Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejatinya tak mudah bagi Toipah untuk kabur dari Apartemen Ascott, Kebon Kacang, Jakarta Pusat. Dilengkapi kamera pengintai, sekeliling apartemen itu pun dijaga ketat petugas keamanan. Namun Toipah benar-benar tak tahan setelah lima bulan bekerja sebagai pengasuh anak anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Fanny Safriansyah alias Ivan Haz, di lantai 14 apartemen tersebut. "Kalau bertahan, saya takut terus dipukuli," kata Toipah ketika menceritakan lagi pengalamannya, Rabu pekan lalu.
Bolak-balik Toipah menimbang, bila memaksakan diri kabur lewat pintu depan, ia takut dicegat petugas dan dikembalikan ke majikannya. "Itu bisa membuat Pak Ivan semakin marah," ujarnya. Di tengah kebimbangan itulah tiba-tiba perempuan 20 tahun ini teringat satu hal. Pada Agustus lalu, seorang petugas keamanan yang melihat lebam di wajahnya pernah memberi peluang. "Sudah, pergi saja," kata si petugas tanpa banyak mengorek informasi dari Toipah.
Petugas itu pun memberi Toipah secarik kertas bergambar denah jalan ke luar kompleks yang minim penjagaan. Titik yang digambar si petugas adalah pagar belakang kolam renang apartemen, dekat arena bermain anak-anak. Di sana, ada batu pijakan dan tiang untuk melompati pagar setinggi sekitar dua meter. "Berhari-hari, cuma jalan itu yang terpikirkan," ujar Toipah. Jalur kabur sudah ada, Toipah tinggal menunggu kesempatan.
Peluang datang sekitar pukul 09.00 pada 30 September lalu. Kala itu, Toipah sedang mengasuh anak Ivan bersama istrinya, Anna Susilowati, di arena bermain anak-anak. Ketika majikan perempuannya tersebut terlena memainkan gawai, Toipah bergegas meninggalkan bocah laki-laki dua tahun yang seharusnya ia jaga itu. Berlarilah Toipah menuju pagar belakang apartemen. Benar saja, di sana tak ada petugas keamanan. "Saya manjat, loncat keluar, lalu berlari sekencang mungkin," ujar Toipah.
Berdasarkan pengamatan Tempo, di sisi dalam pagar tempat Toipah kabur memang ada batu setinggi lutut yang bisa dijadikan pijakan untuk memanjat ke tiang lampu yang tingginya sedikit melebihi pagar. Namun melompat dari tiang yang menempel pada pagar itu bukan perkara mudah. "Saya nekat saja. Ternyata bisa," kata Toipah.
Ketika hendak pulang ke agen penyalurnya di Depok, Toipah bertemu dengan aktivis Lembaga Bantuan Hukum Apik di atas kereta. Oleh sang aktivis, dia disarankan mengadu ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kini Toipah aman dalam perlindungan LPSK bersama dua rekannya sesama pekerja rumah tangga di apartemen Ivan. Sebut saja nama mereka Ami dan Indah.
Setelah mengadu ke LPSK, Toipah bersama pengacara LBH Apik juga melaporkan Ivan dan istrinya ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. "Istri Ivan sudah dipanggil dua kali, tapi belum hadir," kata Kepala Subdirektorat Remaja, Anak, dan Wanita Ajun Komisaris Besar Suparmo, Selasa pekan lalu. Adapun Ivan, menurut Suparmo, belum dipanggil karena harus ada izin presiden.
Toipah mulai bekerja sebagai pengasuh anak tertua Ivan pada 2 Mei 2015. Ia ingat betul, pada hari-hari pertamanya bekerja, Ivan dan Anna sama-sama menunjukkan sikap baik. Pasangan suami-istri itu pun tak mempersoalkan beberapa klausul kontrak yang diminta Toipah. "Saat itu disepakati bahwa saya akan bekerja selama tiga bulan. Setelah itu, bisa diperpanjang dengan kenaikan gaji," ujar Toipah. Ivan meneken kontrak, tapi tak menyerahkan salinannya kepada Toipah.
Menurut Toipah, majikannya berubah sikap setelah ia menyampaikan keinginan mengundurkan diri pada 12 Mei lalu. Lingkungan apartemen yang "serba sempit" rupanya membuat Toipah tak betah. Kala itu, Ivan menolak dan meminta Toipah bertahan dua pekan lagi. Toipah pun menuruti kemauan sang majikan.
Ditunggu sampai akhir Mei, Ivan tak kunjung mengizinkan Toipah pulang. Bahkan Ivan mulai menerapkan berbagai pembatasan. Toipah, yang semula bebas menghubungi keluarga, belakangan hanya diizinkan menelepon keluar selama sepuluh menit pada malam hari.
Pada 31 Mei lalu, Toipah mencoba kabur dari apartemen dengan 200-an unit hunian itu. Namun, di gerbang depan, petugas keamanan mencegatnya. Ivan kemudian membawa Toipah kembali ke unit 1407 miliknya. "Saya langsung dimaki-maki," kata Toipah. Kala itu, untuk pertama kalinya dia mendapat kekerasan fisik. "Saya dilempari garpu," ujarnya. Kedua majikannya juga mengancam akan menyekap Toipah bila dia berani macam-macam.
Pada hari-hari berikutnya, menurut Toipah, sikap kedua majikannya semakin kasar saja. Tak jelas apa kesalahannya, Toipah mengaku pernah ditendang di punggung, dibenturkan ke lantai, dicakar, dan dijambak. "Saya dipukuli pakai apa saja. Gagang sapu, remote TV, panci, kaleng obat nyamuk, sampai iPhone," katanya. Yang paling keras, Toipah mengaku dipukuli di bagian telinga. Sampai kini, telinga kiri Toipah tak jelas bentuknya, bengkak sampai menutupi lubangnya.
Sejumlah warga apartemen yang curiga pernah menanyakan tanda bekas kekerasan di tubuh Toipah. Petugas keamanan termasuk orang yang paling sering mempertanyakan hal itu. "Saya selalu beralasan karena jatuh. Mereka mungkin tahu saya bohong," ujar Toipah.
Beberapa petugas keamanan apartemen yang ditemui Tempo tak bersedia memberi keterangan seputar kejadian yang menimpa Toipah. Juru bicara Apartemen Ascott, Evi Azhali, juga menolak memberitahukan apakah Ivan Haz masih tinggal di apartemen tersebut atau tidak. "Kami tidak bisa memberitahukan ihwal siapa saja yang tinggal di apartemen kami," ucap Evi.
Selain diperlakukan kasar, Toipah tak menerima hak-haknya yang tertulis dalam kontrak. Setelah tiga bulan dia bekerja, misalnya, gajinya tak naik seperti yang dijanjikan. Sejak Juli lalu, Toipah bahkan tak menerima gaji bulanan sebesar Rp 2,2 juta. "Gaji bulan Juni saja masih kurang Rp 200 ribu," katanya.
Kekerasan yang dialami Toipah juga diketahui kedua rekannya sesama pekerja di apartemen Ivan. Ami, yang bekerja di sana sejak 16 Mei lalu, mengaku sering melihat Toipah disakiti. Namun, jangankan menolong Toipah, berbicara langsung dengan rekannya itu pun Ami tak berani karena Ivan melarang mereka berkomunikasi.
Pagi hari setelah Toipah kabur, Ivan dan Anna menuduh Ami memanas-manasi temannya itu. Siang harinya, sekitar pukul 13.00, Ami pun kabur lewat lift karyawan. "Takut saya giliran dipukuli," ujarnya.
Berbeda dengan Ami yang bisa kabur dengan mulus, Indah, yang mencoba melarikan diri pada 2 Oktober lalu—bersama tiga pekerja rumah tangga Ivan yang baru—ketahuan petugas keamanan. Menurut Indah, Ivan, yang hendak membawanya kembali ke apartemen, sempat berlaku kasar. "Ia menarik tangan dan leher saya dengan keras," katanya. Tapi Indah terus berontak sampai petugas keamanan melerai. Indah pun akhirnya dilepaskan.
Ivan membantah telah menyakiti Toipah dan kawan-kawan. "Saya tidak punya masalah dengan Toipah. Saya juga tidak memukul," ujar Ivan dalam jumpa pers di kantor Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR, Jumat dua pekan lalu. Menurut Ivan, kemungkinan besar Toipah terluka karena jatuh ketika kabur melompati pagar apartemen.
Ivan juga menyebutkan Toipah tak cakap mengurus anaknya sehingga sering terlibat cekcok dengan istrinya. "Saya sudah bilang ke dia, kalau enggak bisa jaga anak, mending enggak usah," katanya. Soal gaji yang ditahan, menurut Ivan, itu atas permintaan Toipah. "Sekarang bagaimana mau dibayar? Wong dia kabur," ucap anggota Komisi Pertanian DPR itu.
Kuasa hukum Ivan, Tito Hananta Kusuma, menganggap pernyataan Toipah dan kuasa hukumnya tak disertai bukti. Walhasil, menurut dia, nama kliennya pun tercemar. "Kami akan melaporkan balik adanya laporan palsu, fitnah, dan pencemaran nama baik," ujar Tito.
Sebaliknya, kuasa hukum Toipah dari LBH Apik, Uli Pangaribuan, mengatakan sudah mengantongi berbagai bukti untuk memperkarakan Ivan dan istrinya. Menurut Uli, kesaksian Indah dan Ami memperkuat pengakuan Toipah. Di samping itu, tim kuasa hukum telah memiliki hasil visum dari Rumah Sakit Polri yang menyatakan ada bekas hantaman benda tumpul di bagian belakang kepala dan telinga Toipah.
Atas dasar berbagai bukti itu, Uli juga mendesak polisi menangani kasus ini dengan memakai Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pasal 44 undang-undang tersebut mengancam pelaku kekerasan dengan hukuman maksimal 10 tahun penjara atau denda Rp 30 juta.
Selain melapor ke polisi, Uli dan kawan-kawan telah melaporkan Ivan ke Mahkamah Kehormatan Dewan. Junimart Girsang, anggota Mahkamah Kehormatan Dewan, mengatakan sudah menerima laporan tersebut serta mendapat informasi tambahan dari kepolisian. "Bila dia terbukti bersalah, kami siap menjatuhkan sanksi," ujar Junimart.
Istman M.P., Destrianita, Gangsar Parikesit
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo