Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mungkinkah Jepang Dibujuk?

Sikap jepang di dunia perdagangan, tidak mau membuka pasarnya untuk industri-industri dari luar. (eb)

28 Januari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WALAUPUN Jepang kalah dalam Perang Dunia II, dan menyerah tanpa syarat, kebangkitannya kemudian menakjubkan. Segala keuletan, kecerdasan, dan disiplin sosial dapat mereka kerahkan untuk menopang pembangunan ekonomi nasionalnya. Tetapi, untuk bangsa-bangsa yang menjadi rekan niaganya, keunggulan ini dirasakan berkelebihan - kurang dibarengi timbang rasa - sehingga Jepang memperoleh julukan "binatang ekonomi". Di mana-mana, termasuk di Asia Tenggara, Jepang menggugah reaksi masyarakat. Meluaplah amarah, terutama dari kaum muda ketika Perdana Menteri Tanaka mengunjungi ibu kota negara-negara ASEAN pada tahun 1973. Reaksi masyarakat ASEAN yang mengagetkan ini pada gilirannya menggugah kesadaran baru pada bangsa Jepang. Diperkuat konsensus baru, maka berbagai usaha mawas diri, pendidikan masyarakat kegiatan hubungan masyarakat (public relations), dan dialog internasional mereka adakan secara luas dan dengan organisasi yang rapi Banyak uang dikeluarkan. Apakah bangsa - dan khususnya dunia usaha - Jepang betul sudah sadar? Ini masih banyak diperdebatkan, meski dalam sikap lahiriahnya sudah banyak kemajuan. Salah satu usaha dialog dan komunikasi internasional yang setiap tahun dilakukan adalah acara Asian Club, yang baru-baru ini memperingati HUT-nya yang ke-10. Berdirinya dahulu terdorong oleh kejadian-kejadian di Asia Tenggara itu. Asian Club ini mengundang tamunya dari kelima negara ASEAN, Korea Selatan, Australia, dan Amerika (walau dari Amerika yang diundang seorang kelahiran Jepang, yang bekerja di Bank Pembangunan Asia). Sebagian besar terdiri dari para cendekiawan, tetapi juga beberapa tokoh dunia usaha, media massa, dan belas tokoh pemerintah. Terakhir ini, misalnya, tokoh-tokoh seperti Saburo Okita (bekas menteri), Ir. A.R. Soehoed (bekas menteri), Anand Panyarachun (bekas ketua Kadin-ASEAN), dan penulis ini. Dialog internasional dengan Jepang sudah banyak berubah sejak 10-15 tahun lalu. Dahulu, Jepang masih kurang berani membela diri, terutama karena tak fasih bicara Inggris. Sekarang, dengan orang Amerika sudah berani adu pendapat seru, misalnya mengenai isu kontroversial seperti proteksionisme. Orang Barat, terutama para sarjananya, sering punya kecenderungan bersikap obyektif dan berorientasi internasional atau global, seolah mencari kebenaran tanpa terikat kepada kepentingan nasionalnya. Orang Jepang, termasuk cendekiawannya, belum sampai kc situ. Mereka masih lebih cenderung membela sikap nasionalnya, walaupun berusaha berbuat demikian dengan argumen-argumen analitis dan statistis. Perasaan solidaritas nasional mereka besar dan luas. Dalam dialog-dialog hubungan ekonomi internasional, Jepang memang selalu dihujani kritik berbagai pihak. Negara-negara maju, rekan dagang Jepang, suka menuduhnya terlalu agresif dalam usaha ekspornya, sampai mengadakan dumping, merusakkan pasar, dan sebagainya. ASEAN, yang masih banyak memerlukan investasi Jepang, banyak mengeluh bahwa alih teknologi berjalan amat lambat. Kawasan Pasifik merupakan lingkungan regional yang menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi yang tertinggi di dunia. Di antara negara industri, Jepang adalah nomor satu. NICs Asia Timur (Korca Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura) mempunyai laju pertumbuhan paling tinggi di dunia. Negara-negara ASIAN juga mengalami pertumbuhan cukup tinggi. Pcrtumbuhan ekonomi Amerika, Kanada, dan negara-negara lain juga lebih baik daripada Eropa. Dalam pertumbuhan yang tinggi ini, keterkaitan atau interdependency regional menjadi penting juga. Sekarang menjadi populer membicarakan masalah keterkaitan ini serta pengelolaannya. Ekonomi Amerika Serikat adalah yang terbesar, dan berperan sebagai lokomotif. Keperluan impornya meliputi: minyak bumi dan komoditl prlmer, yang menguntungkan Indonesia dan negara ASEAN lain hasil industri ringan padat karya, seperti pakaian jadi, perakitan elektronik, sepatu, sarung tangan, hasil olahan kayu, dan sebagainya, yang menguntungkan NICs dan ASEAN serta hasil industri yang sudah lebih malu, seperti mobil, televisi, elektronik, mikro komputer, dan kamera, yang banyak menguntungkan Jepang dan NICs. Jepang terutama membutuhkan minyak dan gas bumi, batu bara, komoditi primer, serta bahan makanan. Kategori ini banyak menguntungkan Indonesia dan negara ASEAN lainnya. Juga Australia, Amerika Serikat, dan Kanada. Jepang tidak hanya banyak mengimpor hasil industri dan barang konsumsi sehari-hari. Tetapi, ia mengimpor barang konsumsi yang mewah dari Amerika dan Eropa, juga karena tekanan dari pihak ini. Negara NICs banyak sekali mengimpor bahan baku untuk industri ekspornya, dan pensuplai terpenting mereka adalah Jepang. NICs juga mulai mengimpor cukup banyak bahan mentah dari ASEAN, seperti kayu dari Indonesia dan timah dari Malaysia. Maka, neraca perdagangan bilateral antara NICs, ASEAN dan negara industri, seperti Jepang dan AS, tidak selalu menunjukkan keseimbangan. NICs semuanya mengeluh: mereka membeli jauh lebih banyak dari Jepang (bahan baku industri) daripada mereka menjual ke Jepang. Jepang dituduh terlalu proteksionistis terhadap industri dalam negerinya. ASEAN, yang tidak mengekspor energi ke Jepang (Muangthai dan Filipina), sama mengeluh bahwa Jepang kurang mengimpor dari mereka. Muangthai punya isu daging ayam, Fillipina punya isu ekspor pisang, yang terpukul proteksionisme Jepang. Sebentar lagi, Indonesia mungkin ikut menggempur Jepang mengenai kayu lapis yang sulit masuk ke sana. Dalam kebangkitan kembali ekonomi dunia yang belum terlalu kuat ini, diperkirakan proteksionisme masih tetap akan bertahan di mana-mana. Maka, perselisihan perdagangan antara Eropa, Amcrika, dan Jepang masih akan berlanjut. Bcgitu pula antara NICs dan Jepang. Indonesia, sampai sekarang, umumnya merasa hubungan ekonominya dengan Jepang berjalan baik. Ekspor ke Jepang terus-menerus meningkat, walaupun sebagian terbesar terdiri dari minyak bumi dan gas alam. Bantuan G-to-G, dalam rangka IGGI, juga berjalan progresif. Sebagai sumber penanaman modal, Jepang adalah nomor satu, di luar bidang minyak bumi. Sikap Jepang dalam diplomasi Utara-Selatan juga cukup responsif terhadap desakan Indonesia dan ASEAN. Tetapi, Indonesia mulai mempunyai kepentingan lain daripada sebagai negara pengekspor komoditi primer dan energi saja. Yaitu untuk mencari pasaran hasil Industri olahannya. Indonesia mulai mengikuti jejak NICs. Dalam hal ini, Tepang merupakan pasar yang potensial sekali, tetapi sukar dimasuki. Kalau Jepang diserang dan dibujuk negara-negara berkembang, termasuk NICs, untuk lebih membuka pasarnya, mereka suka bersembunyi di belakang alasan: asal kualitas dan harga cocok, barang dapat masuk. Kalau mereka terus terang, mereka jelaskan bahwa pemerintah mereka tidak dapat meninggalkan beberapa industri dalam negeri dan buruhnya (serta petaninya) tanpa perlindungan. Sekali lagi: rasa solidaritas sosial. Untuk membantu dan memenuhi kepentingan negara berkembang, Jepang mungkin lebih suka memberikan bantuan dan pinjaman internasional yang lebih besar dan mendorong perusahaanperusahaannya lebih banyak menanam modal, daripada membuka pasarnya lebar-lebar. Tetapi, masyarakat Jepang tidak 100% homogen dan monolitis. Ada kalangan politik, cerdik pandai, media massa, industri, petani, dan nelayan kecil yang kepentingan dan orientasi internasionalnya berbeda-beda. Misalnya, kalangan industri besar, kalangan pimpinan politik, beberapa kalangan birokrasi (misalnya Gaimusho dan MITI), dan kalangan sarana riset ekonomi mendukung gagasan restrukturisasi industri dan internasionalisasi perekonomian Jepang. Tapi, mereka minta waktu untuk pelaksanaan yang harmonis. Sementara itu, negara-negara ketiga, rekan dagang Jepang, harus secara tekun, tegas, dan keras mendengung-dengungkan suaranya kepada Jepang, mengutarakan harapan. Ada kesan bahwa ASEAN, dibanding Amerika, Eropa, dan NICs, kurang keras tuntutannya terhadap Jepang. Apakah lemahnya suara negara-negara ASEAN karena masing-masing merasa lemah dan kurang punya kekuatan berunding, bargaining power Memang, secara kolektif, kekuatan berunding ini akan lebih besar dan suaranya akan lebih terdengar. Kalangan Jepang sendiri mengakui, pihak luar harus pandai membujuk, menekan, dan menuntut, justru karena Jepang bukan masyarakat monolitis. Para pemimpinnya baru akan bergerak kalau dirasakan sudah ada penyatuan pendapat yang cukup. Maka, semua pertemuan dialog internasional dengan pihak Jepang ada peranannya dalam proses ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus