RASA jengkel terkadang mengundang nekat. Contohnya adalah Muhammad Ali. Kini ia mendekam di sel tahanan Polres Batam, Riau. Bersama enam temannya, yang biasa mengirim Tenaga Kerja Indonesia (TKI) secara gelap ke Malaysia itu, Ali dituduh beringas membantai Sersan Kepala Asril dan Sersan Satu Agus Ariwibowo. Adam sebagai nakhoda juga menjadi korban perbuatan mereka. Kemudian ketiga mayat itu dilempar ke tengah laut. "Kami jengkel karena Sersan Asril suka memeras kami," kata Muhammad Ali, di depan pemeriksanya. Konon Asril, anggota Sabhara Polres Batam, suka memeras para tekong boat dan pengirim TKI gelap dari Batam ke Johor, Malaysia. Belakangan disebut upeti yang diminta Asril itu, katanya, makin besar. "Inilah yang membuat Ali dan kawannya mendongkol, dan sepakat menghabisi Asril," kata sumber TEMPO di Polres Batam. Seperti diakui Muhammad Ali di depan petugas, sebelum hari H pembunuhan itu, mereka beberapa kali mengadakan pertemuan di Kelong, Belakangpadang, Batam. Rapat yang dihadiri sejumlah tekong akhirnya sepakat untuk menghabisi Sersan Kepala Asril. Mereka merencanakan menyergap anggota polisi tersebut ketika ia bertugas di tengah laut. Sejak rapat itu mereka bergantian mengintip gerak-gerik kapal patroli yang biasa ditumpangi oknum tersebut. Pada tengah malam 17 November tahun lalu, mereka melihat Asril didampingi seorang temannya, Agus Aribowo dengan senjata masing-masing pistol di pinggang dan sebuah senjata laras panjang. Mereka bergerak dengan boat yang ditekongi Adam dari Tanjung Uma menuju Selat Philips. Perairan sempit di Selat Melaka itu dikenal sebagai lahan subur para penyelundup dan sarang perompak. Diamdiam rombongan perahu Ali membuntuti spead boat patroli itu. Asril tak menyadari kalau musuh sedang mengintai dirinya. Saat tengah malam tiba, kapal patroli yang sedang melaju di perairan Sekupang itu tiba-tiba disergap oleh rombongan yang dipimpin Ali. "Jangan bergerak," teriak lantang dari Ali. Ia mengarahkan moncong senjata api di tangannya ke arah Asril. Dan bersamaan dengan merapatnya kapal penyergap itu, "pasukan" Ali sambil membawa pentungan besi berloncatan ke perahu patroli tersebut. Asril dan dua temannya kebingungan. Tarmadi, seorang anggota penghadang, langsung memukul Asril dengan pentungan. "Buk." Asril, walau terhuyung mencoba hendak melawan. Namun, rombongan Ali ramai-ramai menggebuki Asril, Agus, dan Adam. Hunjaman pentungan besi itu bergantian menghujani tubuh mereka. Setelah tiga orang di kapal patroli itu tewas, pengeroyok melemparkan mayat mereka ke tengah laut. Kendati sudah dua hari Asril, Agus, dan Adam, tidak kembali ke rumah atau melapor ke markasnya, toh tidak membuat Kapolres dan keluarga mereka kehilangan. Tampaknya mereka tak curiga, karena sudah biasa tugas patroli di tengah laut sampai tiga atau empat hari. Pihak kepolisian di sana baru berserabutan setelah menerima laporan dari nelayan yang menemukan tiga mayat terapung di perairan Sekupang. Dua mayat itu berpakaian dinas polisi. Saat petugas mengecek laporan tersebut, mereka menemukan tiga mayat tersebut mengambang. Semula, polisi menduga ketiga mayat itu tewas karena dihantam ombak. Kemudian mereka baru mencurigai ketiga mayat itu sebagai korban pembunuhan setelah melihat di tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan. Beberapa tekong kondang di Batam mulai diawasi. Dari hasil penyelidikan, polisi akhirnya menangkap Muhammad Ali di Batu Merah, akhir November lalu. Dalam pemeriksaan hari itu juga, ternyata Ali "menyanyi" dan menyebutkan enam temannya yang membantu melakukan pembunuhan. Dan hari itu juga keenam pelaku lainnya diciduk polisi. Di antara pelaku itu ada dua warga Malaysia. Keduanya ditangkap saat akan memberangkatkan TKI gelap dari Batam ke Johor. Kedua warga Malaysia itu ternyata kawan akrab Ali dalam menyelundupkan TKI. Mereka juga mengurus TKI yang mau pulang ke kampungnya di Indonesia. Asril yang sudah bertugas sepuluh tahun di perairan Batam, menurut sebuah sumber, selama ini dikenal punya reputasi kurang terpuji. Ia sering bergaul dengan para penyelundup TKI gelap. Setiap mereka memberangkatkan TKI gelap, para juragan itu konon tidak lupa menyelipkan uang ke kantong Asril. TKI yang pulang kampungnya juga menjadi santapannya. "Biasanya TKI gelap yang baru pulang dari Malaysia banyak uangnya dan tidak mau repot dengan urusan," kata seorang polisi, teman Asril. Besarnya kutipan, katanya, sekitar Rp 25 ribu per orang. Dan terkadang bisa lebih. Namun, yang bikin jengkel para tekong adalah kalau petugas ngotot minta jatah banyak, seperti dilakukan Asril. Menurut beberapa tekong, permintaan Asril memang sering terlalu tinggi. "Asril yang mereka benci, tapi Agus dan Adam ikut menerima getahnya," kata sumber tadi. Hanjoyo Putro, penasihat hukum dari lima tersangka, selain Ali, menolak tuduhan kliennya terlibat dalam kasus pembunuhan itu. "Mereka hanya dibawa oleh Ali," katanya. Mereka mengaku karena ada tekanan dari polisi. "Kelak dalam sidang mereka akan mencabut pengakuan itu," kata Hanjoyo Putro lagi. Sementara itu, Kejaksaan Negeri Batam, hingga pekan lalu, sudah dua kali mengembalikan berkas pembunuhan yang melibatkan tujuh tersangka itu kepada Polres Batam. "Masih ada yang harus disempurnakan," kata Kepala Kejaksaan Negeri Batam, Sudibyo Saleh. Ia menolak menyebutkan bagian yang harus diperbaiki itu. Kapolres Batam Letnan Kolonel Wenny Warau enggan mengomentari kasus yang menelan korban dua anak buahnya itu. "Saya sibuk, tidak ada waktu," katanya singkat, pekan lalu. Gatot Triyanto dan Affan Bey Hutasuhut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini