Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Antara Si Gadis Dan Si Gondrong

Inilah sebuah potret kriminalitas di ibu kota. siswi slta itu dituduh membunuh seorang bocah. Kalung di leher iis belum jelas di tangan siapa.

19 Desember 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IBARAT bunga, Phinia Anatasia (bukan nama sebenarnya) sedang mekar-mekarnya. Tapi siapa nyana gadis berusia 17 tahun ini sejak pekan ini harus duduk di kursi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Phinia, yang terpaksa meninggalkan bangku sekolahnya di kelas II sebuah SMA negeri, ditimpa Jaksa dengan dakwaan berat: membunuh Iis. Kasus berdarah yang melibat Phinia ini berawal dari keriuhan warga bilangan Utan Kayu, Jakarta Timur. Kala itu, Minggu 9 Agustus silam, menjelang pukul 17.00, warga di situ menemukan Iis, 9 tahun, dalam keadaan sekarat. Tubuhnya tergolek di Gang Bacang, gang senggol penghubung Jalan Utan Kayu ke Jalan Pramuka. Kepala bocah itu berlumuran darah. Belum lagi pupus tanda tanya di kepala warga, tiba-tiba muncul Ade Wahyu Hidayat. Anak muda ini, setelah mendengar ribut-ribut Iis ditemukan, kemudian mengabarkan sebuah temuannya. Yakni, robekan kertas koran dan kayu kasau sepanjang 50 cm, yang sebagian masih dibungkus koran. Kedua barang itu terperciki darah. Menurut Ade, benda itu dibuang Phinia pukul 16.30, tidak jauh dari Iis tergeletak. Massa kemudian melarikan Iis ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Iis, yang terus koma, sempat berapa kali menyebut nama Phinia. Setelah dirawat selama dua hari, bocah itu meninggal. Biaya perawatannya Rp 300 ribu ditanggung para warga. Maklumlah, ayah Iis seorang penarik becak, sedangkan ibunya pencuci pakaian di rumah seorang tetangga. Warga bersama polisi lalu mencari Phinia, yang juga tinggal di daerah itu. Tapi remaja putri berbadan langsing dan berkulit hitam manis itu tidak berada di rumahnya. Belakangan diketahui ia ke Monas dengan menumpang ojek yang dikendarai Iskandar. Besoknya, Senin, Phinia ditangkap dan ditahan di Kepolisian Daerah Metro Jaya. Menurut Jaksa Darwis Lubay, yang ditugasi Kejaksaan Tinggi Jakarta untuk mengajukan kasus itu ke pengadilan, Phinia menghabisi Iis antara pukul 16.00 dan 16.30 pada Minggu itu. Di Gang Bacang, yang saat itu sedang sepi, Phinia dua kali menghantamkan kayu kasau ke kepala Iis. Beberapa saksi mengatakan, Iis terlihat terakhir kali bersama Phinia. Ibu Iis, Nyonya Srini, melihat anaknya itu pergi dengan Phinia pukul 15.30. Sebelum berangkat, Iis mengaku diajak Phinia ke sebuah toko swalayan. Sedangkan Ade Sudrajat sempat melihat Iis digandeng Phinia pada pukul 16.00. Tetapi setengah jam kemudian Phinia sudah balik lagi tanpa Iis. Persoalannya yang masih menjadi tanda tanya hingga sekarang, apa motif Phinia sampai gelap mata, kemudian tega menghabisi Iis seperti yang dituduhkan Jaksa. Jaksa Darwis cuma mengatakan, pada pukul 13.00, setelah menonton tivi di rumah bude Iis, Phinia duduk bersama Iis di bale-bale warung si bude. Waktu itu Phinia merangkul Iis dan memegangi kalung dua gram di leher bocah itu. Namun hingga kini kalung itu tidak jelas berada di tangan siapa. Dalam pada itu, keluarga Iis yakin sekali bahwa Phinia yang membunuh anak mereka. "Saya sudah melarang Iis tidak usah memakai kalung itu. Tapi, ya, namanya anak kecil lagi senang-senangnya," tutur Srini sambil menangis, lalu pamit untuk mencuci pakaian di tempat ia bekerja. Banyak warga juga punya keyakinan bahwa Phinia yang membunuh Iis. Menurut tiga warga di situ, Phinia dikenal nakal, terbiasa hidup "wah" dan kecanduan obat terlarang. Ayahnya, Mursyid Rum, pensiunan tentara, mereka sebut telah kawin lagi. Kehidupan sehari-hari keluarga Phinia dan empat saudaranya ditunjang dana dari kocek si sulung. Toh Mursyid menyebut tuduhan kepada anaknya itu fitnah belaka dari mereka yang tak suka kepada dirinya. "Saya pernah menjadi ketua RW di sini," ujarnya. Buat Mursyid dan pembela Phinia dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Irianto Subiakto, jaksa cuma mereka-reka saja perbuatan Phinia pada selang waktu pukul 16.00 sampai 16.30 itu. "Padahal nggak ada yang betul-betul melihat kejadiannya. Jadi mereka berasosiasi saja, main paksa kejadiannya harus seperti didakwakan jaksa," kata Phinia ceplas-ceplos. Keceriaan gaya remaja gadis itu tak pernah pupus. Ia kerap berbicara sembari menolehkan pandangannya ke arah pengacaranya. Menurut Phinia, seperti ditirukan Irianto, pada hari kejadian, pukul 16.45, ia menemukan Iis tertelungkup berlumur darah di Gang Bacang. Ia juga sempat memegang kayu kasau terbungkus koran yang diliputi noda darah. Ketika itu, pengakuannya, ia dalam perjalanan ke rumah temannya di Jalan Percetakan Negara. Tapi sewaktu hendak menolong Iis, Phinia mengaku melihat seorang pemuda berambut gondrong di ujung gang. Pria tersebut terus memperhatikan tindak-tanduk Phinia. Karena takut dituduh macam-macam, Phinia lalu kabur naik ojek ke Monas. Namun Phinia enggan menjelaskan siapa pemuda gondrong itu. Begitu pula kenapa ia harus kabur, padahal Iis sudah dikenalnya. Di sinilah celah masuknya tuduhan jaksa: dialah yang membunuh Iis. Lebih dari itu, ada alibi lain. "Baik bercak darah di topinya yang tertinggal di vespa Iskandar, maupun bercak darah di robekan koran dan di kayu kasau itu sama dengan darah korban," kata Darwis. Jaksa ini mengaku ekstra hati-hati menangani kasus ini karena Phinia terhitung usia belia yang masih punya masa depan. Kini tinggal jaksa memperkuat pembuktian dakwaannya, lewat keterangan 18 saksi yang didengar mulai pekan ini. Mungkinkah Phinia punya alibi kuat? Atau ia dan pengacaranya bisa menghadirkan si Mister X, pemuda gondrong itu? Inilah sebuah potret perilaku kriminalitas di Ibu Kota. Happy Sulistyadi dan Nunik Iswardhani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus