ZLATA, gadis kecil dari Sarajevo itu, menulis dalam catatan hariannya 2 September 1993: "Kini kekuatanlah yang berkuasa dan ia bisa melakukan apa saja." Di luar kamarnya, pelor-pelor meledak. Orang Serbia mengepung kota, membidik dari bukit-bukit yang terbentang tak jauh di atas rumah orang tua Zlata, membunuh. Jendela-jendela hancur. Bagian depan tempat tinggal keluarga itu dilindungi kantong- kantong pasir, tapi yang tak bisa dicegah ialah ketakutan. Begitu banyak orang tewas di Sarajevo. Hanya sedikit orang Bosnia yang tinggal. Zlata kecil itu, dalam catatan hariannya yang baru diterbitkan di Prancis dan Inggris, bertanya, kenapa semua itu terjadi. Siapa yang bisa menjawab? Yang terjadi pada orang- orang Bosnia tak mudah dijelaskan, kecuali bahwa di sana ada dua kekejian, yang entah kenapa berulang terus dalam sejarah. Yang pertama adalah kemampuan untuk membunuh sebanyak- banyaknya. Yang kedua adalah kebencian. Kebencian ini tak mudah diuraikan, tak mudah disingkirkan, meskipun kita telah melihat ekspresinya yang mengerikan hanya 50 tahun yang lalu di Eropa, ketika orang-orang Nazi membunuhi orang-orang Yahudi di kamar- kamar gas: kebencian yang bercampur dengan purbasangka, mungkin rasa cemburu dan takut, kebencian satu kelompok manusia dalam melihat kelompok lain, yang "bukan-kita". Tapi siapa sesungguhnya yang "bukan-kita"? Orang Serbia menunjuk orang Bosnia, begitu pula sebaliknya. Orang Islam menunjuk orang Kristen, vice versa, sedang orang Amerika .... Berjuta contoh bisa dikemukakan, sebab siapa yang "bukan-kita" sebenarnya tak mudah ditentukan. Antara pelbagai kelompok selamanya ada beda dan sama: ras atau agama, kewarganegaraan, kelas sosial, bahasa, kota kelahiran, almamater, hobi, dan entah apa lagi. Definisi "kita" dan "bukan-kita" bahkan bisa tak tetap, bisa pula tumpang tindih. Orang Serbia yang Kristen di Sarajevo menganggap orang Bosnia yang muslim di kota itu sebagai "orang-kita" tatkala mereka sama-sama terancam oleh pasukan Serbia yang mengepung, yang akan menghancurkan mereka sebagai "bukan-kita". Garis demarkasi memang tak mudah ditentukan sekarang -- di zaman ketika kita hidup di tengah-tengah apa yang oleh Honni K. Bhabha disebut sebagai "these lonely gatherings of the scattered people". Inilah zaman ketika pendatang bersatu bangsa dengan pribumi, ketika batas-batas budaya buncah, ketika perbedaan begitu beragam, dan hadir di saat, di tempat, dan di tubuh yang satu. Bahkan asal-usul, "akar", adalah sesuatu yang ambivalen, tak pernah satu-arti -- dan hanya jadi "jelas" bila kita memilih untuk melupakan satu hal dari masa lalu dan cuma mengingat hal lain dari masa itu. Maka, yang "bukan-kita" tampaknya sesuatu yang hanya digariskan oleh suatu pengambilan sikap pada suatu waktu, dan dalam konteks hubungan-hubungan tertentu. Tentang ini bahasa Indonesia sebenarnya bisa menunjukkan betapa relatifnya sikap itu: kata bukan, berbeda dengan kata is not atau are not, tidak selamanya berarti "tidak". Ketika kita mengatakan "A bukan B", kita meletakkan A dalam hubungannya dengan B, dan mungkin juga dengan yang lain-lain, dan di sana tersirat bahwa predikat itu tidak menunjukkan sifat yang berdiri sendiri. Tapi perbedaan -- yang oleh kata "bukan" ditampilkan sebagai nisbi dan aksidental itu -- kemudian bisa jadi seakan-akan esensial, a priori. Itu terjadi ketika kita mulai merumuskan, atau menyimpulkan, orang lain, ketika orang lain oleh "kesadaran" dihadirkan sebagai objek "pengertian", bukan sebagai hidup yang punya DNA, sidik jari, nasib, dan bawah-sadar yang tersendiri, yang unik dan berbeda. Pada saat itulah, orang lain, yang dalam ujaran bahasa Jawa dengan santun disebut liyan, menjadi sesuatu yang hampir sepenuhnya sebagai "orang kita" atau sebaliknya, sebagai "bukan-kita". Ia mundur sebagai si Zlata Filipovic, ia menyisih sebagai si Anne Frank. Ia tampil sebagai "budak Bosnia", atau "muslim", atau "borjuis", "Yahudi", "Jawa", dan seterusnya. Ia bisa jadi lambang sebuah kaum, tapi ia juga dengan mudah hadir dalam kebencian kolektif. Maka, bagaimana kita memandangmu, Zlata? Mungkin dengan diam: diam yang menatap wajahmu dan menyentuhmu pada permukaan kulit dan saraf -- diam yang oleh Emmanuel Levinas disebut sebagai "bahasa asali", le langage originel. Kita memang memerlukan sensibilitas yang menerimamu tidak sebagai "bukan-kita", juga tidak sebagai "orang kita", melainkan sebagai engkau, yang menulis, berhari-hari, tentang perang yang tak kamu pahami, tak kita pahami.Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini