Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Eksekusi berdarah di Karang Dima

Ismail daha di sumbawa membunuh polisi serka nyoman mudastra dan kepala desa, buang. masalahnya, ismail tak mau beranjak dari rumahnya yang mana tanah rumah itu menurut pengadilan milik nurhayati.

22 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI bukan eksekusi model pengadilan yang biasanya tersendat. Tapi perlawanan Ismail Daha, 55 tahun, itu dengan kekerasan mau menghadang putusan hakim yang sudah dipalukan. Dan ulahnya, sebagai jagoan yang haus darah, dengan parang di tangan, pada 8 Agustus lalu, seorang polisi dan kepala desa tewas dibantainya. Seminggu sebelumnya, ketika Ismail sedang di ladang, dinding dan atap rumahnya habis dicopoti orang. Rumah itu ambruk bukan karena perbuatan sekelompok gerombolan, tetapi karena ada perintah dari Pcngadilan Negeri Sumba. Tindakan eksekusi itu dibantu 30 penduduk Desa Karang Dima, 6 km dari Sumbawa. Selagi Ismail sibuk memperbaiki rumah tadi, ia didatangi empat penduduk desa itu. Seorang di antaranyaa, Serka Nyoman Mutra, menegur dia. "Jangan lagi Bapak mendirikan rumah ini, karena sudah diekusi," kata Nyoman. Polisi yang berpakaian preman ini, hari itu, diampingi Buang, Ketut Surate, dan Madel. Mendengar teguran itu, darah Ismail ngelegak. "Selagi saya masih hidup, haram bagiku keluar dari rumah ini," katanya. Ayah empat anak itu kemudian mengeluarkan secarik surat dari kantungnya. "Lihat surat ukur tanah ini pertanda saya berhak tinggal di tanah ini," katanya, seraya mengibar-kibarkan kertas tersebut ke muka Nyoman. Nyoman ngotot. Sekonyong Ismail mengayurikan parang yang tadi terselip di pinggangnya. Kedua tangan polisi itu terluka ketika ia mengelak parang. Karena itu, Nyoman mencabut pistol dari balik bajunya. Nahas. Senjata itu lepas dan jatuh ke tanah. Dengan sigap Ismail menerkam Nyoman. Lalu keduanya terlibat pergumulan. Dalam saat kritis itu, muncul Yamin, 22 tahun. Anak Ismail itu kemudian berulang kali mengembatkan parang pendek tersebut ke tubuh Nyoman. Darah mengucur dari kepala dan tengkuk polisi itu. Ia terkulai. Dan Surate, yang berniat membantu, setelah mengambil kayu bulat, kontan lari etika melihat pistol Nyoman sudah pindah ke tangan Ismail. Merasa di atas angin, kini Ismail menguber Buang, 65 tahun. Kakek 10 cucu itu dengan gampang dikejarnya. Kendati sudah berlutut dan meminta-minta ampun, Kepala Desa Karang Dima itu terus dikerjai Ismail. Kepala Buang, yang nyaris tak berambut, bagaikan dikuliti petani gurem itu, hingga darah muncrat membasahi wajah dan bajunya. Kedua lengan Buang patah tebu diparangi Ismail. Bapak lima anak itu terduduk bersila. Kepalanya terangguk-angguk lemah, dalam sakarat. Merasa berangnya yang tadi memuncak sudah terlampiaskan, kini Ismail dan Yamin berubah. Mereka dicekam ketakutan. Lalu keduanya bergegas lari, kemudian menyetop mobil penumpang di tepi jalan raya. Tapi Madel, yang duluan ngacir tadi, sudah muncul di situ -- setelah ia memanggil tentara dari asrama militer di kawasan terdekat. Ismail dan Yamin diringkus, lalu diserahkan pada polisi di Sumbawa. Dalam pada itu, Nyoman dan Buang sempat dilarikan ke rumah sakit. Tapi belum lagi sebotol infus habis dialirkan ke tubuhnya, Nyoman mengembuskan napasnya yang terakhir. Pak Buang, malangnya, meninggal sebelum ia ditolong. Kisah berdarah ini berawal dari perkara perdata yang masuk ke Pengadilan Negeri Sumbawa pada Juli 1984. Waktu itu, Nurhayati menggugat Ismail karena menguasai tanah peninggalan ayahnya, Almarhum Mustafa, seluas 7 are. Tergugat kedua adalah Surate yang ikut menguasai tanah warisan itu seluas 5 are. Kedua tetangga Nurhayati ini kemudian mendirikan rumah mereka di atas tanah itu, sejak 1973. Dalam sidang, Ismail bersikeras. Katanya, tanah itu diperolehnya dari pemberian Mustafa, semasa masih hayat. Tapi menurut Ketua PN Sumbawa, Sjamsoeri, S.H., kepada TEMPO, "Ismail tak punya bukti yang menguatkan haknya atas tanah itu, baik berupa saksi maupun dengan surat yang berkekuatan hukum." Karena itu pada Desember 1984, pengadilan mengembalikan hak Nurhayati atas tanah itu. Terhadap kedua tergugat diperintahkan hakim untuk segera membongkar bangunan rumah mereka dari tanah terperkara. Surate, yang menyadari kekalahannya, segera menebus tanah itu. Ia membayar Rp 350 ribu kepada Nurhayati. Sebaliknya, dengan Ismail. Orang ini malah berkelit dengan macam-macam kilah. Misalnya, ia berdalih belum punya rumah untuk bisa mengosongkan tanah bekas sengketa itu. Padahal, pada akhir tahun lalu, tanah itu diketahuinya sudah dibeli oleh Nyoman seharga Rp 600 ribu dari Nurhayati. Tapi eksekusi atas putusan itu sempat berlarut-larut. Barulah pada 1 Juli 1987 lalu, PN di sana mengeluarkan penetapannya: Ismail harus segera mengosongkan tanah itu. Untuk menghindari bentrokan fisik, eksekusi dilakukan pada 1 Agustus lalu. Dan itu tatkala Ismail sedang sibuk di ladangnya. Namun, walau rumah itu sudah gundul tanpa dinding dan atap, Ismail dan anak bininya tetap ingin bertahan menghuninya. Celakanya, lelaki yang ditakuti orang di desa itu, karena disebut-sebut punya sabuk jimat yang tahan tikam, sepekan kemudian membangun lagi rumahnya yang sudah dirobohkan itu. Nyoman, tentu saja, tak enak. Hari itu juga, polisi yang masih bujangan itu mengajak Buang mencegah tindakan Ismail. Tapi jawabannya, paranglah yang mereka terima dari Ismail. Ketika dihubungi TEMPO, Kapolres Sumbawa, Letkol Suprihadi, mengatakan, "Bersabarlah. Saya belum melapor kepada Kapolwil Nusa Tenggara Barat. Keterangan lengkapnya belum bisa saya berikan sekarang." Polisi sedang menginterogasi Ismail dan Yamin. Sembari menunggu proses pidana ke pengadilan, ayah dan anaknya itu dititipkan di LP Sumbawa. Dan Ismail kini sering termangu-mangu. Jagoan di desa peladangan itu memang tak bisa lagi menghadang pembongkaran rumahnya. Ia kalah melawan hukum. Bersihar Lubis, Laporan Supriyanto Khlaid (Mataram)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus