PENDUDUK yang menetap di Kota Anggana yang tak berlistrik itu berhamburan ke luar rumah. Sabtu malam dua pekan lalu, ibu kota kecamatan di Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur, itu seketika terang benderang. Sinar yang merebak rupanya dari gedung Sekolah Dasar nomor 004, yang sedang dilalap si jago merah. Balai desa di sampingnya belum sempat terjangkau. Upaya memadamkan api yang menggila itu hanya berhasil menyelamatkan 2 lokal, dari 8 lokal belajar yang ada. Akibatnya, aparat setempat bmgung, karena harus menyediakan tempat belajar untuk 145 murid. "Saya tak tahu kenapa musibah ini menimpa kami," kata Nyonya Rusdiana, Kepala SD yang hangus itu, nyaris menangis. Polisi di sana semula masih sulit menguak tabir api itu. Listrik, yang biasanya dituding sebagai pembawa petaka, jelas tak mungkin. Suasana di sekolah itu dan lingkungan sekitarnya juga aman-aman. Hubungan murid dengan guru selama ini harmonis. "Murid kelas VI lulus 100 persen. Yang gagal naik kelas juga tak pernah ada yang protes," ujar Nyonya Rusdiana. Tiga hari setelah kejadian, sekitar 100 meter dari lokasi SD itu, kebakaran hampir terjadi lagi. Malam itu rumah Mumus, penduduk di situ, nyaris jadi sasaran. Dengan sigap, Iriansyah, petugas hansip yang sedang ronda, dapat mengatasi. Malah ia memergoki Marjuni berada di tempat kejadian. "Kedengaran ia gugup menjawab teguran saya," kata petugas itu. Hasil laporan Iriansyah inilah kemudian dijadikan dasar oleh polisi untuk menciduk Marjuni di rumahnya, subuh esok harinya. Sosok Marjuni memang sulit ditebak. Ayah tujuh anak ini sehari-hari bertugas sebagai satpam di sebuah perusahaan kontraktor minyak. Berperawakan kecil dan lusuh, lelaki 50 tahun ini rajin menjalankan salat lima waktu. Dari luar ia kelihatan alim. Kini dia dituduh. Apa memang dia biang main api itu? Menurut seorang anak lelaki Nyonya Rusdiana, sehari setelah gedung SD tersebut terbakar, Marjuni kepergok masuk rumah kepala sekolah itu, lewat pintu belakang. Malah temannya sekerja di Tiffco bercerita, jika Marjuni sedang bertugas malam, lebih dari lima kali pernah terjadi kebakaran kecil. Lelaki ini kelihatan sedang tertekan jiwa. Apalagi sekarang ia sedang menunggu kelahiran anaknya yang kedelapan. Padahal kehidupan ekonominya pas-pasan. Kalau benar begitu, kenapa dia suka main api? Menuruttdugaan beberapa penduduk Anggana, kepada TEMPO, perbuatan Marjuni yang suka main bakar itu, agar di tempat itu timbul kepanikan. Dan di saat begitu, kata mereka, leluasa pula Marjuni menggerayangi rumah penduduk untuk sasaran operasinya. Di depan polisi, Marjuni dengan lantang menyangkal tuduhan itu. "Biar dipukul sampai mati, saya tak akan mengaku," katanya, seperti dikutip Elisanti, anak Marjuni yang kelima. Pada saat kepergok Iriansyah itu, Marjuni berkilah. Justru ketika itu, katanya, ia ingin membantu memadamkan api yang sedang meletup-letup makin membesar. Tetapi polisi berpendapat sebaliknya. Menurut Waka Polres Bontang, Mayor Soeharto, tuduhan terhadap Marjuni memang membakar gedung sekolah itu. "Berkasnya sudah kami kirim ke kejaksaan," katanya kepada TEMPO Sabtu pekan lalu. Sehari setelah kejadian yang menimpa SD tersebut, satu tim dari Pemda Kutai dan Dinas P dan K datang ke Anggana. Mereka menjanjikan dalam waktu dekat gedung pengganti segera dibangun. Sedangkan 145 murid SD yang kehilangan tempat belajarnya itu sekarang memang agak terganggu. Sementara ini, mereka terpaksa menumpang tempat belajar di gedung SD nomor 008 yang letaknya tak jauh. Karena itulah satu-satunya bangunan SD yang masih tegar berdiri di Anggana yang dihuni 4.000 manusia itu. "Sambil menunggu dibangun gedung baru, sekarang murid-murid kami itu terpaksa masuk sore," kata Rusdiana, lesu. Gatot Triyanto, Laporan Rizal Effendi (Kal-Tim)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini