SEJAK Nommensen, misionari Kristen asal Jerman, membaptisikan
raja Pontas Lumbantobing pada 1865, usaha "mengikis" budaya
Batak tradisional sebenarnya sudah dimulai.
Dan sekarang, lebih satu abad kemudian, persaingan keras agama
dan adat tetap merupakan problem. Dewan Gereja-Gereja Wilayah
(DGW) Sumatera Utara/Aceh misalnya merencanakan, dalam Sidang
Raya IX DGI (yang dibuka Presiden di Tomohon 19 Juli) mengajukan
masalah itu sebagai salah sebuah topik.
Sebulan sebelumnya, 23-27 Juni, dalam sidang di Pematang
Siantar, pembicaraan sekitar adat itu sampai kepada kesimpulan
untuk memberi tugas Badan Pekerja Harian (BPH)-nya mengeluarkan
sebuah 'Surat Penggembalaan' Masalahnya berbagai usaha
penggalian kebudayaan Batak yang dewasa ini digalakkan,
dikhawatirkan akan membangkitkan kembali ajaran animisme.
Bahkan seperti dikatakan Pendeta F. Hutapea. Sekretaris Umum
DGW. Banyaknya upacara sakral yang dibangkikan kembali itu
telah menyebabkan keresahan pula di kalangan jemaat.
Yang sakral-sakral itu memang berlangsung selama kegiatan
memperingati 73 tahun meninggalnya Sisingamana, aja XII. Di
Balige 19 Juni dilaksanakan upacara mamiahi hoda, dan seminggu
kemudian di Sionom Hudon mangalahat horho.
Darah Batak
Tak heran bila majalah bulanan Immanuel, dari Huria Kristen
Batak Protestan (IIKBP), 9 Juni yang lalu menulis dalam tajuknya
antara lain--setelah menyatakan penghargaan kepada
Sisingamangaraja dan terimakasih kepada pemerintah "Tetapi kita
perlu berhatihati akan bisikan yang akan membeloklan
kepercayaan kita."
Maka menjelang upacara di Sionom Hudon itu, di gereja-gereja
HKBP di Sumutera Utara pun dibacakan pengumuman (ting-ting)
yang bernada mengingatkan "bahaya Penggalian" itu.
Terasa keras, memang. Nommensen sendiri ketika membaptiskan raja
latak pertama yang masuk Kristen di Silindung itu, merasa perlu
mengganti musik tradisional gondang dengan terompet.
Dan sampai 1960-an, Gereja Protcitan boleh dibilang tetap
berteguh pada ancar-ancar itu. Seorang Kristen bisa dikeluarkan
dari gereja kalau terbukti melakukan upacara tradisional,
terutama mangokkal holi (memindahkan malam leluhur, di bawah
pimpinan seorang datu dan dengan biaya besar) dan gondang, yakni
pemujaan terhadap Ompu Mulajadi Nabolon, semacam tuhan. Soalnya,
yang disebut adar tradisional Batak itu umumnya memang "ritus
keagamaan yang animistis", yang "kalau dibiarkan, kekristenan
akan berau animisme" -- seperti kata Pendeta Hutapea pula.
Paling akhir Gereja sedikit melunak mulai 1960-an misalnya,
gondang sudah bisa masuk sampai ke halaman gereja. Dengan
syarat: pimpin upacara bukan seorang datu (dukun), tapi
pendeta. Para pendeta bahkan boleh menghadiri, sekaligus
mengawasi, upacara mangokkal holi. Tulang-belulang leluhur
dibongkar, dipindahkan ke tempat yang dimaui, Selesai.
Tonggo-tonggo (mantra) ang biasa dipimpin datu, dihilangkan.
Dan upacara mangokkal boli memang menjadi mahin terkenal
akhir-akhir ini. Tugu-tugu nenek-moyang dibangun di
mana-mana--padahal dalam konperensi DGI tentang 'Gereja dan
masyarakat', 1967 di Parapat, pembanguan tugu itu sudah dituding
sebagai pendorong masyarakat kembali ke agama tradisional.
Bahkan Sidang Raya DGI di Makasar, 1972, setelah mendengar
laporan gereja-gereja anggota, alhirnya menyerahkan masalah
besar agama & adat ini (yang tidak hanya berkasus Batak, meski
mungkin salah satu yang paling khas) kepada Lembaga Penelitian
dan Studi (LPS) DGI. Sampai datang masa Sidang Raya IX di
Tomohon sekarang ini.
Kalangan adat, sebaliknya, boleh menganggap sikap lembaga agama
agak kaku. Jangan-jangan orang nanti malah meninggalkan Kristen
sama sekali--paling tidak begitulah menurut S.M. Simanjuntak (82
tahun), tokoh adat di Balige. Ia menceritakan, bahwa di Samosir
sampai terjadi perpindahan agama lantaran adat dari Kristen, ke
Katolik yang rupanya dimulai "lebih lunak".
Perpindahan itu memang tak ditolak adanya oleh kedua pihak.
Hanya saja balk menurut Pater M. Manalu dari leuskupan Agung
Medan, maupun sang Sekretaris DCW Sum-Ut/Aceh "kalau pun ada,
jumlah yang pindah itu kecil saja."
Dalam pada itu G.M Pangabean, Ketua lembaga Sisingamangaraja
XII, dalam upacara di Sionom Hudon temo hari terpaksa berpidato
begini "Bapak pastor dan pendeta di sini, sekali lagi saya
tegaskan, tak ada maksud kami untuk menjadikan orang Batak yang
sudah Kristen ini menjadi animis".
Maka pesta pun dimeriahkan dengan mangalahat horbo. Seekor
kerbau ditambat di tengah lapangan. Pawang membawa sesajen,
membaca tonggo-tonggo. Gondang yang monolon ditabuh
terus-menerus, belasan orang menari tor-tor mengitari sang
kerbau. Kemudian, demi Kristus--seorang wanita tua penari mulai
kesurupan. Dan seterusnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini