Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Amputasi Wewenang Komisi

Mahkamah Konstitusi menyatakan Komisi Yudisial tak berwenang lagi menyeleksi hakim pengadilan tingkat pertama. Empat hakim konstitusi dilaporkan ke polisi.

19 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lima aktivis mahasiswa mendatangi Sentra Pelayanan Kepolisian Polda Metro Jaya selepas isya, Selasa pekan lalu. Mereka melaporkan dugaan penyalahgunaan wewenang berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tentang seleksi hakim pengadilan tingkat pertama. "Kami melihat kejanggalan dalam sidang putusan itu," kata Sekretaris Jenderal Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ) Lintar Fauzi menjelaskan alasan laporan mereka, Rabu pekan lalu.

Bersama Lintar, pelapor lain adalah Farhan Ali, Victor Santoso Tandiasa, dan Alfian Akbar Balianan. Mereka mempersoalkan putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan Rabu dua pekan lalu. Putusan itu mengabulkan gugatan Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) yang menguji wewenang Komisi Yudisial dalam menyeleksi hakim tingkat pertama.

Dengan dikabulkannya gugatan Ikahi, kini hanya Mahkamah Agung yang berwenang memproses seleksi hakim tingkat pertama di peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara. Adapun Komisi Yudisial hanya berwenang mengurus seleksi hakim agung.

Masalahnya, menurut Lintar dan kawan-kawan, tiga dari sembilan hakim konstitusi yang mengadili judicial review itu patut diduga terlibat konflik kepentingan. Soalnya, mereka masih tercatat sebagai anggota Ikahi. "Satu hakim turut kami laporkan karena membiarkan konflik kepentingan itu terjadi," ujar Lintar.

* * * *

PERMOHONAN uji materi yang diajukan Ikahi pada Maret lalu membuat kaget pimpinan Komisi Yudisial. Soalnya, menurut Komisioner Komisi Yudisial Imam Anshori, sebelum gugatan itu melayang, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sudah sembilan bulan membahas sistem seleksi calon hakim tingkat pertama.

Uji materi ini diajukan lima hakim agung, yakni Suhadi, Imam Soebechi, Abdul Manan, Yulius, dan Burhan Dahlan, serta seorang panitera Mahkamah Agung, Soeroso Ono. Mereka menguji sejumlah pasal dalam tiga undang-undang sekaligus.

Persisnya, mereka menggugat Pasal 14A ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, serta Pasal 14A ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Pasal-pasal tersebut menyatakan pemilihan hakim dilakukan Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung. Menurut pemohon uji materi, keterlibatan Komisi Yudisial dalam seleksi hakim menyalahi Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 24B.

Ikahi juga menyatakan keterlibatan Komisi Yudisial merupakan campur tangan lembaga di luar kehakiman atas proses seleksi hakim. Karena keterlibatan Komisi Yudisial, Ikahi beralasan, mereka tak bisa mengusulkan promosi hakim yang berprestasi. Akibatnya, promosi atau mutasi hakim di berbagai daerah pun tak maksimal.

Untuk memperkuat argumennya, Ikahi mengajukan Yusril Ihza Mahendra sebagai saksi ahli. Pakar hukum tata negara ini menyatakan, sewaktu pembahasan amendemen kedua UUD 1945, memang muncul usul Komisi Yudisial dilibatkan dalam seleksi hakim tingkat pertama dan banding. Usul itu ditolak Panitia Ad Hoc I dan sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. "Yang disepakati hanya kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi hakim agung, tidak hakim-hakim lainnya," kata Yusril dalam kesaksiannya.

Adapun saksi ahli yang diajukan Komisi Yudisial, Zainal Arifin Mochtar, menyatakan pembentukan Komisi Yudisial tak terlepas dari sejarah kelam Orde Baru ketika rekrutmen hakim agung sangat bias kepentingan politik. Menurut ahli hukum dari Universitas Gadjah Mada ini, keterlibatan Komisi Yudisial dalam seleksi hakim justru merupakan wujud akuntabilitas dan transparansi. "Keterlibatan Komisi Yudisial tak bisa dipandang sebagai intervensi, tapi sebagai upaya memperkuat independensi," ujar Zainal.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md., yang juga menjadi saksi ahli, menyatakan kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi hakim tidak melanggar konstitusi. Wewenang Komisi Yudisial itu merupakan wujud dari open legal policy alias pilihan politik hukum yang terbuka. Jika Mahkamah Konstitusi membatalkan undang-undang yang termasuk open legal policy, kata Mahfud, "MK sudah ikut campur dalam ranah legislatif."

Sebagai pihak terkait perkara, Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) menyatakan keberatan atas jalannya persidangan. Pada sidang 28 Juli lalu, misalnya, perwakilan Forum, Saefudin Firdaus, mempersoalkan tiga hakim konstitusi yang berlatar belakang hakim agung. Saefudin lalu menyitir Pasal 17 ayat 5 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Pasal itu menyatakan seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ada potensi konflik kepentingan.

Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat, yang hari itu memimpin sidang, menentang pernyataan Saefudin. "Penafsiran Anda enggak benar," ujarnya. Arief beralasan, seandainya penafsiran Saefudin dan kawan-kawan diterima, sebagai hakim konstitusi yang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat, ia tak bisa memimpin sidang pengujian undang-undang. "Karena semua undang-undang dibuat DPR," kata Arief seperti tertuang dalam risalah sidang.

Kala itu sidang sempat berlangsung tegang. Saefudin, yang hendak memberi penjelasan lebih panjang, tak diberi kesempatan. Arief memerintahkan petugas mematikan mikrofon di meja Saefudin. "Dimatikan itu! Saya harus memberikan pendidikan yang benar kepada pihak terkait," ujar Arief.

Di luar ruang sidang terbuka, rapat musyawarah majelis hakim konstitusi dalam memutus perkara ini selalu berjalan alot. "Kami bisa berjam-jam berdebat," kata hakim konstitusi I Dewa Palguna. Setelah tiga kali rapat musyawarah tak membuahkan titik temu, pada akhir Agustus disepakati adanya ruang untuk menyatakan beda pendapat (dissenting opinion).

Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan gugatan Ikahi dengan beberapa pertimbangan. Antara lain, Mahkamah Konstitusi menyatakan Komisi Yudisial bukan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan elemen pendukung saja. Argumen ini mengutip putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 yang memangkas wewenang Komisi Yudisial mengawasi hakim dan hanya memberi ruang untuk menilai kepatuhan hakim atas kode etik.

Mahkamah Konstitusi juga menilai ketiga undang-undang yang diuji Suhadi dkk berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman. "Apabila dihubungkan dengan sistem peradilan satu atap, seleksi calon hakim pengadilan tingkat pertama menjadi kewenangan Mahkamah Agung," begitu bunyi putusan itu.

Berbeda pendapat dengan koleganya, hakim konstitusi I Dewa Palguna menyatakan keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi hakim tingkat pertama tidaklah mengganggu administrasi, organisasi, ataupun finansial pengadilan. Sebaliknya, menurut Palguna, peran Komisi Yudisial penting untuk memberikan pemahaman kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi calon hakim yang telah dinyatakan lulus sebagai calon pegawai negeri sipil.

Perwakilan Ikahi yang juga juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat mengatasi proses seleksi hakim yang lama mandek. "Saat ini lembaga peradilan kekurangan 750 hakim," ucap Suhadi.

Tak lama setelah Mahkamah Konstitusi mengetuk palu, komposisi panel hakim konstitusi kembali dipersoalkan. Komisioner Komisi Yudisial Imam Anshori mengatakan lembaganya semula berencana memperkarakan dugaan konflik kepentingan ke Dewan Etik Mahkamah Konstitusi. "Tiga hakim dari Ikahi mengadili gugatan Ikahi," ujar Imam. Namun, karena ada pihak lain yang bergerak lebih cepat, Komisi Yudisial urung melaporkan hal tersebut. "Kami siap menjadi saksi apabila diperlukan," katanya.

Adapun Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta serta Forum Kajian Hukum dan Konstitusi akhirnya melaporkan empat hakim konstitusi ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Menurut Sekretaris Jenderal GMHJ Lintar Fauzi, sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikahi, semua hakim agung termasuk anggota Ikahi.

Karena itu, menurut Lintar, tiga hakim konstitusi yang berlatar belakang hakim agung patut diduga memiliki konflik kepentingan. Mereka adalah Manahan Sitompul, Suhartoyo, dan Anwar Usman. Sedangkan Arief Hidayat, selaku Ketua Mahkamah Konstitusi, patut diduga membiarkan konflik kepentingan itu terjadi.

Di samping melapor ke polisi, Lintar dkk berencana menggugat empat hakim konstitusi secara perdata. Mereka pun berniat melaporkan keempat hakim itu ke Dewan Etik Mahkamah Konstitusi. "Akan kami tempuh ketiga gugatan secara paralel," ujar Lintar.

Ketua Dewan Etik Mahkamah Konstitusi Mukti Fajar menyatakan akan mempelajari laporan terkait dengan dugaan konflik kepentingan tersebut. Menurut dia, sejauh ini baru bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang mendapat sanksi berat dari Dewan Etik.

Adapun Arief Hidayat berkukuh menilai pendapat aktivis GMHJ dan FKHK keliru. Menurut dia, bila tiga hakim konstitusi berlatar belakang hakim agung tak dilibatkan, sidang panel hakim putusan judicial review tak bisa jalan. Soalnya, sidang putusan harus memenuhi kuorum, yakni dihadiri minimal tujuh dari sembilan hakim konstitusi.

Yuliawati, Linda Trianita


Panas-Dingin Dua Lembaga

Sejak Komisi Yudisial berdiri pada 2005, perseteruan Komisi dengan Mahkamah Agung berkali-kali meletup. Selama bertahun-tahun, hubungan di antara kedua lembaga pun berlangsung panas-dingin.

2006
Pada Februari 2006, sejumlah hakim agung melaporkan Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Mereka marah karena pernyataan Busyro kepada media bahwa ada 13 hakim agung yang bermasalah.
Sejumlah hakim agung juga menggugat wewenang Komisi Yudisial mengawasi hakim ke Mahkamah Konstitusi. Melalui putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi menghapus wewenang tersebut. Sejak itu, Komisi Yudisial hanya diberi ruang untuk mengawasi kepatuhan hakim atas kode etik.

2011
Komisioner Komisi Yudisial Suparman Marzuki dilaporkan Mahkamah Agung ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan pencemaran nama lewat media.

2012
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung berembuk menyusun Panduan Penegakan Kode Etik dan Perilaku Hakim.

2014
Pada September 2014, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial menyelesaikan draf perjanjian mengenai mekanisme seleksi hakim. Setelah ditandatangani pimpinan Komisi Yudisial, draf itu tak kunjung diteken pimpinan Mahkamah Agung.

2012-2015
Dalam catatan Komisi Yudisial, ada 12 rekomendasi mereka tentang pelanggaran kode etik oleh hakim yang dimentahkan Mahkamah Agung.

Seleksi Hakim Agung
Komisi Yudisial sudah 13 kali menyeleksi calon hakim agung. Proses seleksi itu telah menghasilkan 42 hakim agung.

Pasal 23A ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945
"Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden."

Pasal 24B ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945
"Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim."

Yuliawati, berbagai sumber

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus