WALAU sangat samar-samar, antara Kejaksaan Agung dengan Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman terjadi "ketegangan" pekan lalu. Hal itu muncul setelah pembebasan tiga terdakwa penilap restitusi pajak oleh Pengadilan Negeri Surabaya. Pelempar bola pertama adalah Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Martoyo. Menjelang Hakim Sarwono menjatuhkan vonis untuk terdakwa Delip Kumar Gobindram, Martoyo melontarkan tuduhan Sarwono terima suap, berupa mobil sedan Toyota Corona Absolute seharga Rp 93 juta lebih. Tuduhan Martoyo itu diartikan meneror hakim. Sebab, sebelumnya pihak jaksa sudah terpukul, karena dua terdakwa (Sugiarto dan Helmy Nazar Machfud) dibebaskan dari dakwaan oleh majelis hakim yang berbeda-beda. Nyatanya, hakim tak terteror. Majelis yang diketuai Sarwono tetap menjatuhkan vonis bebas bagi Delip. Memang, lagi-lagi vonis itu mendapat kecaman masyarakat. Tapi, jaksa pun kali ini jadi sorotan. Yang pertama melontarkan tudingan adalah Wijono Soebagijo, pengacara terdakwa Helmy Nazar. Kepada wartawan ia menyebutkan, jaksa menilap uang kliennya ratusan juta rupiah. Ia memiliki tiga kaset rekaman yang dapat dijadikan bukti adanya transaksi hukum. Memang, seperti halnya hakim yang dituduh suap dan jaksa yang diduga "berdagang hukum", semuanya belum final. Akhirnya, yang terseret kena sorot juga aparat pajak. Tanpa ada bantuan petugas pajak, kata seorang pengamat, mustahil seseorang bisa menilap restitusi pajak dengan angka jutaan, bahkan miliaran, rupiah. "Untuk meminta kelebihan (restitusi) pajak satu juta rupiah saja sulitnya minta ampun. Lo, ini sampai jutaan rupiah keluarnya kok gampang saja?" katanya. Terlepas apakah ada kolusi atau tidak, yang pasti heboh "kasus Surabaya" itu kemudian mengundang petinggi hukum di Jakarta untuk terjun meneliti, dengan membentuk tim. Bukan hanya Departemen Kehakiman dan Mahkamah Agung yang berduet membentuk tim, tapi Kejaksaan Agung pun tak kalah repotnya. Mereka diam-diam juga menerjunkan timnya untuk mengusut isu suap yang telanjur merebak luas. Hubungan Kejaksaan Agung dengan Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman tampak merenggang. Ketua Mahkamah Agung Purwoto Gandasubrata menyesalkan tindakan Martoyo. "Apa itu sudah terbukti? Kalau belum, bagaimana?" katanya. Menteri Kehakiman Oetojo Oesman juga tak suka aparat bawahannya dituding terima suap. Ia malah mengisyaratkan jaksa yang menuduh itu bisa dituntut dengan tuduhan pencemaran nama baik. Adanya saling tuding antar-aparat hukum justru mengundang keprihatinan para pakar hukum. Menurut ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Dr. Loebby Loqman, persoalan itu tak bakal muncul jika sebelumnya terjalin komunikasi antara hakim dan jaksa. Hakim sebagai penegak hukum bisa memberi saran pada jaksa sebelum jaksa membawa tuntutannya ke pengadilan. "Hakim tak boleh masa bodoh," katanya. Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Dr. Barda Nawawi, menegaskan, setiap negara memerlukan sistem peradilan yang bersih. Kepentingan itu harus dijaga dan dilindungi. Kalau ada pihak-pihak dalam pengadilan (hakim dan jaksa) saling menyerang seperti sekarang ini, itu namanya merusak sistem, bisa tergolong contempt of court. "Keadaan seperti itu tak boleh dilakukan, semuanya harus melalui prosedur," katanya kepada Arief A. Kuswardono dari TEMPO.ARM, Rihad Wiranto, dan Jalil Hakim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini