Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Nasib demokrasi lokal

Demokrasi menurut konsep minang, menjadi unit dasar politik, administrasi pemerintahan dan ekonomi. tetapi tidak mendapat kesempatan untuk mempengaruhi sistem politik nasional.

19 Desember 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERUNTUNG saya dapat melihat perkawinan ala Minang di Padang beberapa waktu lalu. Ketika sang pengantin datang dalam pakaian adat -- yang mengingatkan saya pada cerita Siti Nurbaya -- semua orang berdiri. Alunan lagu Marapulai menggema. Sesuai dengan isi lagunya, penganten itu basandiang duo di kursi pelaminan yang meriah. Di seberang halaman rumah, di bawah tenda khusus, duduk sekelompok orang dengan pakaian kebesaran adat. Tampak berwibawa. Itulah para penghulu dan ninik mamak, penjaga keutuhan adat yang diturunkan dari Luhak nan Tigo di wilayah perbukitan Merapi dan Singgalang. Merekalah wakil dari suatu "Dunia Lama" (Alam dan Adat Minangkabau), liat bertahan baik dari paneh (panas)-nya matahari dan dari lapuak (lapuk) tersiram hujan. "Keangkeran" wajah itu sedikit buyar ketika mereka diminta bergambar bersama dengan Hasan Basri Durin, Gubernur Sum-Bar, yang hadir dalam acara baralek gadang (pesta besar) itu. Serta-merta saya mengambil kesimpulan bodoh: daya liat adat relatif mengendur di hadapan "wakil negara", kekuatan supra-adat. "Pastilah mereka," ujar saya kepada seorang teman urang awak, "akan tunduk kepada keinginan Gubernur." "Belum tentu," tukas teman saya cepat. "Penghulu dan ninik mamak adalah kalangan independen di sini. Makanya seorang bupati tak berhasil merenovasi sebuah pasar tua," tambahnya. Pasar yang tegak di atas tanah nagari itu (tanah adat dan di bawah kontrol penghulu) memang hingga kini tak bisa dirasuki kekuatan luar. Atas dasar adat, mereka punya hak menolak intervensi siapa pun, termasuk negara. Konsep nagari dan realitas lembaga itu sendiri mengandung apa yang bisa disebut cikal-bakal demokrasi. Dalam konsep Minang, ia bukan saja unit budaya terkecil, tapi juga unit dasar politik dan administrasi pemerintahan serta ekonomi. Konsep itu mengajarkan tidak ada kekuasaan lain di atasnya. Tiap nagari merupakan republik mini yang otonom. Maka Ranah Minang dengan gugusan nagari-nya merupakan bunga rampai satuan politik yang terpencar-pencar. Secara struktural, formasi kekuasaan ini hanya mengikuti garis horizontal dan "menolak" garis vertikal. Kegagalan Bupati Tanah Datar merenovasi pasar di atas adalah contohnya yang paling telanjang. Dalam konteks ini pula kita bisa memahami mengapa gagasan federalis kuat terpatri di kalangan kaum intelektual dan negarawan Minang masa lalu, seperti terlihat pada Hatta, Sjahrir, Natsir, atau Takdir Alisjahbana. Tapi dapatkah "demokrasi lokal" seperti ini menyumbangkan sesuatu pada tingkat nasional? Untuk menilainya, mungkin pengalaman Inggris perlu dilihat. Seperti yang dikatakan Sir Alfred Zimmern, demokrasi negara imperium itu juga lahir secara alamiah. Sifat kepulauan negara itu membebaskannya dari kebutuhan membangun organisasi ketentaraan besar. Akibatnya, lembaga-lembaga lokal (mungkin semacam nagari) bebas berkembang. Jadi cikal-bakal demokrasi lokal telah terbentuk. Bedanya dengan Minang adalah faktor "kebetulan sejarah". Akhir abad ke-12, ketika Raja Inggris Richard I berada di luar negeri, Hurbert Walter, pejabat eksekutif, mengambil keputusan politik penting: melaksanakan (wewenang) Perdamaian Raja dengan bertumpu pada dukungan masyarakat desa dan kota. Dengan terjaminnya perdamaian internal, jalan menjadi terbuka pada abad ke-13 untuk mengembangkan pemerintahan parlementer. Parlemen yang pada mulanya berasal dari lembaga-lembaga lokal itu, melalui serangkaian pertarungan pada tahun 1832, 1867, 1888, 1918, dan 1928, bukan saja kemudian berhasil menggeser posisi raja atau ratu, tapi juga menjadikan Inggris sebagai negara demokrasi parlementer. Di sini "demokrasi lokal" oleh sejarah diberi kesempatan mempengaruhi sistem politik nasional. Untuk konteks Minang, seperti juga di berbagai daerah lainnya seperti Bali, sejarah tampaknya belum memihak. Kekayaan pengalaman dan budaya lokal yang berbau "demokrasi" semacam itu (seperti pernah digali Hatta, juga Soekarno untuk "demokrasi terpimpin"-nya) seakan kehilangan pijakan ketika tradisi itu berhadapan dengan sistem politik nasional. Dalam masa ketika Richard I berada di luar negeri -- mengambil perbandingan secara serampangan antara pengalaman Minang dan Inggris -- tidak ada "Hubert Walter Minang" yang muncul. Melainkan Belanda. Rezim ini membiarkan "demokrasi" itu mandek. Awal kemerdekaan, sejarah sedikit "membuka pintunya" ke arah itu. Karena pada 1946, di Harian Keng Po, dalam kapasitasnya sebagai wakil presiden dan seakan seperti "Hurber Walter Indonesia", Hatta memberi angin dengan mengatakan otonomi daerah adalah sasaran demokrasi berikutnya. Toh peristiwa politik nasional yang masih berdempetan dengan kekuatan kolonial telah menutup kembali kesempatan bersejarah itu, terutama ketika Van Mook secara sepihak membangun negara-negara federalnya sendiri. Akibatnya, setiap gagasan federalisme mendapat cap Van Mookisme. Kini, di masa Orde Baru, gerak negara -- sebuah kekuatan memusat dengan daya kontrol menyeluruh -- yang ekspansif, seakan-akan menebas gapaian ujung jemari tradisi musyawarah lokal yang mencoba menawarkan dirinya sebagai model. Semangat "integralisme" yang masih sangat bersifat "elementer" itu kini justru telah menjadi kenyataan sejarah. Dan kita mungkin "hanya bisa" terpana dengan keliatan nagari menolak otoritas luar yang bertentangan dengan adat. Tapi tidak seperti pengalaman Inggris, "pintu sejarah" seakan menutup kesempatannya untuk mempengaruhi sistem politik nasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus