Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Kementerian ATR/BPN memecat enam pegawai kantor BPN Kabupaten Tangerang.
Ada indikasi pidana dalam pembuatan sertifikat HGB dan SHM lahan di area pagar laut.
Kementerian menemukan pola sistematis penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan SHGB dan HGU.
KEMENTERIAN Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) memberikan sanksi kepada delapan pegawai kantor BPN Kabupaten Tangerang pada akhir Januari 2025. Enam di antaranya langsung dipecat. Sanksi ini berhubungan dengan pembuatan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di pantai Tangerang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid mengatakan keputusan itu diambil setelah Kementerian mengaudit proses penerbitan sertifikat yang menjadi dasar berdirinya pagar laut. “Kami memberikan sanksi berat, pembebasan dan penghentian dari jabatan, kepada enam pegawai,” kata Nusron dalam rapat kerja dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis, 30 Januari 2025. “Dan sanksi berat kepada dua pegawai.”
Adapun pegawai yang dijatuhi sanksi adalah JS (mantan Kepala Kantor BPN Kabupaten Tangerang), SH (mantan Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran Kantor BPN Kabupaten Tangerang), serta ET (mantan Kepala Seksi Survei dan Pemetaan Kantor BPN Kabupaten Tangerang).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selanjutnya adalah WS (Ketua Panitia A), YS (Ketua Panitia A), NS (Panitia A), LM (mantan Kepala Survei dan Pemetaan Kantor BPN Kabupaten Tangerang setelah ET), serta KA (eks pelaksana tugas Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran Kantor BPN Kabupaten Tangerang).
Menurut Nusron, berdasarkan hasil audit itu juga, Kementerian membatalkan 50 sertifikat hak guna bangunan (SHGB) pagar laut di Kabupaten Tangerang. Tidak tertutup kemungkinan jumlah sertifikat yang dibatalkan bakal bertambah. “Sementara ini, dari 263 dan 217, yang kami batalkan 50,” kata Nusron. “Sisanya sedang berjalan, masih on progress, kami cocokkan. Mana yang di dalam garis pantai, mana yang di luar garis pantai.”
Warga Desa Kohod menyampaikan aspirasi saat kunjungan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid di Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, Banten, 24 Januari 2025. ANTARA/Putra M. Akbar
Pagar laut di pantai Tangerang menjadi sorotan setelah menjadi perbincangan di dunia maya. Spekulasi bermunculan. Publik menduga pagar laut itu berhubungan dengan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 karena lokasinya berdekatan.
Agung Sedayu Group (ASG) sebagai pengembang PIK 2 tidak membantah kecurigaan itu. Namun mereka hanya membangun pagar di wilayah Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, yang panjangnya tidak sampai 30 kilometer. Pembuatan pagar itu diklaim telah sesuai dengan prosedur karena ASG—melalui anak usaha PT Cahaya Intan Sentosa dan PT Intan Agung Makmur—memiliki SHGB.
Klaim inilah yang kemudian mendorong Kementerian ATR/BPN menginvestigasi penerbitan sertifikat tersebut. Nusron menyebutkan penerbitan SHGB dan sertifikat hak milik (SHM) di area pagar laut itu diduga melibatkan kantor jasa surveyor berlisensi (KJSB). "Semua pihak yang terkait kami panggil," kata Nusron kepada Tempo, Rabu, 22 Januari 2025.
Ketua Masyarakat Ahli Survei Kadaster Indonesia (MASKI) Loedi Ratrianto tidak membantah dugaan itu. Berdasarkan catatan MASKI, di wilayah Tangerang, surveyor berlisensi yang bermitra dengan BPN adalah KJSB Raden Muhamad Lukman Fauzi Parikesit.
MASKI merupakan asosiasi profesi yang menaungi KJSB di seluruh Indonesia. Adapun KJSB adalah satu badan usaha untuk melakukan survei, pengukuran, dan pemetaan di bidang pertanahan dan ruang. Badan usaha ini bisa beroperasi setelah mendapatkan izin dari Kementerian ATR/BPN.
Karena itu, kata Loedi, pembuatan sertifikat melalui KJSB tidak menyalahi aturan. "Pemohon biasanya membayar sejumlah biaya kepada KJSB agar mereka melakukan pengukuran dan pembuatan peta bidang,” katanya ketika dihubungi pada 1 Februari 2025. Ia menekankan, “Tugas KJSB hanya mengukur, bukan memverifikasi keabsahan dokumen kepemilikan tanah.”
Loedi menjelaskan lebih rinci cara kerja KJSB. Pemohon harus mengajukan permohonan pengukuran lahan kepada KJSB dengan melampirkan salinan dokumen girik, alas hak, serta pernyataan kepemilikan dan batas tanah. Surveyor kadastral pada KJSB akan menelah permohonan sebelum melakukan survei dan pengukuran.
Jika dari hasil telaah ditemukan ketidaksesuaian atau indikasi masalah, kata Loedi, KJSB bisa menolak permohonan pemohon. Bila tidak ada kendala, KJSB bakal melanjutkan ke tahap pengukuran pada bidang tanah yang akan dibuatkan sertifikat.
Hasil pengukuran akan dituangkan ke dalam gambar ukur untuk divalidasi oleh BPN. Jika peta bidang ini tidak menunjukkan adanya tumpang tindih atau masalah lain, BPN menggunakannya sebagai dasar penerbitan sertifikat tanah.
Personel TNI dan nelayan membongkar pagar laut yang terpasang di kawasan pesisir Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, 18 Januari 2025. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Menurut Loedi, lahan yang tidak berbentuk daratan—atau dengan kata lain berada di perairan—bisa dikategorikan sebagai lahan bermasalah, sehingga tidak bisa disertifikasi. Karena itu, dalam penerbitan sertifikat di perairan Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Tangerang, ada indikasi ketidakcermatan KJSB. “Mungkin KJSB tidak tahu atau tak mendapat informasi mengenai surat asli atau palsu,” katanya.
Meski KJSB tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa keabsahan dokumen, kata Loedi, seharusnya mereka menolak pengukuran jika memang ada kejanggalan. Sebab, pada dasarnya, kantor jasa itu tidak hanya punya kemampuan pengukuran secara teknis, tapi juga harus mengetahui administrasi pertanahan. “Kalau bidang yang diukur itu adalah laut, mestinya tidak dilakukan pengukuran,” katanya. “Tapi mungkin KJSB punya keyakinan atas dasar surat-surat itu yang menyatakan bahwa dulunya area itu adalah tanah tambak.”
Dibanding KJSB, peran BPN sebenarnya lebih dominan untuk menerbitkan sertifikat. Sebab, sebelum memberikan validasi, BPN juga berwenang memverifikasi hasil kerja KJSB. Tidak mengherankan jika belakangan muncul kecurigaan adanya kecurangan dalam penerbitan SHGB dan SHM di perairan Tangerang tersebut. "Dugaan sementara, pengajuan SHGB dan SHM menggunakan girik serta dokumen bukti kepemilikan palsu," kata Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Djuhandani Rahardjo Puro pada 31 Januari 2025.
Pidana di Perairan Desa KohodPemalsuan Surat. Dugaan penggunaan dokumen palsu dalam pengajuan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan sertifikat hak milik (SHM). |
Berdasarkan hasil penyelidikan yang dimulai sejak 10 Januari 2025, kata Djuhandani, penerbitan sertifikat di perairan Tangerang itu mengarah pada pelanggaran hukum. Karena itu, Polri telah berkoordinasi dengan kantor BPN, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta pemerintah Kabupaten Tangerang.
Kejaksaan Agung juga sudah menurunkan tim untuk menelusuri persoalan yang terjadi di Tangerang. "Yang kami lakukan sebatas pengumpulan data dan informasi," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar. Namun ia belum bersedia menjelaskan secara rinci upaya-upaya yang sudah dilakukan kejaksaan.
Akademikus hukum agraria dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Dyah Ayu Widowati, menegaskan bahwa SHGB tidak bisa diterbitkan untuk lahan yang sejak awal merupakan perairan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021, girik atau letter C memang bisa menjadi dasar permohonan pembuatan SHGB. Surat keterangan dari kepala desa dibutuhkan sebagai petunjuk dalam pendaftaran tanah.
Namun, kata Dyah, bila citra satelit menunjukkan bahwa lahan tersebut sejak dulu merupakan perairan, tidak ada dasar hukum yang kuat untuk pembuatan sertifikat. "Penting untuk meneliti melalui citra satelit sebagai alat bukti, apakah dasar pengeluaran SHGB tersebut sah atau tidak," ujar Dyah. “Bila SHGB bisa terbit, diduga kuat ada pelanggaran administrasi hingga potensi tindak pidana.”
Kepala Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Benni Wijaya menilai pemecatan terhadap enam pegawai ATR/BPN tidak akan menjawab persoalan pertanahan di Tangerang. “Jika pemerintah serius, harus diusut semua aktor, termasuk pihak perusahaan yang menikmati keuntungan dari penerbitan SHGB," ujar Benni.
Menurut catatan KPA, ada ribuan kasus serupa yang menunjukkan pola sistematis penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan SHGB dan HGU. Pemerintah harus menggunakan momentum ini untuk mereformasi sistem pertanahan. “Pembersihan harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya berhenti di enam pejabat yang dipecat," katanya. ●
Ade Ridwan Yandwiputra, Riri Rahayu, dan Ayu Cipta dari Tangerang berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo