ALMARHUMAH Marsinah sudah tenang di alam baka. Tapi di alam nyata ini "ketenangan" sedang dicari: siapakah pembunuh almarhumah? Kasus ini semakin jadi misteri tatkala Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Senin pekan lalu, mengemukakan hasil penelitiannya: tidak tertutup kemungkinan adanya tersangka lain dalam kasus pembunuhan Marsinah.Hasil temuan yang disampaikan Sekretaris Jenderal Komnas HAM, Baharuddin Lopa, memang terasa menyentak. Sebab, selama ini, persidangan itu masih berlangsung di Pengadilan Negeri Surabaya dan Sidoarjo. Dan terdakwanya sudah ditetapkan, hanya sembilan orang. Lalu, siapa terdakwa baru yang "mungkin" ada itu? Tentang itu, Komnas HAM hanya menyatakan, "Hendaknya bisa ditelusuri terus dan disidik demi penyelesaian secara tuntas sesuai dengan ketentuan hukum." Sayangnya, Komnas HAM tak transparan memberi tahu ke mana harus menelusuri dan siapa yang disidik. Temuan lain Komnas HAM: proses penangkapan dan penahanan orang-orang yang kini duduk sebagai terdakwa itu melanggar hak asasi manusia. Bentuk pelanggaran yang disebutnya bertentangan dengan KUHAP itu, antara lain, adanya penganiayaan baik fisik maupun mental. Komnas HAM mengimbau, pelaku penganiayaan itu diperiksa dan ditindak. Apakah pengumuman Komnas HAM ini tak mempengaruhi jalannya peradilan? Menurut Lopa, hal itu sama sekali tak ditujukan untuk mempengaruhi persidangan. Tetapi, jika akibat pengumuman ini persidangan merasa terpengaruh, itu terserah pengadilan. "Kalau pengadilan mau mengambil langkah baru, ya, terserah saja," kata Lopa. Dengan diumumkannya temuan Komnas HAM, sudah ada tiga pihak yang menyelidiki kasus kematian Marsinah. Pertama, tentu saja penyidik resmi, kepolisian. Hasilnya sudah dituangkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Kemudian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Hasil penyelidikan yang dilakukan sejak November 1993 itu diumumkan pertengahan Maret lalu (TEMPO, 19 Maret 1994). Reaksi terhadap temuan Komnas HAM lebih bervariasi. Menteri Negara Sekretaris Negara Moerdiono kepada wartawan mengingatkan, Komnas HAM dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas-tugas aparat hukum. "Dengan segala hormat terhadap pandangan Komnas HAM, penilaian terhadap suatu fakta perlu kehati-hatian," katanya. YLBHI menyambut positif temuan Komnas HAM dan mengeluarkan siaran pers mendukung agar temuan ini ditindaklanjuti. Mahkamah Agung diimbau agar dapat melakukan tindakan kongkret untuk memelihara wibawa peradilan. Yang juga bergembira adalah Trimoelja D. Soerjadi. Pengacara terdakwa Yudi Susanto (bos PT CPS Sidoarjo) inilah yang pertama kali mengadukan perlakuan tak manusiawi para penyidik kepada Komnas HAM. Dalam surat lima halaman tertanggal 29 Januari 1994 itu, Trimoelja, Ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Surabaya, membeberkan secara rinci bentuk-bentuk penganiayaan yang diderita para terdakwa selama diperiksa petugas di Detasemen Intel Kodam V Brawijaya. Hanya saja, Trimoelja merasakan pengumuman Komnas HAM itu kurang transparan. Namun, dilihat dari konteks budaya Indonesia, hal itu dapat dimakluminya. "Jika ditelaah, sebenarnya sudah jelas sekali dan cukup tajam ke alamat mana hasil temuan itu ditujukan," katanya. Di balik kebanggaan terhadap integritas Komnas HAM, para pengacara terdakwa melemparkan sejumlah persoalan: apakah hasil temuan itu punya nilai kelanjutan? Maksudnya, apakah hasil tersebut punya makna yuridis. Konsekuensi yuridis dari praktek penganiayaan dan pelanggaran hak asasi manusia, menurut Trimoelja, produk yuridis yang dihasilkan (seperti BAP) harus dinyatakan batal demi hukum. "Harus dilakukan penanganan ulang dari awal," ujarnya. Tapi persoalannya, apakah hakim dan jaksa akan memakainya dalam pertimbangan hukum. Hakim Soewito, yang mengetuai persidangan terdakwa Yudi Susanto, mengatakan, dapat saja hakim menggunakan temuan Komnas HAM sebagai bahan pertimbangan. "Terutama jika para pihak dalam persidangan membawa temuan itu ke dalam sidang," katanya. Lain pula Hakim Sarijanto (ketua majelis terdakwa Bambang Wuryantoro, Widayat, dan Prayogi). Ia menyatakan tak terpengaruh oleh hasil temuan Komnas HAM. "Biar saja Komnas HAM bicara seperti itu. Sebagai hakim, saya tetap berpegang pada BAP. Kalau tak mampu menggiring, jangan jadi hakim. Jika terdakwa mungkir, itu kan biasa, hak dia," katanya. Beberapa jaksa penuntut dalam kasus Marsinah bersikap sama seperti Sarijanto. "Saya lebih percaya pada temuan saya sendiri. Lagi pula, statemen Komnas HAM itu tidak jelas. Jika ada tersangka lain, tuding saja batang hidungnya, jangan malu- malu kucing. Soal apakah nanti akan diseret sebagai terdakwa atau tidak, itu urusan penyidik," ujar Jaksa Faried Harianto. Kalau demikian halnya, akan diapakan hasil temuan Komnas HAM itu? Sekadar macan kertas? Hendardi, Direktur Komunikasi dan Program Khusus YLBHI, menegaskan, "Jika temuan itu tak digubris, yang terjadi adalah delegitimasi atas kehadiran Komnas HAM. Kepercayaan masyarakat meluntur."Aries Margono, Widjajanto, dan Jalil Hakim (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini