Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepeda motor itu menjadi satu-satunya kendaraan yang terlihat mampir mengisi tangkinya ke stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Total di Jalan Cideng Timur, Jakarta Pusat. Padahal Rabu pekan lalu itu jalan raya tengah dipenuhi kendaraan saat jam pulang kantor.
Tak sampai lima menit, stasiun pengisian bahan bakar milik perusahaan asal Prancis yang baru dua bulan beroperasi itu kembali lengang. Dari empat pompa terpasang, hanya satu yang difungsikan. Danuri, petugas yang berjaga sejak pukul 12.00, masih sempat duduk-duduk sejenak sebelum pelanggan lain datang.
Tak sampai dua kilometer dari situ, di ruas jalan yang sama, suasana tampak berkebalikan. Motor dan mobil antre tak putus-putus di SPBU milik PT Pertamina. Kebanyakan dari mereka menunggu giliran membeli solar atau bensin bersubsidi, dua produk yang tak dijual di SPBU yang dikelola perusahaan asing, seperti Total, Shell, juga Petronas.
BBM subsidi yang terus digelontorkan dan jatah penyalurannya yang dimenangi Pertamina membuat para pemain asing di lahan eceran ini benar-benar diuji. Sejak bisnis hilir bahan bakar minyak dibuka pada 2005, mereka praktis terus-menerus beroperasi dengan merugi. Seiring dengan meningkatnya harga minyak dunia, makin sepi pula pompa bensin mereka.
Pemain yang tak kuat akhirnya lempar handuk, seperti Petronas, yang secara bertahap mulai menutup 19 SBPU mereka di Jakarta dan 15 lainnya di Medan sejak akhir Agustus hingga Desember tahun lalu. Aset SPBU milik perusahaan asal Malaysia itu kini mulai dilelang. Sembilan di antaranya akan diambil alih Pertamina. "Kami ikut tender dan dapat sembilan lokasi SPBU dan satu aset tanah. Lokasinya strategis," kata Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Hanung Budya, Jumat dua pekan lalu.
Karena masih dalam proses, Hanung enggan menyebut nilai transaksinya. Yang jelas, jika akuisisi beres, aset bekas Petronas akan segera menambah jumlah SPBU berlogo Pertamina, yang kini tercatat ada 5.027 unit di seluruh Tanah Air. Dari jumlah itu, 3.252 unit di antaranya juga menjual solar dan bensin yang lebih berkualitas dan tak disubsidi, sehingga Pertamina masih menguasai 80 persen total pangsa pasar produk tersebut.
Petronas belum bisa memberikan penjelasan tentang rencana mereka setelah menyerah. Wisnu Widijoko, yang sebelumnya menjabat Kepala Divisi Bisnis Ritel Petronas Niaga Indonesia, mengatakan sudah beralih ke divisi lain dan belum ada pejabat baru yang mengisi pos yang ia tinggalkan. "Soal SPBU belum ada yang bisa kasih komentar," ujarnya.
Lain Petronas, lain pula strategi yang diambil Shell dan Total. Ketika membuka SPBU ke-15 yang berlokasi di Pasar Minggu dan yang ke-16 di Cideng Timur, Managing Director dan CEO Total Oil Indonesia Pascal Rigaud mengaku optimistis dengan penyaluran BBM nonsubsidi yang lebih berkualitas. "Kami juga melihat bisnis ini akan bagus di masa mendatang," kata Manajer Komunikasi Shell Indonesia Inggita Notosusanto.
Shell, yang mengoperasikan SPBU pertamanya di Indonesia pada awal November 2005, kini sudah memiliki 72 stasiun. Apa yang terjadi pada Petronas tak menyurutkan ekspansi yang dilakukan perusahaan asal Belanda ini. "Modal untuk membangun SPBU tidak kecil. Kalau tak yakin, pasti tidak akan kami lakukan," Inggita menambahkan. "Maunya sampai seratusan unit."
Para pemain asing ini mencoba bertahan sambil menunggu waktunya tiba, ketika subsidi bahan bakar minyak berkurang atau dihapus sama sekali. Pada saat itulah mereka berharap akan bisa bersaing secara lebih terbuka menghadapi dominasi Pertamina.
Y. Tomi Aryanto, Amandra Mustika, Bernadette Christina
Untung Susut Pengusaha Pompa
PEMILIK delapan stasiun pengisian bahan bakar umum yang bekerja sama dengan Pertamina itu menghela napas panjang melihat laporan keuangan perusahaannya. Dalam sebulan terakhir, salah satu stasiunnya di Jawa Tengah kehilangan pendapatan tak kurang dari Rp 60 juta. Setelah menghitung, ia berkesimpulan biang kerugian itu adalah penyusutan volume minyak yang ia terima dari depot Pertamina.
Ia maklum bila penyusutan minyak karena penguapan. Tapi angka kehilangan itu jadi terasa tak normal jika melebihi batas toleransi, yaitu 0,3 persen atau 60 mililiter per 20 liter dalam penjualan. Faktanya, angka penyusutan yang dialami SPBU-nya lebih besar dari itu. "Bisa 0,8-1 persen," kata pengusaha yang menolak disebut identitasnya ini, Selasa pekan lalu.
Dia mengeluh, bisnis ini tak segurih saat ia memulainya sembilan tahun lalu. Margin laba yang jadi jatahnya selama delapan tahun terakhir boleh dibilang tak berubah. "Hanya Rp 195 untuk setiap liter BBM subsidi yang disalurkan," ujarnya. Pada saat yang sama, kata dia, beban operasional bertambah karena kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan upah minimum, serta tuntutan Pertamina agar pelayanan kepada pelanggan selalu prima.
Berharap mereguk untung dari BBM nonsubsidi juga sulit. Laba akan bergantung pada fluktuasi harga minyak dunia. "Ruginya lebih besar. Permintaannya juga rendah," katanya.
Ketua Umum Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Eri Purnomohadi membenarkan besaran volume susut BBM subsidi yang dialami pengusaha itu. "Susutnya 0,8-1 persen," ujarnya.
Dari mesin dispenser ke tangki mobil pelanggan, kata dia, susut tidak lebih dari 0,3 persen karena ketatnya audit internal rutin dari perusahaan. Namun, bila dihitung penguapan selama disimpan di tangki, saat pengiriman, dan penyusutan di depot, angkanya bisa membengkak dan merugikan pemilik SPBU. "Ini banyak dikeluhkan pengusaha dalam rapat bersama Pertamina," ucap Eri.
Selain susut akibat proses kimiawi, kata Eri, pengusaha mencurigai kemungkinan mobil pengangkut yang "kencing di jalan". Ini bisa membuat angka susut lebih besar. Direktur Bahan Bakar Minyak Badan Pengawas Hilir Minyak dan Gas Djoko Siswanto pernah menemukan adanya selisih 1,740 kiloliter BBM subsidi yang tak pernah sampai ke SPBU di Kalimantan Selatan.
Pertamina tak menampik adanya potensi BBM subsidi diselewengkan selama distribusi dari depot ke SPBU. Namun, menurut Suhartoko, Wakil Presiden Senior Bidang Distribusi dan Pemasaran BBM Pertamina, pengelola SPBU bisa melayangkan komplain bila curiga terhadap sopir dan muatannya. "Telepon saja ke depotnya, minta ganti mobil pengangkut," katanya.
Kerugian yang terjadi di SPBU, ujar dia, bisa dikurangi dengan menjaga tekanan dalam tangki penyimpanan dan meningkatkan efisiensi mesin dispenser. "Kami paham mengelola SPBU saat ini lebih sulit dengan tingginya persaingan," katanya. Suhartoko memastikan takaran di SPBU sesuai dengan slogan "Pasti Pas" yang mereka usung. "Auditor independen mengecek takaran (tera) secara berkala."
Amandra Mustika Megarani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo