Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Adik Pendiri Sriwijaya Air Didakwa Merugikan Negara Rp 300 T di Kasus Korupsi Timah

Adik salah satu pendiri Sriwijaya Air Hendry Lie, Fandy Lingga, didakwa merugikan keuangan negara ratusan triliun dalam kasus korupsi timah.

25 Maret 2025 | 12.31 WIB

Marketing PT Tinindo Inter Nusa sekaligus adik salah satu pendiri Sriwijaya Air Hendry Lie, Fandy Lingga, saat menunggu sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Selasa, 25 Maret 2025. TEMPO/Amelia Rahima
Perbesar
Marketing PT Tinindo Inter Nusa sekaligus adik salah satu pendiri Sriwijaya Air Hendry Lie, Fandy Lingga, saat menunggu sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Selasa, 25 Maret 2025. TEMPO/Amelia Rahima

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Marketing PT Tinindo Inter Nusa (TIN) Fandy Lingga didakwa ikut merugikan keuangan negara Rp 300 triliun dalam kasus korupsi timah. Ia merupakan adik Hendry Lie, salah satu pendiri Sriwijaya Air, yang juga terjerat perkara ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal ini terungkap dalam surat dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan. "Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi," ujar Jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Selasa, 25 Maret 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Jaksa Penuntut Umum atau JPU menduga Fandy Lingga telah memperkaya pihak-pihak berikut:

1. Hendry Lie melalui PT Tinindo Inter Nusa setidaknya Rp 1.052.577.589.599,19 atau Rp 1,05 miliar;

2. Suparta melalui PT Refined Bangka Tin setidaknya sebesar Rp 4.571.438.592.561,56 atau Rp 4,57 triliun;

3. Amir Syahbana sebesar Rp 325.999.998 atau Rp 325,99 juta;

4. Tamron alias Aon melalui CV Venus Inti Perkasa setidak-tidaknya Rp 3.660.991.640.663,67 atau Rp 3,66 triliun;

5. Robert Indarto melalui PT Sariwiguna Binasentosa setidaknya Rp 1.920.273.791.788,36 atau Rp 1,92 triliun; 

6. Suwito Gunawan alias Awi melalui PT Stanindo Inti Perkasa setidaknya Rp 2.200.704.628.766,06 atau Rp 2,2 triliun;

7. Sebanyak 375 Mitra Jasa Usaha Pertambangan, diantaranya CV Global Mandiri Jaya, PT Indo Metal Asia, CV Tri Selaras Jaya, PT Agung Dinamika Teknik Utama setidaknya Rp 10.387.091.224.913 atau Rp 10,38 triliun;

8. CV Indo Metal Asia dan CV Koperasi Karyawan Mitra Mandiri (KKMM) setidaknya Rp 4.146.699.042.396 atau Rp 4,14 triliun;

9. Emil Ermindra melalui CV Salsabila setidaknya Rp 986.799.408.690 atau Rp 986,79 miliar;

10. Harvey Moeis dan Helena setidak-tidaknya Rp 420.000.000.000 atau Rp 420 miliar.

"Yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14," ujar Jaksa. Angka ini berdasarkan laporan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tertanggal 28 Mei 2024.

Jaksa menilai, Fandy Lingga telah melakukan perbuatan melawan hukum. Di antaranya mewakili PT TIN bertemu dengan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Alwin Albar selaku Direktur Utama dan Direktur Operasi PT Timah Tbk, serta 30 pemilik smelter swasta di Griya PT Timah dan di Hotel Novotel Pangkalpinang. Persamuhan itu membahas permintaan Mochtar dan Alwin atas bijih timah sebesar 5 persen dari kuota ekspor smelter-smelter swasta tersebut. 

"Karena bijih timah yang diekspor oleh smelter-smelter swasta tersebut merupakan hasil produksi yang bersumber dari penambangan di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk," kata Jaksa.

Selain itu, Fandy Lingga dan Rosalina mewakili PT Tinindo Inter Nusa menghadiri pertemuan di Restoran Sofia dalam Hotel Gunawarman, Jakarta selatan dengan direksi PT Timah. Dalam pertemuan itu, ada perwakilan smelter swasta yaitu Harvey Moeis dan Reza Ardiansyah mewakili PT Rifened Bangka Tin, Aon mewakili CV Venus Inti Perkasa, Robert Indarto mewakili PT Sariwiguna Binasentosa, dan Suwito Gunawan mewakili PT Stanindo Inti Perkasa untuk membahas pelaksanaan perjanjian kerjasama sewa peralatan processing penglogaman.

Fandy Lingga, ujar Jaksa, memerintahkan Rosalina membuat surat penawaran PT Timah Tbk perihal kerja sama sewa alat processing timah bersama smelter swasta lainnya. Menurut JPU, para smelter swasta tersebut tidak memiliki competent person (CP), dimana format surat tersebut sudah dibuatkan konsepnya oleh PT Timah.

"Terdakwa Fandy Lingga bersama-sama Rosalina dan Hendry Lie melalui PT Tinindo Inter Nusa melalui perusahaan affiliasi dari PT Tinindo Inter Nusa menerima pembayaran bijih timah dari PT Timah Tbk," kata Jaksa. Padahal, ia mengetahui bijih timah yang dibayarkan itu berasal dari penambang illegal dari wilayah PT Timah.

Fandy, Rosalina, dan Hendry juga disebut menerima pembayaran atas kerja sama sewa peralatan processing penglogaman timah dari PT Timah Tbk. Pembayaran itu, menurut Jaksa, terdapat kemahalan harga.

Selain itu, JPU menyebut Fandy Lingga mewakili PT Tinindo Inter Nusa menyetujui tindakan Harvey Moeis bersama smelter swasta dan PT Timah menyepakati harga sewa smelter. Ini dilakukan tanpa didahului study kelayakan (feasibility study).

Jaksa mengatakan, Fandy Lingga dan Rosalina juga menyetujui permintaan Harvey Moeis untuk melakukan pembayaran biaya pengamanan sebesar US$ 500 sampai US$ 750 per ton kepada Harvey. Ini seolah-olah dicatat sebagai tanggung jawab sosial perusahaan (coorporate social responsibility/CSR) dari smelter swasta yaitu CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa.

Selain itu, Fandy Lingga dan Rosalina juga disebut bekerja sama dengan smelter swasta lain dan PT Timah. Perusahaan pelat merah itu lantas menerbitkan surat perintah kerja (SPK) di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk. Ini bertujuan melegalkan pembelian biji timah oleh pihak smelter swasta yang berasal dari penambangan ilegal di IUP PT Timah Tbk. 

Atas perbuatannya, Fandy Lingga didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. Pasal55 ayat 1 Ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

 

 

Amelia Rahima Sari

Alumnus Antropologi Universitas Airlangga ini mengawali karire jurnalistik di Tempo sejak 2021 lewat program magang plus selama setahun. Amel, begitu ia disapa, kembali ke Tempo pada 2023 sebagai reporter. Pernah meliput isu ekonomi bisnis, politik, dan kini tengah menjadi awak redaksi hukum kriminal. Ia menjadi juara 1 lomba menulis artikel antropologi Universitas Udayana pada 2020. Artikel yang menjuarai ajang tersebut lalu terbit di buku "Rekam Jejak Budaya Rempah di Nusantara".

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus