Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung membeberkan alasan memeriksa sejumlah pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di kasus dugaan korupsi sub holding Pertamina. “Akan didalami dari sisi pengawasan seperti apa peran ESDM, ngawasin nggak?” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar, Kamis, 6 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah pejabat yang sedang atau pernah menjabat di Kementerian ESDM yang diperiksa antara lain: Direktur Jenderal Migas ESDM 2018 Djoko Siswanto, Dirjen Migas ESDM periode 2020-2024 Tutuka Ariadji, Dirjen Migas ESDM periode 2019-2020 Egi Syahril, dan Direktur Pembinaan Usaha Hilir Ditjen Migas ESDM berinisial MP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemudian ada ARH selaku Sub Koordinator Subsidi Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi Ditjen Migas ESDM, DM selaku Kepala Divisi Akuntansi SKK Migas, CMS Koordinator Subsidi Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi di Ditjen ESDM dan EED selaku Koordinator Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas ESDM. Kementerian yang saat ini dipimpin oleh Bahlil Lahadalia memang memiliki tugas pengawasan atas Pertamina.
Imbas kasus yang menjerat anak perusahaan Pertamina tersebut, Bahlil kemudian mengubah periode izin impor BBM yang semula berlaku satu tahun menjadi enam bulan. Izin impor BBM di Kementerian ESDM juga harus diperbaruhi satu tahun sekali.
Sebelumnya Ketua Umum Partai Golkar tersebut juga memberi penegasan bahwa kementeriannya hanya sebatas pengawas. "Sejauh ini yang saya pahami adalah implementasinya itu di Pertamina. Kami ini kan hanya sebagai fungsi pengawasan," ujar Bahlil kepada wartawan di Magelang, Jawa Tengah, Kamis, 27 Februari 2025.
Kejaksaan menemukan adanya mark up kontrak shipping dalam pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang yang dilakukan oleh Pertamina International Shipping sebesar 13-15 persen. Lalu di anak perusahaan Pertamina lainnya, PT Pertamina Patra Niaga penyidik menemukan adanya pengadaan RON 92, tapi yang datang justru RON 90.
Pertamina Patra Niaga diduga membeli minyak dengan harga research octane number (RON) 92 yang merupakan standar oktan untuk Pertamax, namun minyak yang dibeli sebenarnya adalah RON 90 dan RON 88. Mereka kemudian mencampur atau memblending atau mengoplos minyak RON 88 dengan RON 90, lalu ditambah zat tertentu agar menjadi RON 92.
Dalam korupsi ini kejaksaan menyebut ada kerugian negara sebesar Rp 193,7 triliun untuk periode tahun 2023 saja. Sementara pemeriksaan atas tindak pidana ini untuk periode sejak 2018. Ada 9 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, 6 di antaranya pejabat sub holding PT Pertamina, 3 lainnya merupakan broker dari pihak swasta.
Sembilan orang tersangka adalah Direktur Utama Pertamina Patra Niaga (PPN) Riva Siahaan, Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Sani Dinar Saifuddin dan Direktur PT Pertamina Internasional Shipping Yoki Firnandi. Kemudian Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya, VP trading operation PT Pertamina Patra Niaga Edward Corne dan VP Feedstock Management PT KPI Agus Purwono.
Kemudian Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Keery Andrianto Riza, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati dan Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede.