Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAMPAK tenang ketika meninggalkan sel tahanan di gedung Kejaksaan Agung, Senin pekan lalu, wajah Henry Leo mendadak tegang. Sebelum menaiki mobil tahanan yang akan memindahkannya ke Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, Banten, Henry, yang sore itu berbaju batik, berseru lantang kepada para wartawan, ”Saya akan melakukan perlawanan! Uang itu milik prajurit TNI.”
Henry, 49 tahun, mungkin kecewa berat. Kejaksaan menghentikan penyidikan dan mencabut status tersangka rekan bisnisnya, Tan Kian. ”Kado” yang sudah disiapkan kejaksaan selama berbulan-bulan itu diberikan setelah Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan Henry, awal Maret lalu.
Henry adalah pengusaha yang, bersama Mayor Jenderal (Purn) Subarda Midjaja, mantan Direktur Utama PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, menjadi terdakwa karena menguras duit prajurit di Asabri Rp 410 miliar pada 1996. Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum Henry enam tahun penjara, dan Subarda lima tahun.
Keduanya juga wajib membayar pengganti kerugian negara masing-masing Rp 70,9 miliar dan Rp 33,6 miliar. Hukuman keduanya turun menjadi empat tahun di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun Mahkamah Agung justru menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Putusan kasasi yang menegaskan adanya tindak pidana korupsi oleh Henry dan Subarda direspons kejaksaan dengan menghentikan penyidikan Tan Kiat. Padahal, salah satu penguasa properti Ibu Kota ini sejak Februari 2007 telah ditetapkan kejaksaan sebagai tersangka.
Senyum Tan Kian pun mengembang begitu menerima surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dari jaksa penyidik untuk pidana khusus Kejaksaan Agung, Kamis dua pekan lalu. Surat tersebut teramat penting dan sudah ditunggu-tunggu pemilik sejumlah properti, antara lain Hotel JW Marriott, Hotel Ritz-Carlton, Plaza Lippo, dan Gedung Rajawali itu.
Penghentian penyidikan itu bisa saja dipandang sebagai ”imbalan” pengembalian uang Asabri US$ 13 juta pada Maret 2008. ”Terima kasih telah selesai,” kata Tan Kian, ketika menerima ”kado pembebasan” dari kejaksaan itu.
Bagi Marwan Effendy, Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, status tersangka Tan Kian pantas dicabut. Sebab, dari hasil penyidikan tak ditemukan bukti keterlibatan ”Putra Mahkota” Tan Hin Chung, pemilik Dumaco Group, salah satu pemain besar industri kimia itu, dalam pembobolan Asabri oleh Henry dan Subarda.
Tambahan pula, Tan Kian mau mengembalikan uang Asabri US$ 13 juta, yang ”ditanam” Henry di Plaza Mutiara miliknya. ”Karena tidak cukup bukti, ya kami hentikan,” kata Marwan dalam wawancara khusus dengan Tempo di ruang kerjanya, Rabu pekan lalu. ”Kenapa takut?” ia menambahkan.
Marwan membenarkan, status tersangka yang dijatuhkan pada Tan Kian adalah pancingan agar dia mau menyerahkan uang prajurit itu. ”Ini kan dalam upaya menyelamatkan uang negara,” katanya. Status itu juga diberikan karena diketahui ada hubungan jual-beli antara Tan Kian dan Henry.
Tan Kian menjual Plaza Mutiara milik PT Permata Birama Sakti kepada PT Cakrawala Karya Buana, milik Henry, pada 1996. PT Permata seratus persen milik Tan Kian. Tapi dia juga komisaris di PT Cakrawala.
Dengan kata lain, Tan Kian penjual sekaligus pembeli Plaza Mutiara. Namun, menurut Marwan, tindakan itu tidak ada hubungannya dengan pembobolan uang Asabri. Masalah Tan Kian adalah urusan perdata dengan Henry, yakni jual-beli Plaza Mutiara, bukan pada pidananya. ”Urusan perdata mereka bukan domain kami,” Marwan menegaskan.
Ketika diperjualbelikan, Plaza Mutiara masih berupa hamparan tanah 17 ribu meter persegi di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Harga yang disepakati US$ 26 juta (sekitar Rp 260 miliar) untuk tanah sekaligus bangunan 17 lantai.
Henry lalu menyetorkan US$ 13 juta dari uang Asabri yang dibobolnya. Sisanya, dia berutang ke Bank Internasional Indonesia (BII) US$ 13 juta, dengan jaminan 40 sertifikat Plaza Mutiara. Tapi pinjaman cuma cair US$ 10,6 juta.
Henry sendiri yang menyetop pen-cairan kredit itu karena pinjaman BII mengalir ke PT Permata, bukan ke PT Cakrawala sebagai peminjam. Kekurangan setoran Henry senilai US$ 2,4 juta lantas dikonversi dengan 17,6 persen saham PT Cakrawala untuk Tan Kian.
Bagaimana dengan pengembalian uang US$ 13 juta oleh Tan Kian ke kejaksaan? Menurut Marwan, seharusnya uang itu dikembalikan Tan Kian ke Henry, baru kemudian disita kejaksaan. Tapi Tan Kian langsung mengirimnya ke rekening kejaksaan di Bank Rakyat Indonesia. ”Enggak masalah, yang penting duitnya kembali,” kata bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur itu.
Toh, pengembalian itu menjadi modal tawar-menawar Tan Kian dengan kejaksaan. Denny Kailimang, pengacara Tan Kian, membenarkan telah mengajukan permintaan ke kejaksaan agar menghentikan penyidikan. ”Uang prajurit sudah kami kembalikan, setelah itu kami minta SP3, dong,” Denny menjelaskan. ”Kan tidak ada bukti juga mereka berkolusi membobol Asabri.”
Tak ayal, keputusan kejaksaan menghentikan penyidikan menuai kecaman. Tak cuma Henry, lembaga swadaya masyarakat antikorupsi pun, seperti Masyarakat Anti Korupsi Indonesia, ikut memprotes. Bonyamin Saiman, Koordinator MAKI, menegaskan bahwa keterlibatan Tan Kian dalam pembobolan Asabri jelas.
Pertama, posisi Tan Kian sebagai penjual sekaligus pembeli Plaza Mutiara menunjukkan adanya kongkalikong dalam memanfaatkan uang Asabri. Kedua, Tan Kian mengembalikan US$ 13 juta baru setelah ditetapkan sebagai tersangka. Ketiga, Tan Kian dan Henry melalui PT Cakrawala mengajukan pinjaman ke BII. Ini semua menunjukkan secara kuat keterlibatan Tan Kian,” kata Bonyamin. ”Nonsens kalau Tan Kian bilang tidak tahu uang itu uang Asabri.”
Iyul Sulinah, istri Henry, mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam penghentian penyidikan Tan Kian. ”Bagaimana dapat SP3?” Iyul bertanya. ”Tan Kian kan tidak pernah menjadi tersangka dalam kasus Asabri? Dia tersangka dalam kasus kredit macet PT Cakrawala di BII.” Iyul mengaku sempat dipanggil kejaksaan pada 30 Januari 2008 untuk bersaksi dalam kasus itu.
Menurut Iyul, meskipun bank itu kini sudah milik Malayan Banking Berhad (Maybank), Malaysia, penyidikan kasus ini seharusnya tidak berhenti. ”Kredit macet itu terjadi sewaktu BII dimiliki pemerintah (lewat program rekapitalisasi perbankan),” katanya. ”Makanya Tan Kian jadi tersangka.”
Kejaksaan juga seharusnya tidak menghentikan penyidikan Tan Kian, karena tagihan BII ke PT Cakrawala yang macet lalu dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional justru dibeli kembali oleh Tan Kian melalui Newport Bridge Financial Ltd., perusahaannya di British Virgin Island, hanya dengan US$ 2,2 juta. Padahal hak tagih BII itu senilai US$ 10,6 juta. ”Negara dirugikan sekitar US$ 8,5 juta,” Iyul menekankan.
Iyul berkeras, Plaza Mutiara adalah hak prajurit dan pemerintah. Sebab, gedung itu dibangun dengan US$ 13 juta uang Asabri dan US$ 10,6 juta kredit BII yang kemudian ”ditambal” pemerintah dengan obligasi rekap karena pinjaman itu macet. Seharusnya, kata dia, Tan Kian mengembalikan uang US$ 13 juta itu pun dengan hasil keuntungan. ”Dia menikmati uang itu sebelas tahun.”
Pengacara Subarda, R. Rivai M. Noer, pun berpendapat serupa. Sebagai pengacara negara, kejaksaan seharusnya meminta hasil keuntungan dari uang US$ 13 juta itu.
Marwan tak sependapat. Menurut dia, dalam perkara pidana, pengembalian uang hanya menuntut nilai pokoknya. Adapun soal kredit macet BII dan pembelian hak tagih pinjaman itu dari BPPN oleh Newport, menurut Marwan, juga bukan urusannya lagi. ”Menurut hasil kajian jaksa bidang perdata dan tata usaha negara, itu sudah antara swasta dan swasta.”
Menurut Denny, uang US$ 13 juta itu sepenuhnya milik Tan Kian. Sebab, ketika Henry tak sanggup memenuhi deadline setoran modal, perjanjian jual-beli Plaza Mutiara batal. Uang yang sudah disetor otomatis milik Tan Kian. ”Kami kembalikan karena kesadaran saja,” ujarnya. Sekalipun duit itu dikembalikan tanpa hasil keuntungan, Denny menilai Asabri tetap untung karena dulu uang US$ 13 juta itu setara dengan Rp 30 miliar. ”Sekarang nilainya Rp 130 miliar.”
Walau begitu, Asabri tetap dalam posisi merugi. Dari uang yang tercuri Rp 410 miliar, Asabri baru menerima Rp 150 miliar dari rekening yang belum sempat digasak Henry, sejumlah aset tanah dan bangunan yang belum jelas nilainya, dan US$ 13 juta yang dikembalikan Tan Kian. Kekurangannya, menurut Marwan, Asabri bisa menuntut ke Henry, Subarda, termasuk ke Tan Kian secara perdata.
Tapi, bagi Bonyamin, menuntut perdata kepada Tan Kian sudah tak mungkin. Sebab, kejaksaan sudah mengeluarkan SP3, yang berarti tidak ada perbuatan melawan hukum. ”Jadi, di mana logikanya menuntut perdata? Itu cuma upaya kejaksaan menipu Asabri.”
Anne L. Handayani, Rini Kustiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo