Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Masyarakat Sipil Propembatasan Remisi berharap Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 terkait remisi koruptor yang diajukan lima narapidana korupsi. Gugatan para pemohon terhadap pasal 14 ayat 1 huruf i beleid tersebut dinilai hanya sebagai siasat untuk mendapat pengurangan hukuman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator Program Pusat Bantuan Hukum Indonesia, Julius Ibrani, mengatakan para pemohon tak bisa menyatakan pasal itu bertentangan dengan konstitusi hanya karena menilainya diskriminatif. Kelima terpidana tak mendapat remisi lantaran tak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan, yang memperketat pemberian remisi kepada koruptor. “Dalil pemohon tentang hak asasi manusia keliru besar,” kata Julius, Rabu, 1 November 2017.
Baca: MK Diminta Tolak Permohonan Uji UU Remisi Bagi Napi Korupsi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Julius kemarin mendaftarkan permohonan ke Mahkamah Konstitusi agar menjadikan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Institute for Criminal Justice Reform—dua anggota Aliansi Masyarakat Sipil Propembatasan Remisi—sebagai pihak terkait tidak langsung dalam perkara uji materi ini.
Adapun terpidana korupsi yang mengajukan gugatan adalah Suryadharma Ali, Otto Cornelis Kaligis, Irman Gusman, Barnabas Suebu, dan Waryono Karno. Mereka meminta MK menyatakan Pasal 14 ayat 1 huruf i Undang-Undang Pemasyarakatan tak berkekuatan hukum jika tidak dimaknai berlaku secara umum, tanpa diskriminasi.
Pasal tersebut menyatakan narapidana berhak mendapat pengurangan masa pidana. Kelima koruptor yang dipidanakan Komisi Pemberantasan Korupsi itu menyatakan tak pernah mendapat remisi. Mereka mempersoalkan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012—aturan pelaksana Undang-Undang Pemasyarakatan—yang memberi syarat tambahan, salah satunya kepada terpidana korupsi.
Baca juga: Gayus Tambunan Dapat Remisi, Jusuf Kalla: Dia Berkelakuan Baik
Salah satu syarat tambahan pemberian remisi itu adalah narapidana harus bekerja sama dan membantu penegak hukum untuk mengungkap kejahatan yang melibatkannya (justice collaborator). Dengan dalih Undang-Undang Dasar 1945 mengatur kedudukan yang sama setiap orang di muka hukum, para pemohon menilai pasal remisi diskriminatif terhadap mereka yang tak menjadi justice collaborator.
Julius mengingatkan, peraturan pemerintah itu telah diuji di Mahkamah Agung pada 2013 dan 2015. Kala itu, MA menolak judicial review dengan menyatakan pengetatan syarat pemberian remisi kepada koruptor dan kejahatan luar biasa lainnya merupakan cermin keadilan. “Pengetatan remisi adalah konsekuensi yang etis, mengingat dampak kerusakan moral, sosial, dan ekonomi akibat tindakan koruptor,” kata Julius.
Peneliti ICW, Aradila Caesar, mengatakan peraturan pemerintah adalah kebijakan hukum pemerintah. Dia menerangkan, pengetatan remisi pun sejalan dengan rekomendasi United Nation Convention Against Corruption kepada Indonesia, yakni menjadikan korupsi sebagai alasan pemberat dalam pemberian remisi dan pembebasan bersyarat. “Selain itu, MK dalam sejumlah putusannya menyatakan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, sehingga diperlukan cara yang luar biasa dalam menanggulanginya,” kata Aradila.
Kuasa hukum kelima narapidana, Afrian Bonjol, mempersilakan kelompok masyarakat sipil ikut dalam sidang uji materi pasal remisi koruptor ini. Dia menilai hakim MK akan obyektif menyidangkan perkara tersebut. “Setiap warga negara memiliki kepentingan. Silakan saja,” kata dia.