SI Raja Kayu Jos Soetomo resmi ditahan Kejaksaan Agung. Ada yang
mengaitkan penahanan itu dengan persaingan dagang. Sumber lain
menyebutkan penahanan itu justru karena campur tangan seorang
pejabat tinggi negara yang tak setuju pengusaha itu diusut. Tapi
dari semua itu yang pasti penahanan Jos Soetomo karena tuduhan
berat: korupsi. Jos dituduh memanipulasikan pajak perusahaannya
sehingga negara dirugikan Rp 6 milyar.
Tuduhan itu masih harus dibuktikan. Yang jelas penggunaan
undang-undang tentang kejahatan korupsi untuk kalangan swasta
dan untuk perbuatan-perbuatan seperti kasus pajak itu mengundang
kritik. Kali ini kritik muncul dari Prof. Oemar Seno Adji, yang
punya andil besar ketika undang-undang no. 3/1971 itu
ditelurkan. "Tidak ada maksud semula untuk menggiring perbuatan
pidana lain ke dalam delik korusi itu," ujar Oemar Seno Adji,
memberikan prasaran pada simposium yang diselenggarakan Persahi
(Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia) di Hotel Kartika Chandra,
dua pekan lalu.
Guru besar FHUI itu melihat pelaksanaan undang-undang
antikorupsi itu sudah diperluas dari maksud pembuat
undang-undang. Misalnya tampak dalam kasus Pluit dengan tertuduh
Endang Wijaya, kasus penyelundupan, dan terakhir kasus
manipulasi pajak. "Ada kecenderungan memaksakan pelanggaran
peraturan pidana lain ke dalam lingkungan korupsi," ujar Seno
Adji. Padahal, katanya, ada peraturan pidana lain untuk
masing-masing, seperti peraturan perpajakan dan pidana ekonomi.
Bekas ketua mahkamah agung itu memang tidak sepenuhnya
menyalahkan pelaksana hukum - khususnya kejaksaan. "Rumusan
pasal itu membuka peluang untuk ditafsirkan secara luas,"
katanya.
Tapi profesor itu tidak bisa menerima kalau penafsiran itu
sampai tidak terkendali. Misalnya, menurut Seno Adji, subyek
untuk undang-undang korupsi itu jelas: Walaupun dalam perumusan
pasal I ayat I sub a dalam undang-undang itu disebutkan "barang
siapa", dalam penjelasannya jelas ditunjuk subyeknya, pegawai
'negeri. "Maksud kami mengeluarkan undang-undang itu dulunya
juga untuk pegawai negeri saja," ujar Seno Adji kepada TEMPO.
Sebab itu, tindakan jaksa menggiring swasta dengan undang-undang
itu sangat disesalkan.
Perumusan unsur-unsur lain dalam pasal itu, seperti "melawan
hukum" dan "memperkaya diri sendiri", tidak disetujui Seno Adji
jika ditafsirkan untuk segala macam kasus yang sudah diatur
dalam perundang-undangan yang khusus. "Jelas pasal itu tidak
bisa dipakai untuk pelanggaran pajak, karena untuk itu sudah ada
undang-undang perpajakan," kata Seno Adji.
Begitu pula tentang "memperkaya diri sendiri". Banyak jaksa,
menurut Seno Adji, yang mengartikan unsur itu dengan terjadinya
tambahan kekayaan atau perubahan cara hidup seorang tertuduh.
Padahal, dalam penjelasan undang-undang itu, menurut Seno Adji,
disebutkan bahwa atas perintah hakim, seorang terdakwa
diwajibkan memberikan keterangan atas tambahan kekayaannya. Dan
tambahan kekayaan itu, menurut guru besar itu.lagi, harus
dibuktikan pula oleh jaksa dan hakim di persidangan.
Kritik-kritik Seno Adji itu mendapat sambutan hangat dari
peserta simposium itu. Banyak yang seolah baru tersadar,
tindakan kejaksaan selama ini membabat pihak swasta sebagai
suatu kesalahan. "Jangan-jangan jaksa mencari gampangnya saja
agar mudah membuktikan tuduhannya," kata seorang peserta. Yang
pasti, jika tidak menggunakan undang-undang dan acara khusus
seperti undang-undang antikorupsi itu, jaksa tidak berwenang
lagi mengusut kasus-kasus seperti Jos Soetomo itu.
Jaksa Agung Ismail Saleh belum berkomentar atas kritik Seno
Adji. Tapi seorang staf ahli Kejaksaan Agung yang jadi pembahas
di simposium itu, Sadili Sastrawidjaja, tidak dapat menerima
sepenuhnya pendapat Seno Adji. "Jika memang maksud undang-undang
itu hanya untuk pegawai negeri, tentulah tidak sulit bagi
pembuat undang-undang untuk mengganti istilah barang siapa
menjadi pegawai negeri saja," ujar Sadili. Jaksa senior itu
tidak melihat dalam perumusan pasal perundang-undangan itu kata
"barang siapa" dikaitkan dengan jabatan atau kedudukan seseorang
sebagai pegawai negeri. Sadili, bekas jaksa agung muda bidang
operasi, juga tidak melihat batasan bahwa delik korupsi itu
hanya dapat dilakukan pegawai negeri.
Simposium itu memang tidak menyimpulkan sesuatu. Tapi, persoalan
kasus apa saja dan siapa saja yang bisa terjaring undang-undang
antikorupsi memang sudah lama jadi soal di persidangan. Beberapa
penyelundup yang diajukan kejaksaan ke pengadilan dengan tuduhan
subversi dan korupsi ada yang bebas dan ada yang terjirat.
(TEMPO, 28 Januari 1980). Anehnya, hakim yang sama bisa
memutuskan kasus penyelundupan dengan penafsiran yang
bertentangan.
Kasus penyelundup tekstil terbesar dalam perkara "902", Liem
Keng Eng (almarhum) dan adiknya Liem Keng Yan, misalnya,
dibebaskan Pengadilan Tinggi Jakarta karena tidak terbukti
korupsi. Alasan hakim waktu itu, kedua pengusaha EMKL itu tidak
termasuk subyek dari tindak pidana korupsi seperti yang dimaksud
undang-undang antikorupsi.
Sebelumnya (waktu itu) ketua majelis hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, Soemadijono, menganggap kedua orang itu terbukti
subversi dan korupsi. Tapi, ketika jaksa menuntut korupsi dan
subversi untuk direksi PT Insan Apollo, penyalur sepeda motor
Kawasaki, yang juga dituduh menyelundup, Soemadijono tidak
menerimanya. Orang-orang Insan Apollo itu hanya terkena pidana
ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini