Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Rehabilitasi Gosse Aka

Seminar manfaat pelembagaan eksekusi grosse akta bagi dunia usaha, perbankan, dan lembaga keuangan lainnya, yang diadakan ikatan alumni Undip di jakarta. masih ditumpulkan MA. Para bankir menuntut.

3 Februari 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIAM-DIAM dunia perbankan ternyata menunggu sebuah fatwa dari Mahkamah Agung. Mereka berharap agar MA segera "menghidupkan" kembali kekuatan eksekutorial grosse akta, yang selama ini ditumpulkan peradilan tertinggi tersebut. Hal ini terungkap dalam seminar sehari tentang "Manfaat pelembagaan eksekusi Grosse Akta bagi dunia usaha, perbankan, dan lembaga keuangan lainnya" yang diadakan oleh Ikatan Alumni Universitas Dipenogoro di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa pekan lalu. Untuk melindungi kredit-kredit mereka, biasanya, pihak bank mengikat nasabah dengan perjanjian yang disebut grosse akta. Perjanjian semacam itu bisa dilaksanakan seketika, sebagaimana layaknya sebuah putusan hakim, seperti diatur pasal 224 HIR (Herziene Indonesische Reglement). Artinya, tanpa harus melalui proses gugatan perdata yang makan waktu lama, sebuah bank bisa saja melelang harta debiturnya yang lalai. Tapi, itu tadi, selama tujuh tahun ini "senjata ampuh pihak perbankan itu ditumpulkan Mahkamah Agung. Pada 1983, Ketua Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan, yang menetapkan agar pengadilan menunda setiap permohonan eksekusi dari grosse akta. Sebab, waktu itu, terasa perjanjian semacam itu sangat merugikan para debitur. Tentu saja, pihak perbankan kelimpungan akibat putusan itu. "Bagi pihak bank, mengefektifkan grosse akta kembali adalah hal yang mendesak," kata Direktur Utama Bank Duta Abdulgani. Karena, akta utang tersebut, katanya, ibarat kunci penyelamat dana masyarakat yang ada pada debitur yang lalai. Menurut bos Bank Duta ini, sebagai lembaga kepercayaan, bank harus mengamankan setiap rupiah yang dialirkan kepada para debitur. "Nah. bila debitur bandel, maka senjata ini dapat memaksa debitur melunasi seluruh utang dan bunganya," ujar Abdulgani. Tapi, mengapa "grosse akta" ini malah menjadi mandul? "Kuncinya ada pada politic will Pemerintah," kata seorang notaris, Mudofir Hadi. Menurut Mudofir, iklim deregulasi di bidang perbankan perlu diimbangi dengan perangkat pengaman dana-dana bank yang dialirkan ke masyarakat. "Bila debitur tak sanggup lagi memenuhi kewajiban, maka perlu upaya untuk mengembalikan dana itu segera," ujar Mudofir. Tapi, menurut Guru Besar Fakultas Hukum Undip Prof. Hapsoro Hadiwidjojo, "ditumpulkannya" kekuatan grosse akta itu oleh Mahkamah Agung adalah akibat terlalu "cerdik"-nya pihak perbankan dalam mengikat nasabahnya pada perjanjian kredit. Selain telah menandatangani grosse akta, yang berisi pengakuan utang, biasanya, pihak bank masih melengkapi perjanjian itu dengan materi perjanjian kredit, termasuk bunga. "Sebab itu, pengadilan akan menolak eksekusi langsung dari grosse akta tersebut," kata Hapsoro. Hanya saja, menurut Hapsoro, sudah sewajarnya MA menoleh kembali keputusan yang melarang eksekusi langsung grosse akta ini. Sebab, dalam praktek, sering dijumpai debitur yang plintat-plintut, tak mau memenuhi kewajibannya membayar kredit atau utangnya. Nah, dalam menghadapi debitur yang begini perlu grosse akta yang bisa langsung dieksekusi. "Jadi, hakim jangan terlampau kaku dalam menafsirkan keputusan MA itu," tegas bekas ketua Pengadilan Tinggi Jawa Tengah ini. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Saragih membantah bahwa rekan-rekannya sangat kaku menafsirkan keputusan itu. Buktinya, Saragih menunjuk keputusan Mahkamah Agung, tertanggal 27 September 1988, dalam perkara Windu Sugianto melawan Nona Mayangsari Tedjoseputro. "Putusan tersebut mengabulkan permohonan eksekusi langsung atas grosse akta pengakuan utang," kata Saragih. Padahal, dalam grosse tersebut diperhitungkan tambahan bunga dan denda, di samping utang pokoknya. Persoalannya, menurut ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional Sunaryati Hartono, selain menyehatkan dunia perbankan, pihak Pemerintah memang perlu melindungi debitur lemah. "Makna putusan MA itu untuk melindungi debitur yang lemah," kata Sunaryati. Lihat saja, lanjut Sunaryati, saat penandatanganan kredit, debitur, yang sering awam hukum, hanya menuruti apa saja yang tertera dalam perjanjian kredit yang dibuat pakar-pakar hukum di bank itu. Jadi, tak ada tawar-menawar lagi. Di samping itu, tambah Sunaryati, bila setiap kredit macet pada pengusaha lemah langsung dieksekusi, bagaimana mereka akan bisa maju. Dalam hal ini, peran bank sebagai mitra usaha tak boleh dilupakan. "Bank juga harus bisa mendidik pengusaha lemah dalam mengatur dananya," kata Sunaryati. Sidartha Pratidina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus