AKHIRNYA pengadilan meletakkan tertuduh Askari bin
Mudrawisastra, bekas Lurah Angsana, di atas angin. Beberapa
menit sebelum menjatuhkan vonisnya, Pengadilan Negeri Pandeglang
yang dipimpin Hakim Soehoedi Soerjodiputro, pada sidang ke-26
yang jatuh pertengahan bulan ini, sudah menunjukkan
tanda-tandanya.
Dua buah penetapan dibacakan. Yang pertama, dengan alasan "tak
lagi dipandang perlu", tertuduh dilepaskan dari penahanan
sementara. Lalu saksi Achmad Djaja bin Mardja, pensiunan guru
yang mulai membongkar kasus ini oleh hakim diduga berat telah
memberikan keterangan palsu.
Selanjutnya adalah uraian majelis hakim yang membuat terdakwa
enak duduk di kursinya. Semua tuduhan Jaksa J.R. Simamora, yang
berkenaan dengan kejahatan korupsi, berguguran. Hakim
berpendapat tuntutan jaksa, yang meminta agar Askari dihukum 3
tahun penjara dan denda Rp 3 juta, tidak cukup beralasan.
Sebab pengadilan menilai jaksa tak bisa membuktikan ke-6
tuduhannya. Seperti: menggelapkan dana bantuan Presiden dan
swadaya masyarakat (untuk pembangunan gedung sekolah), memungut
uang dari rakyat seenaknya, merampas tanah orang, menggelapkan
surat-surat tanah, menjadi pemborong bangunan (sementara ia
adalah pejabat pengawas proyek) dan memberikan sogok kepada
pejabat atasannya.
Gedung SD Inpres yang dipersoalkan jaksa, menurut hakim,
terbukti telah selesai dibangun dan sudah pula dimanfaatkan.
Jika benar tuduhan jaksa, dananya digelapkan tertuduh, hakim
mempertanyakan lalu gerangan siapa dermawan yang menyumbang?
Jaksa Pancasila
Memungut uang dari rakyat menurut hakim memang bisa disebut
"pungli". Tapi "sumbangan" yang dikumpulkan masyarakat untuk
membantu calon haji, lanjut hakim, secara tradisional wajar
saja. Dan.begitulah yang terjadi di Angsana. Apalagi para saksi
menyatakan sumbangannya kepada lurahnya (waktu itu), seperti
dinilai hakim, "diberikan secara sukarela--ridho."
Pun soal perampasan tanah tak terlihat oleh hakim. Yang
dilakukan Askari, pensiunan polisi yang menjabat lurah di
Angsana hampir 16 tahun (mulai 1963 sampai berhenti 1979),
adalah menjalankan wewenang distribusi penggunaan tanah garapan.
Dan semuanya, nilai hakim, berjalan cukup tertib. Yang kurang
dilakukan oleh Pak Lurah, yang menyandang beberapa tanda jasa,
hanyalah memberi penerangan kepada rakyatnya yang merasa
tanahnya terampas.
Adapun tanah garapan Achmad Djaja, menurut hakim, ternyata tidak
dirampas oleh tertuduh. Dari peninjauannya ke Angsana, 19 Maret
lalu (yang aneh waktu itu jaksa dan Achmad Djaja sendiri tidak
hadir), majelis hakim berkesimpulan: sawah dengan padinya yang
telah menguning masih tetap dikuasai oleh pemiliknya.
Karena itu hakim menghendaki agar Achmad, yang pernah membawa
beberapa warga Angsana membeberkan perihal lurah mereka ke
DPR-RI di Jakarta (TEMPO, Nasional, 21 April 1979), diperiksa
sebagai saksi palsu.
Satu-satunya kait jaksa yang mengena adalah tuduhan menggelapkan
atau menghilangkan surat tanah milik penduduk. Yaitu milik saksi
Encun dan Sawira. Itu saja untuk hukuman 1 tahun penjara yang
diputuskan hakim.
Apa kata jaksa? "Maunya sih naik banding," ujar Jaksa Simamora.
"Tapi sebagai "jaksa Pancasila" saya harus konsultasi kepada
atasan lebih dulu . . . " Para pembela dari BPKH (Badan
Pembelaan dan Konsultasi Hukum) MKGR, seperti dikatakan Tjut
Megabudiman, mungkin akan menerima saja keputusan hakim yang
dianggapnya cukup memuaskan. Sebab perkara Angsana, seperti
dikatakan dalam pembelaannya, ternyata tidak sebesar seperti
digemparkan atau digembar-gemborkan. "Setelah sidang berjalan,"
kata Megabudiman, "kasus ini ternyata jadi mengempis . . . "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini