Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Batak ke sidang raya

Dewan gereja wilayah sum-ut/aceh mengajukan masalah adat batak ke sidang raya dgi ke-9, upacara adat dinilai membahayakan iman dan batak agaknya hanya satu contoh.

26 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK Nommensen, misionari Kristen asal Jerman, membaptisikan raja Pontas Lumbantobing pada 1865, usaha "mengikis" budaya Batak tradisional sebenarnya sudah dimulai. Dan sekarang, lebih satu abad kemudian, persaingan keras agama dan adat tetap merupakan problem. Dewan Gereja-Gereja Wilayah (DGW) Sumatera Utara/Aceh misalnya merencanakan, dalam Sidang Raya IX DGI (yang dibuka Presiden di Tomohon 19 Juli) mengajukan masalah itu sebagai salah sebuah topik. Sebulan sebelumnya, 23-27 Juni, dalam sidang di Pematang Siantar, pembicaraan sekitar adat itu sampai kepada kesimpulan untuk memberi tugas Badan Pekerja Harian (BPH)-nya mengeluarkan sebuah 'Surat Penggembalaan' Masalahnya berbagai usaha penggalian kebudayaan Batak yang dewasa ini digalakkan, dikhawatirkan akan membangkitkan kembali ajaran animisme. Bahkan seperti dikatakan Pendeta F. Hutapea. Sekretaris Umum DGW. Banyaknya upacara sakral yang dibangkikan kembali itu telah menyebabkan keresahan pula di kalangan jemaat. Yang sakral-sakral itu memang berlangsung selama kegiatan memperingati 73 tahun meninggalnya Sisingamana, aja XII. Di Balige 19 Juni dilaksanakan upacara mamiahi hoda, dan seminggu kemudian di Sionom Hudon mangalahat horho. Darah Batak Tak heran bila majalah bulanan Immanuel, dari Huria Kristen Batak Protestan (IIKBP), 9 Juni yang lalu menulis dalam tajuknya antara lain--setelah menyatakan penghargaan kepada Sisingamangaraja dan terimakasih kepada pemerintah "Tetapi kita perlu berhatihati akan bisikan yang akan membeloklan kepercayaan kita." Maka menjelang upacara di Sionom Hudon itu, di gereja-gereja HKBP di Sumutera Utara pun dibacakan pengumuman (ting-ting) yang bernada mengingatkan "bahaya Penggalian" itu. Terasa keras, memang. Nommensen sendiri ketika membaptiskan raja latak pertama yang masuk Kristen di Silindung itu, merasa perlu mengganti musik tradisional gondang dengan terompet. Dan sampai 1960-an, Gereja Protcitan boleh dibilang tetap berteguh pada ancar-ancar itu. Seorang Kristen bisa dikeluarkan dari gereja kalau terbukti melakukan upacara tradisional, terutama mangokkal holi (memindahkan malam leluhur, di bawah pimpinan seorang datu dan dengan biaya besar) dan gondang, yakni pemujaan terhadap Ompu Mulajadi Nabolon, semacam tuhan. Soalnya, yang disebut adar tradisional Batak itu umumnya memang "ritus keagamaan yang animistis", yang "kalau dibiarkan, kekristenan akan berau animisme" -- seperti kata Pendeta Hutapea pula. Paling akhir Gereja sedikit melunak mulai 1960-an misalnya, gondang sudah bisa masuk sampai ke halaman gereja. Dengan syarat: pimpin upacara bukan seorang datu (dukun), tapi pendeta. Para pendeta bahkan boleh menghadiri, sekaligus mengawasi, upacara mangokkal holi. Tulang-belulang leluhur dibongkar, dipindahkan ke tempat yang dimaui, Selesai. Tonggo-tonggo (mantra) ang biasa dipimpin datu, dihilangkan. Dan upacara mangokkal boli memang menjadi mahin terkenal akhir-akhir ini. Tugu-tugu nenek-moyang dibangun di mana-mana--padahal dalam konperensi DGI tentang 'Gereja dan masyarakat', 1967 di Parapat, pembanguan tugu itu sudah dituding sebagai pendorong masyarakat kembali ke agama tradisional. Bahkan Sidang Raya DGI di Makasar, 1972, setelah mendengar laporan gereja-gereja anggota, alhirnya menyerahkan masalah besar agama & adat ini (yang tidak hanya berkasus Batak, meski mungkin salah satu yang paling khas) kepada Lembaga Penelitian dan Studi (LPS) DGI. Sampai datang masa Sidang Raya IX di Tomohon sekarang ini. Kalangan adat, sebaliknya, boleh menganggap sikap lembaga agama agak kaku. Jangan-jangan orang nanti malah meninggalkan Kristen sama sekali--paling tidak begitulah menurut S.M. Simanjuntak (82 tahun), tokoh adat di Balige. Ia menceritakan, bahwa di Samosir sampai terjadi perpindahan agama lantaran adat dari Kristen, ke Katolik yang rupanya dimulai "lebih lunak". Perpindahan itu memang tak ditolak adanya oleh kedua pihak. Hanya saja balk menurut Pater M. Manalu dari leuskupan Agung Medan, maupun sang Sekretaris DCW Sum-Ut/Aceh "kalau pun ada, jumlah yang pindah itu kecil saja." Dalam pada itu G.M Pangabean, Ketua lembaga Sisingamangaraja XII, dalam upacara di Sionom Hudon temo hari terpaksa berpidato begini "Bapak pastor dan pendeta di sini, sekali lagi saya tegaskan, tak ada maksud kami untuk menjadikan orang Batak yang sudah Kristen ini menjadi animis". Maka pesta pun dimeriahkan dengan mangalahat horbo. Seekor kerbau ditambat di tengah lapangan. Pawang membawa sesajen, membaca tonggo-tonggo. Gondang yang monolon ditabuh terus-menerus, belasan orang menari tor-tor mengitari sang kerbau. Kemudian, demi Kristus--seorang wanita tua penari mulai kesurupan. Dan seterusnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus