Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada mulanya Moch. Bachrul Ulum bolak-balik mengelak setiap kali Tempo bertanya tentang grup Loli Candy's yang dia kelola di jejaring Facebook. "Saya enggak aktif, enggak pernah posting apa-apa," kata Bachrul setelah pemeriksaan di Kepolisian Daerah Metro Jaya, Selasa pekan lalu.
Lelaki 25 tahun ini baru mengakui perbuatannya ketika seorang penyidik yang sebelumnya memeriksa dia angkat bicara. "Terus, yang posting foto anak tetangga itu siapa?" ujar si penyidik. Foto anak perempuan dengan pelbagai pose itu diunggah Bachrul di grup Loli Candy's pada 23 Februari lalu. Pada kolom keterangan foto, Bachrul menyebut anak berusia 5 tahun itu sebagai pacarnya. Ia juga menulis pernah berhubungan seks dengan si anak.
Tim Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya mencokok Bachrul, yang memiliki nama alias Wawan Snorlax (Snorlax diambil dari nama monster tambun dalam permainan Pokémon), di rumahnya di Malang, Jawa Timur, Kamis dua pekan lalu.
Wawan adalah salah seorang administrator Loli Candy's. Grup Facebook itu menjadi sorotan justru setelah "tutup usia". Kelompok beranggotakan 7.000 orang ini diblokir karena menyebarkan konten pornografi anak-anak berusia 2-10 tahun.
Polisi telah menangkap tiga orang kawan Wawan yang juga admin Loli Candy's. Dua di antaranya masih berusia 17 tahun. Mereka adalah Siha--bukan nama sebenarnya--dan seorang lelaki bernama alias T-Day. Tersangka lain adalah Dede Sobur, 22 tahun.
Polisi sudah melimpahkan berkas perkara Siha dan T-Day ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada Kamis pekan lalu. Menurut Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Wahyu Hadiningrat, penyidikan atas keduanya didahulukan karena mereka masih di bawah umur.
Wahyu menerangkan, tersangka Wawan dan T-Day diduga tak hanya terlibat pornografi di media sosial. "Keduanya diduga melakukan tindak kekerasan seksual terhadap anak," kata Wahyu, Selasa pekan lalu.
Berdasarkan penyidikan polisi, Wawan diduga mencabuli enam anak kecil. Tiga anak telah mengaku menjadi korban Wawan. Sisanya masih diselidiki. Sedangkan T-Day diduga mencabuli sebelas anak. Namun baru enam anak--dengan rentang usia 4-8 tahun--yang terkonfirmasi. Seorang di antaranya keponakan T-Day yang tinggal di Bogor, Jawa Barat.
Wawan dan T-Day juga merekam sebagian perbuatan mereka, kemudian menyebarkannya ke grup Facebook dan WhatsApp. Dalam beberapa video yang sempat ditunjukkan polisi, tersangka T-Day menuliskan pesan untuk siapa video tersebut ditujukan. Dalam video lain dia malah menantang anggota grup untuk meniru perbuatannya.
Polisi mencatat ada sekitar 400 video porno dengan obyek anak-anak yang beredar di grup tersebut. Adapun jumlah foto porno yang beredar, polisi tak sempat menghitung berapa persisnya. "Bisa di atas 50 ribu," ujar Wahyu.
Permintaan membuat grup Facebook itu datang dari forum percakapan WhatsApp bernama "Indonesia Candy's" pada akhir September 2016. "Anggota grup meminta saya membuat grup Facebook agar bisa muat banyak member," kata Wawan. Tak lama kemudian, lahirlah grup Loli Candy's.
Grup WhatsApp memang hanya bisa menampung 256 anggota. Sedangkan grup Facebook anggotanya tak terbatas. Masalahnya, Facebook juga aktif memblokir grup-grup penyebar konten pornografi.
Untuk mengakali pemblokiran, Wawan dkk tidak langsung mengunggah gambar utuh. Ketika ada yang mengirim gambar vulgar, admin grup lebih dulu menyensornya dengan menutupi bagian organ vital. Namun mereka akan memasukkan tautan untuk menuju situs asli yang menyediakan gambar tersebut.
Tautan situs pun tak dimasukkan mentah-mentah ke Facebook. Wawan dkk membelokkan dulu tautan itu ke situs ShtMe.co. Di laman web itulah tautan bermuatan pornografi "diperpendek". Selanjutnya, tautan yang sudah diperpendek baru dimasukkan ke grup Facebook.
Dengan memutar tautan ke ShtMe.co lebih dulu, pengunggah tautan juga mendapat keuntungan tambahan berupa bayaran untuk setiap klik (clickpay). Pengunggah mendapat Rp 12-20 dari setiap orang yang mengklik tautan tersebut. Uang virtual itu selanjutnya akan terakumulasi di akun si pengunggah yang terdaftar di ShitMe.co. Uang itu bisa dicairkan dalam bentuk pulsa telepon.
Sepandai-pandai Wawan menyamarkan jejak, radar polisi berdentang juga. Pada medio Januari lalu, tim Direktorat Kejahatan Cyber Polda Metro Jaya menggelar patroli rutin di media sosial. "Sistem patroli kami menemukan grup Facebook yang mengeksploitasi anak secara seksual," ujar Wahyu. Ia lantas memerintahkan anak buahnya untuk masuk ke grup tersebut.
Tim Kejahatan Cyber kemudian membuat beberapa akun anonim agar bisa bergabung dengan grup itu. "Kami menyamar seolah-olah suka dengan konten pornografi anak-anak," kata seorang penyidik.
Ada beberapa syarat untuk masuk ke grup. Antara lain calon anggota harus mengirim beberapa konten porno anak ke nomor WhatsApp admin yang tertera di laman grup. Setelah masuk, anggota grup wajib aktif mengirimkan gambar atau video. Jika anggota pasif, admin akan mengeluarkannya dari grup.
Meski aturannya terkesan ketat, penyidik yang menyamar tak kesulitan bergabung dengan Loli Candy's. "Forum itu lebih cair dibanding forum serupa lainnya," kata si penyidik. Tim Kejahatan Cyber hanya butuh dua hari untuk diterima sebagai anggota grup di "dunia gelap" Internet itu.
Di dalam grup, penyidik polisi tak hanya menyisir foto dan video. Polisi juga mencatat testimoni anggota grup. Salah satu member, misalnya, mengatakan tautan yang diunggah di grup Loli Candy's sangat mudah diunduh. "Domainnya tidak berlapis-lapis dan tidak membutuhkan password," kata penyidik lainnya.
Karena aksesnya lebih mudah dibanding grup lain, jumlah member Loli Candy's berkembang pesat. Beberapa anggota terdeteksi berasal dari luar negeri. Ketika polisi membongkar forum ini pada medio Maret lalu, tercatat ada 7.497 anggota yang masih aktif.
Konten yang diunggah anggota Loli Candy's tak melulu foto atau video vulgar. Anggota kelompok ini juga mengunggah gambar anak-anak di sekitar mereka. Beberapa gambar anak kecil diambil di tempat umum, seperti obyek wisata dan pusat belanja. Ada pula foto yang dicomot dari akun media sosial lain.
Wawan sendiri, misalnya, pernah mengunggah foto anak-anak yang tengah berlibur di obyek wisata Goa Cina, Malang. Ada tujuh foto anak yang sedang bermain di pantai yang diunggah. Satu gambar menunjukkan seorang anak berusia sekitar 6 tahun yang tengah asyik membuat istana pasir. Gambar lain menunjukkan bocah yang digendong orang tuanya. Wawan tak lupa memberi keterangan foto: "Dunia Indah dengan Loli".
Setelah diterima sebagai "member", tim polisi mengarahkan teropong ke akun Facebook pengelola grup tersebut. Polisi mempelajari profil tiap admin. Hasilnya, polisi dengan mudah menangkap tersangka Siha, T-Day, dan Dede. "Ketiga orang ini meninggalkan banyak jejak pribadi di Facebook," kata seorang penyidik.
Polisi bekerja lebih "berkeringat" ketika memburu Wawan. Pelacakan jejak protokol Internet alias IP address hanya menuntun polisi ke Kota Malang. Tak ada petunjuk lain yang lebih spesifik. Di dunia maya, Wawan tak banyak mengumbar profil pribadinya.
Penyidik menemukan petunjuk yang lebih jelas dari sebuah potret seorang anak kecil. Wawan rupanya mengambil foto itu dari balik jendela secara diam-diam. Pada foto itu, sebuah sepeda motor tampak terparkir di dekat si anak. Nah, pelat nomor kuda besi itulah yang menjadi petunjuk lokasi Wawan.
"Kami pantau berhari-hari agar tak salah orang," ujar seorang penyidik. Itu pun polisi hampir terkecoh karena foto wajah Wawan di Facebook sudah diedit semua. "Di foto, dia keliatan lebih ganteng daripada aslinya," kata si penyidik.
Setelah mencokok Wawan tanpa perlawanan, polisi mulai menelusuri jejak para korban. Petunjuk awal datang dari telepon pintar milik Wawan. Tapi kali ini polisi terhambat oleh sikap tertutup keluarga korban. Jangankan melapor, orang tua korban umumnya tidak percaya bahwa anak mereka menjadi target penyuka pornografi anak atau bahkan kaum pedofil. "Butuh waktu berhari-hari untuk mendekati keluarga korban," ujar Wahyu.
Menurut Wahyu, keluarga umumnya tak menaruh curiga karena pendekatan para tersangka kepada korban sangat halus. Pelaku tak pernah menunjukkan sikap mencurigakan. Mereka membujuk anak-anak dengan pelan-pelan. Iming-iming membelikan jajanan atau mengajak jalan-jalan merupakan modus tersangka untuk memperdaya calon korban.
Setelah berhasil mendekati calon korban, menurut penelusuran polisi, pelaku mengenalkan mereka dengan adegan-adegan seks lewat video. "Sehingga korban menganggap hal tersebut biasa," kata Wahyu. "Mereka tak pernah mengancam korban."
Polisi mencurigai kelompok Wawan bertalian dengan jaringan "predator anak-anak" internasional. Indikasinya, dari telepon seluler Wawan dan T-Day, polisi menemukan beberapa grup WhatsApp penyuka porno genre anak-anak dari berbagai belahan dunia.
Sedikitnya, Wawan dan T-Day bergabung dengan sebelas grup WhatsApp mancanegara. Domainnya antara lain terdeteksi berada di Peru, Argentina, Kolombia, dan El Salvador. Rata-rata grup tersebut beranggotakan 100-200 orang.
Salah satu grup WhatsApp berdomain Indonesia memiliki anggota 102 orang. Polisi masih menelusuri anggota grup WhatsApp "Indonesia Candy's" itu. Pekan lalu, polisi menangkap anggota grup bernama Aldi Juwadi. Warga Bekasi, Jawa Barat, ini terlacak karena pernah berkomunikasi langsung dengan Wawan.
Aldi membenarkan dia aktif di grup Loli. "Saya memang suka genre ini," katanya Jumat pekan lalu. Namun Aldi membantah berbagi konten pornografi anak melalui grup tersebut.
Meski masih lamat-lamat, polisi membaca tanda bahaya yang lebih besar. Seorang anggota grup WhatsApp dari luar negeri "memesan" anak kecil di Indonesia. Pesan itu bunyinya kurang-lebih, "Tolong, titip anak ini ya. Saya mau ke Indonesia." Polisi, menurut Wahyu, masih menyelidiki apakah pesan itu sudah berujung pada "transaksi" atau belum.
Untuk membatasi pergerakan jaringan pedofil antarnegara itu, Polda Metro Jaya menggandeng Biro Investigasi Federal Amerika (FBI). "Soalnya, kami juga mendapat peringatan bahwa Indonesia rawan pedofilia internasional," ujar Wahyu.
Syailendra Persada, Linda Trianita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo