Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Peran Masyarakat dalam Mencegah Kekerasan Seksual

Masyarakat berperan penting mencegah kekerasan seksual terhadap anak. Partisipasi yang minim membuat anak rentan menjadi korban.

17 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi kekerasan terhadap anak. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Masyarakat berperan penting dalam mencegah kekerasan seksual terhadap anak.

  • Pemahaman tentang bentuk-bentuk kekerasan seksual penting dalam upaya pencegahan.

  • Anak korban kekerasan seksual rentan menjadi pelaku bila tidak mendapat penanganan secara dini.

Halo, perkenalkan, saya Luna. Minggu ini, saya membaca berita tentang anak-anak panti asuhan yang menjadi korban pencabulan. Pelaku pencabulan diduga adalah pemilik yayasan dan pengasuh di panti asuhan tersebut. Kekerasan seksual itu terjadi sejak lama, bahkan ada sejumlah korban yang saat ini sudah dewasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam berita yang saya baca, kasus kekerasan seksual itu terjadi akibat lemahnya pengawasan pemerintah. Selain itu, diduga ada pembiaran oleh masyarakat sehingga kasus ini terjadi secara berulang selama bertahun-tahun dan baru terungkap sekarang. Pertanyaan saya, dalam konteks kasus pencabulan di panti asuhan, apakah masyarakat memang memiliki peran dalam mencegah kekerasan seksual?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terima kasih.
Luna, Jakarta. 

Jawaban:

Halo, Kak Luna. Terima kasih banyak telah berkonsultasi ke Klinik Hukum Perempuan. Berita tentang kekerasan seksual di panti asuhan itu memang membuat kita terkejut. Apalagi korbannya lebih dari satu orang, dan semuanya adalah anak-anak penghuni panti. Padahal setiap anak berhak memperoleh pelindungan dari kejahatan seksual, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 huruf f Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau biasa ditulis UU Perlindungan Anak.

Berdasarkan hasil penyelidikan polisi, kasus kekerasan seksual itu terjadi di sebuah panti asuhan di Kota Tangerang, Provinsi Banten. Panti asuhan itu beroperasi tanpa izin sejak Mei 2006. Polisi telah menetapkan S sebagai tersangka. Dia adalah pemilik yayasan yang menaungi panti asuhan tersebut. Jumlah korban yang tercatat sebanyak 10 orang, yang semuanya adalah penghuni panti. 

Selain S, status tersangka diberikan kepada YB dan YS. Mereka adalah pengasuh dan pengurus panti. Adapun kekerasan seksual itu diperkirakan terjadi sejak 10 tahun lalu. 

Dalam sejumlah pemberitaan media massa, masyarakat di sekitar panti asuhan sebenarnya sudah lama mengetahui perilaku S yang menyimpang. Misalnya, S sering “pegang-pegang” bagian tubuh anak kecil dalam pengertian negatif. Masyarakat cenderung permisif terhadap perilaku S karena pemilik panti asuhan tersebut dikenal royal dan sering memberikan bantuan berupa uang serta bahan makanan. 

Pertanyaannya, apakah sikap masyarakat di sekitar panti asuhan itu disebut “pembiaran”? Lalu, bagaimana seharusnya masyarakat bersikap agar dapat memberikan pelindungan kepada anak dari kekerasan seksual? 

Dalam situasi ini, pola pembiaran yang dilakukan masyarakat ada kemungkinan terjadi karena:

-  Masyarakat belum memahami bentuk-bentuk kekerasan seksual sehingga perilaku menyimpang yang ditunjukkan oleh S dianggap bukan kekerasan seksual. Karena itu, masyarakat tidak mengambil tindakan pencegahan ataupun penanganan.

 - Adanya bias situasi. Masyarakat sebenarnya menyadari perilaku menyimpang yang ditunjukkan S mengarah pada kekerasan seksual. Namun, karena sikap dan kepribadian S yang dinilai baik, perilaku yang mengarah pada kekerasan seksual itu dikecualikan.

- Masyarakat menyadari sepenuhnya tentang perilaku S yang menyimpang dan mengarah pada kekerasan seksual. Namun mereka tidak punya cukup bukti untuk melaporkan S kepada pihak yang berwenang.

Pola pembiaran di atas diperburuk dengan pemahaman masyarakat yang masih minim tentang pelindungan anak. Padahal, berdasarkan Pasal 72 ayat 1 UU Perlindungan Anak, masyarakat berperan serta dalam pelindungan anak, baik secara perseorangan maupun kelompok.

Adapun bentuk pelindungan yang diberikan antara lain berupa melaporkan kepada pihak berwenang jika terjadi pelanggaran hak anak, melakukan pemantauan dan pengawasan, serta ikut bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pelindungan anak. 

Selain dalam UU Perlindungan Anak, peran masyarakat diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pada Pasal 85 undang-undang tersebut dinyatakan masyarakat dapat berpartisipasi dalam pencegahan, pendampingan, pemulihan, dan pemantauan terhadap tindak pidana kekerasan seksual. Bentuk partisipasi masyarakat itu salah satunya dengan menciptakan kondisi lingkungan yang ramah anak. 

Bentuk partisipasi lainnya adalah memberikan informasi segera jika menemukan tindak pidana kekerasan seksual. Informasi itu bisa disampaikan kepada aparat penegak hukum, lembaga pemerintah, dan lembaga non-pemerintah. Selain itu, masyarakat bisa berperan dalam memberikan dukungan untuk penyelenggaraan pemulihan korban.

Jika partisipasi masyarakat minim, kerentanan anak menjadi korban kejahatan seksual meningkat. Contohnya kasus yang terjadi di panti asuhan di Kota Tangerang itu. YB dan YS, pengurus panti asuhan yang telah ditetapkan sebagai tersangka, diduga pernah menjadi korban kekerasan seksual ketika mereka masih anak-anak. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual rentan menjadi pelaku ketika dewasa bila tidak mendapat penanganan secara dini. 

Lalu, bagaimana masyarakat bisa memberikan pelindungan kepada setiap anak agar terhindar dari kekerasan seksual?

- Pahami bentuk-bentuk kekerasan seksual. Dengan memahami bentuk kekerasan seksual, diharapkan kesadaran masyarakat meningkat untuk menciptakan kondisi lingkungan yang dapat mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan seksual.

- Pahami hak anak dan peran masyarakat dengan membangun komunikasi yang berkualitas dalam komunitas hidup bermasyarakat.

- Masyarakat dapat mendorong pemerintah daerah menjalankan fungsi pengawasan secara aktif. Pemerintah juga perlu mensosialisasi peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana kekerasan seksual. Budaya literasi tentang kekerasan seksual perlu juga ditingkatkan agar anggota masyarakat tidak menjadi korban atau pelaku.

Penting untuk dipahami, kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Perlu kerja sama dari berbagai pihak untuk menciptakan kondisi lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual 

 #KamiBersamaKorban.

Tutut Tarida
Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender

Suseno

Suseno

Lulus dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia pada 1998. Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini menempati posisi redaktur di desk Nasional Koran Tempo. Aktif juga di Tempowitness sebagai editor dan trainer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus