Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Australia: buminya diinjak ...

Banyak pendatang asal Sum-Bar bermukim di Australia. Menunjukkan orang minang tak pernah dirongrong rasa cemas karena tidak bisa beradaptasi di lingkungan asing. Sesuai tradisi merantau budaya minang.

12 Maret 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIAM-diam, jalur rantau masyarakat Minang sudah semakin panjang. Kini telah mencapai Australia. Benua Kanguru nun di selatan itu tidak lagi terlalu jauh bagi urang aqak. Di Sydney saja ada ribuan perantau dari Sumatera Barat yang bekerja seraya menimba pengalaman. Ternyata, perpanjangan jalur rantau itu sudah lama berlangsung. Paling tidak sejak 20 tahun lalu. Namun, baru akhir Februari lalu terbetik ke tanah air, dan tentu saja menarik perhatian. Picunya: berita penahanan 48 imigran dari Sumatera Barat di Villawood Migrant Detention Centre, kantor imigrasi Australia. Semua imigran yang terjaring di Sydney ini akhirnya diminta meninggalkan Australia. Kelompok pertama, yang terdiri atas 31 orang, pekan lalu sudah sampai di kampung halamannya. Hanya lima yang dideportasikan, karena tidak memiliki cukup uang. Selebihnya, 26 orang, pulang secara sukarela, karena memiliki tiket pesawat terbang. Kelompok kedua, yang berjumlah 17 orang, hingga kini masih menjalani pemeriksaan. Andrew McCornaghy, pejabat imigrasi di Sydney, mengemukakan bahwa imigran dari Sumatera Barat itu melanggar undang-undang imigrasi Australia, karena mereka tak mempunyai izin menetap. Mereka masuk dan bekerja di Australia dengan visa turis, yang berlaku hanya 6 bulan. Menurut pejabat itu, mereka yang pulang sukarela terkena embargo memasuki Australia selama 1 tahun saja, yang dipulangkan terkena lima tahun. Yang lebih menarik perhatian ialah 37 dari 48 imigran yang ditahan itu berasal dari Desa Guguak Tinggi dan Guguak Randah, Kecamatan Ampek Koto, Kabupaten Agam, Bukittinggi. Di Australia mereka bekerja di berbagai bidang. Penghasilan rata-rata, AUSS 300 (sekitar Rp 360.000,00) per minggu. Tradisi merantau ke Australia memang sudah berakar di Guguak Tinggi dan Guguak Randah. "Sudah banyak warga saya merantau ke Australia," ujar Asli Yahya, Kepala Desa Guguak Tinggi. Menurut Yahya, kadang-kadang bahkan sampai tujuh keluarga sekali berangkat. Umumnya mereka tidak bermaksud menetap, tapi sekadar mencari uang, dalam masa kerja enam bulan sampai beberapa tahun. Mereka sebagian memang tidak memiliki visa menetap, tapi Jarang-jarang tertangkap. Yahya berkisah, Australia menarik perhatian penduduk Kampung Guguak Tinggi dan Guguak Randah, karena kabarnya di sana ada tambang emas. Warga kedua desa itu bukan tertarik untuk menambang, tapi untuk bekerja sebagai perajin. Kecamatan Ampek Koto memang sejak dahulu terkenal karena kerajinan emas. Hampir semua pandai emas di Bukittinggi - 4 kilometer dari kecamatan itu - berasal dari Guguak Tinggi dan Guguak Randah. "Demam merantau ke Australia mulai menderas di tahun 1974," ujar Yahya. "Ketika itu harga emas naik tinggi, hingga banyak usaha kerajinan emas jatuh." Karena kehilangan pekerjaan itu terpikirlah mencari pekerjaan di Australia. Siapa tahu, di sana emas lebih stabil harganya. Yahya tak tahu persis berapa banyak warganya yang tetap menjadi perajin emas di Australia, dan berapa banyak yang bekerja di bidang lain. Namun, apa pun kerjanya, rata-rata mereka berhasil. Setelah beberapa tahun, mereka biasanya kembali membawa hasil jerih payah yang terbilang lumayan. "Dari kerja beberapa bulan saja, banyak di antaranya pulang membawa hasil sampai jutaan rupiah," ujar Yahya. "Cukup untuk dijadikan modal berdagang di Bukittinggi." Di Guguak Randah keadaannya sama saja. "Di sini pemuda-pemuda yang menganggur hampir tak ada lagi, karena semua mencoba peruntungan di Australia," ujar Endry Endi, Sekretaris Desa Guguak Randah. Ada beberapa yang sudah sepuluh tahun tinggal di Australia. Mereka sudah mendapat visa menetap. Dasnil, misalnya, yang bekerja sebagai instruktur silat di Sydney. Juga Edi Parnandes, yang bekerja sebagai guru bahasa Indonesia. "Sampai anak-istri sudah mereka bawa ke sana," ujar Endry lagi. Tuah dolar Australia sudah pula terasa diGuguak Tinggi dan Guguak Randah. Kedua desa bertetangga yang luasnya 120 hektar dan berpenduduk sekitar 5.000 jiwa itu kini tampak makmur. Sawah yang tersisa di sana tak sampai 20 hektar, sementara bangunan dan kendaraan bermotor memadati hampir semua pelosok, membuat kedua desa itu terlihat seperti kota kecil. Inilah bukti konekret bagaimana kaum perantau tak lupa bakirim pitih (mengirim uang) ke kampungnya. Mencari peruntungan ke Australia, menurut sosiolog kenamaan Mochtar Naim, tak bisa dilepaskan dari tradisi merantau pada budaya Minang. "Merantau adalah satu upaya untuk memproses diri menjadi matang dan dewasa," ujar peneliti tradisi merantau masyarakat Minang itu. "Ini ikhtiar memperkaya diri dengan pengalaman dan tantangan hidup." Menurut Naim, pemuda Minang yang tak sempat merantau biasanya dilanda rasa rendah diri. Namun, menurut dia, daya tarik Australia tidak melulu tantangan merantau. "Kemungkinan mengumpulkan uang adalah aktor obyektif yang ikut merangsang terjadinya migrasi ke sana," katanya. "Yaa, di mana ada gula, di situ ada semut." Kata Naim, tradisi merantau sebenarnya lebih bertujuan mencari ilmu pengetahuan, tapi, pada kenyataannya, tujuan berdagang dan mencan uang Juga ikut menonjol. Keberanian merantau ke Australia menunjukkan bagaimana orang Minang tak pernah dironerone rasa cemas karena tidak bisa beradaptasi di lingkungan asing. Kemampuan menyesuaikan diri dengan cepat di tanah rantau ini adalah salah satu sifat yang menunjang tradisi merantau. "Orang Minang mempunyai sikap hidup yang tercermin pada pepatah, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, di situ air disauk, di situ ranting dipatah," kata Naim, menjelaskan. Kisah Amran, Rudi, dan Hamid, tiga perantau yang baru saja pulang dari Australia, bisa dijadikan contoh keberanian yang dimaksud Naim. Ketiganya termasuk perantau yang ditahan di kantor imigrasi Australia, tapi akhirnya pulang secara sukarela. Dari ketiganya, hanya Amran yang sedikit menguasai bahasa Inggris, hasil kursus 6 bulan. "Tapi kami tak pernah mencemaskan bahasa," ujar Rudi. "Paspor bisa menjawab dari mana kami dan mau ke mana." Entah bagaimana cara mereka berkomunikasi, tapi ketiga perantau yang berangkat lewat Singapura itu dengan mudah mendapat pekerjaan di Sydney. "Dengan petunjuk teman, kami mulanya disuruh mencoba," kata Amran. "Kalau keterampilan tidak memadai, seminggu kemudian dikeluarkan." Ternyata, ketiga pemuda yang ratarata berusia 25 tahun itu tetap bisa bekerja. Pemberi kerja yang tahu mereka imigran gelap, konon, puas dan senang. Bagaimana ceritanya sampai tertangkap? Ketiganya berkisah tentang acara kumpuJkumpul di Sydney, Januari lalu. Tujuan acara itu, mendirikan perhimpunan Minang Saiyo, organisasi perantau yang nantinya diharapkan bisa menjadi sarana dan wadah masyarakat Minang di Australia. Ketika itulah ada seorang rekan yang bertanya perihal perantau Guguak Tinggi dan Guguak Randah. Tanpa curiga, Amran dkk. menjawab, ada sekitar 300 orang. "Wah, kalau begitu, kalian bisa membangun kampung di sini," ujar Rudi, menirukan komentar si penanya. Ketiga perantau - yang paling awal ditahan - yakin benar, orang Itulah yang mula-mula membocorkan alamat-alamat perantau Kecamatan Ampek Koto. Namun, mereka menolak menyebutkan nama. "Pokoknya, pembocoran alamat-alamat itu karena iri," tutur Amran. Andrew McCornaghy dari kantor Imigrasi Australia membenarkan alamat imigran Gaguak Tinggi dan Gaguak Randah mereka dapat dari seorang "teman mereka". Andrew juga menolak memberi nama "informan" itu. Alamat rumah memang,inti rahasia imigran gelap di Australia. Hamid meceritakan, petugas imigrasi di sana selain memperlakukan mereka dengan baik ketika berada di tahanan, juga tak akan menangkap imigran gelap di sembarang tempat. Hanya bila yang bersangkutan ditemukan di rumah, sesuai dengan alamat rumah yang didapat melalui surat atau tanda lainnya. "Kalau bertemu di jalan, petugas tak menangkap," ujar Hamid. "Mereka malah menyuruh menghindar." Bila alamat tal ketahuan, aman menjadi imigran gelap di Australia. Pengalaman pahit ternyata tak mematikan nyali ketiga pemuda Guguak Tinggi itu. Semangat untuk "menaklukkan Australia" malah berkobar. Di samping itu, pekerjaan di sana memang menunggu. "Induk semang kami senang pada kami, dan berpesan, kalau semua sudah beres, agar kami cepat-cepat kembali ke Australia," ujar Hamid optimistis. Jim Supangkat (Jakarta), Fachrul Rasyid (Padang), Dewi Anggraeni (Melbourne)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus