Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

"kami belum kepingin mati"

Beberapa mayat gali diketemukan di boyolali. mereka diduga mati karena kelaparan. masih banyak gali yang bersembunyi di hutan. (krim)

28 Januari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK akhir Desember sampai pertengahan Januari lalu, di Desa Singosari, Boyolali, Jawa Tengah, ada 10 mayat tergeletak di tepi sawah atau jurang. Mayat-mayat itu "bersih", tak ada bekas luka tembak atau bacokan. Tapi orang bisa merinding bila membayangkan saat-saat terakhir kematiannya: mayat-mayat itu sangat kurus. Begitu kurusnya sehingga tampak hanya tinggal kulit pembalut tulang. Wajahnya memancarkan rasa putus asa dan ketidakberdayaan. Jenazah itu, kata pamong Desa Singosari, tak lain jasad para gali yang mati karena menanggung lapar. Ketika di Jawa Tengah dilancarkan Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK), April tahun lalu, memang banyak gali yang lari bersembunyi Daerah pedalaman Boyolali yang berhutan dan banyak berjurang, rupanya, dianggap tempat yang cocok untuk berlindung. Rupanya, keadaan di kota mereka anggap belum juga aman, sehingga para gali itu tetap bertahan di hutan-hutan. Yang aneh, menurut polisi desa, Suparman, mayat-mayat yang sempat dilihat penduduk itu kemudian hilang entah ke mana. "Begitu kami melapor kepada Pak Lurah, mayat itu sudah tidak ada lagi Mungkin diangkat oleh teman-temannya," kata Suparman. Sumber TEMPO di kepolisian Boyolali membenarkan bahwa lebih dari 10 gali-pelarian yang kedapatan mati di kawasan Kecamatan Musuk Boyolali, itu. Tak diketahui berapa banyak gali yang sampai kini belum berani turun dari gunung. Diperkirakan, jumlahnya cukup banyak. Penduduk Desa Sukorame sampai minggu pertama Januari lalu, misalnya, masih suka kedatangan "tamu" yang bertandang hanya sekadar minta makan. Mbok Kartosaren, janda tua yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani, tiga kali didatangi tamu kelaparan itu. Senja itu, dua lelaki kurus kering, dengan wajah kuyu tak bertenaga, datang lagi meminta makan. Mereka menyuruh Mbok Karto menanak nasi, ketika janda tua itu mengatakan sudah tak punya makanan. Dengan perasaan takut, tapi juga kasihan, Mbok Karto menanak nasi. Meski sudah beberapa kali berkunjung, sang tamu tetap enggan menyebut identitasnya, kecuali mengatakan berasal dari Ambarawa. Tapi, sebelum pergi, mereka bilang, "Kami belum kepingin mati, Mbok ...." Narto, tetangga Mbok Karto, juga pernah didatangi orang-orang tak dikenal, ketika tengah mengambil buah nangka di kebunnya. Mendadak, lima orang lelaki muncul dan meminta nangka itu. "Jangan takut, kami ini tentara," ujar salah seorang, sembari mengerat buah nangka dengan pisau yang dibawanya. Tapi Narto tak percaya - masa tentara rakus seperti itu, lagi pula memakai blujin dan tubuhnya bertato. Tapi ia tak berani berbuat apa-apa, sampai mereka menghilang ke arah jurang Sikuncen. Lurah Desa Sukorame, Suranto, akhirnya geregetan mendengar laporan bertubi-tubi dari warganya. "Kami tidak mau desa ini dijadikan dapur umum oleh para gali," ujarnya dua pekan lalu kepada TEMPO. Ia lalu menaktifkan ronda siskamling. Pos-pos ronda dihidupkan lagi. Di setiap pos, lima orang berjaga-jaga dengan kelewang atau senjata tajam lainnya, dibantu hansip. Tri Anggoro, pemimpin pemuda desa itu, mengusulkan membuat barikade. Di setiap mulut gang atau jalan ke desa itu dibuat pintu dari bambu yang cukup kuat. Bila senja turun, semua jalan dan gang ditutup dengan barikade-barikade tadi. Hasilnya: tak ada lagi gali masuk desa. Tapi, akibatnya, kebun mereka menjadi sasaran. Jagung, singkong, atau pisang lenyap dicuri. Penduduk jengkel. Mereka, dibantu petugas polisi dan tentara setempat, 13 Januari lalu, melancarkan pengejaran ke hutan dan jurang. "Sebenarnya, kalau hanya nasi atau buah-buahan yang diambil, tak apalah. Yang kami takutkan, gali-gali pelarian itu nanti mengambil nyawa . . . ," kata Anggoro. Pencarian ternyata tidak mudah karena medannya berat sekali. Jurang itu, bila hujan turun, licin sekali. Tapi akhirnya perburuan itu ada juga hasilnya. Tiga orang yang diduga gali dapat ditankap. Kondisi mereka sungguh menyedihkan: loyo, kurus. Untuk mengangkat kaki pun, ibaratnya, tak kuat lagi. Mereka menderita kelaparan yang kronis. Kini, ketiganya ditahan di Polres Boyolali. "Belum bisa diajak bicara. Mereka itu seperti sudah berubah ingatan," kata sumber kepolisian di sana. Cerita tentang gali yang kelaparan bukan hanya muncul di Boyolali. Di kawasan Gunung Bentang, Sukabumi, Jawa Barat, juga diketahui banyak gali bersembunyi. Salah seorang di antaranya, Suman bin Donci, 27 mati pada 22 Agustus tahun lalu dalam operasi pagar betis. Para gali yang lain, yang takut terjaring operasi, bersembunyi di seputar hutan Boja, Kaliwungu, dan Alas Roban di Kabupaten Kendal, pesisir utara Jawa Tengah. Mereka terkadang juga turun ke kampung meminta makanan. Tapi, bila perlu, mereka juga "merampok" ketela rebus yang hendak dikirim untuk orang yang bekerja di sawah. Tak jelas apakah ada gali yang mati kelaparan di Sukabumi dan Kendal itu. Sementara itu, aparat di Boyolali tampaknya tak ingin repot-repot kembali melancarkan operasi ke hutan dan jurang. "Biar saja mereka mati kelaparan," kata seorang petugas polisi Boyolali. Niat menjadi "orang baik-baik" barangkali ada. Hanya, orang-orang yang tersingkir itu tampaknya dihantui ketakutan: sebelum niatnya kesampaian, begitu turun gunung, tahu-tahu dihabisi khalayak yang marah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus