menaksir barang miliknya yang dibawa senilai Rp 2 juta - sama dengan uang panjar yang diberikan Eko. "Jadi, mereka itu hanya numpang menginap saja di rumah saya," katanya jengkel. Ternyata, tak hanya Parapat dan Nyonya Dede yang menjadi korban iklan itu. PT Setia Kawan, perusahaan yang bergerak dalam bisnis bahan kimia untuk tekstil, kena tipu Rp 60 juta, juga pada awal November 1983. Yang juga kena "tembak" adalah PD Mulyasari, sebesar Rp 50 juta. Dari sini, komplotan penipu memesan besi beton, semen, kayu, dan bahan bangunan. Oleh Amin majikan di perusahaan itu, barang diantar ke tempat orang yang sedang membangun, antara lain di Sumedang dan Ujungberung. Kawanan penipu membayarnya, lagi-lagi, dengan giro bilyet yang jatuh tempo Desember lalu. Ternyata, giro bilyet itu palsu. Dan ketika dicek di Sumedang dan Ujungberung, orang-orang yang sedang membangun tersebut sudah membayar kontan semua barang yang dipesannya - kepada komplotan Eko. Mayor Teddy menilai bahwa kasus ini sangat pelik antara lain karena "bukti-bukti sulit ditemukan". Kawanan ini memang "jago" karena barang dari sekian banyak perusahaan - yang berton-ton beratnya - dilego dengan mudah. entah ke mana. Sulitnya, ketiga tersangka belum bisa dibuktikan terlibat. Benny dan Salim, misalnya, mengaku tak tahu-menahu tentang kegiatan Eko. "Kami hanya pegawai biasa," kata mereka. Begitu polisi berusaha menekan, kedua tersangka itu bilang, "kalau kami dituduh ikut menipu, kami minta buktinya." Ruwetnya: Eko Widodo, kunci perkara ini, masih buron .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus