Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bermula dari niat untuk mendukung kesehatan sang suami, Ike Farida tak pernah menyangka keputusan membeli sebuah unit apartemen di Casa Grande Residence akan membawa keluarganya ke dalam konflik hukum yang melelahkan. Alya Hiroko Oni, anak sekaligus kuasa hukum Ike Farida bercerita, demi kenyamanan dan efisiensi, Ike dan suaminya memutuskan membeli sebuah unit apartemen dekat Kuningan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Waktu itu papa baru selesai operasi jantung. Dari rumah kami di Jakarta Timur ke kantor di Kuningan terlalu jauh, apalagi papa harus rutin ke rumah sakit untuk monitoring. Jadi mama bilang, kesehatan papa nomor satu,” kata Alya kepada Tempo saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 25 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ternyata, perjalanan mendapatkan hunian ideal itu penuh liku. Awalnya, promosi dari pihak pengembang terdengar sangat menggiurkan. “Marketingnya bilang, kalau kita bayar lunas, harganya spesial. Akhirnya, mama dan papa menguras tabungan 10 tahun dan bahkan pinjam uang agar bisa membayar Rp 3 miliar 50 juta untuk unit itu,” kata Alya.
Namun, masalah muncul saat tiba waktunya menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Pengembang apartemen tersebut, PT Elite Prima Hutama (EPH), menolak dengan alasan bahwa Ike Farida, sebagai istri dari warga negara asing (WNA), tidak memenuhi syarat hukum. “Tiba-tiba mereka bilang, karena suami mama WNA, PPJB tidak bisa dilakukan. Padahal kami hanya ingin semua berjalan sesuai hukum, tapi mereka terus mengulur waktu dan tidak mau memberikan kepastian,” ujar Alya.
Selain penolakan PPJB, pengembang juga menawarkan Akta Jual Beli (AJB) yang baru bisa dilakukan lima tahun kemudian. Hal ini, lanjut Alya, bertentangan dengan hukum, yang mengatur bahwa AJB harus segera dilakukan setelah PPJB ditandatangani. “Kami minta mereka menuliskan waktu lima tahun itu dalam perjanjian, tapi mereka tidak mau. Itu seperti mengakui kalau mereka salah,” ucap dia.
Situasi ini membuat keluarga Ike Farida berada dalam posisi sulit. Harapan memiliki hunian yang mendukung kesehatan malah berujung pada serangkaian masalah hukum. Akhirnya, kasus perdata ini berakhir ke ranah pidana dan membawa Ike Farida ke persidangan sebagai terdakwa kasus dugaan sumpah dan keterangan palsu. Bahkan, berujung pada kriminalisasi dan penangkapan yang dianggap tak masuk akal.
Alya mengenang masa-masa sulit sejak sengketa ini bermula pada 2012. Bukan hanya keluarga yang mengalami tekanan mental, tetapi Ike Farida sendiri berubah drastis. “Mama dulu selalu ceria, tersenyum lebih banyak. Sekarang aku lihat mama makin kurus, keriputnya bertambah, dan letih sekali,” kata Alya dengan mata berkaca-kaca.
Tak hanya itu, kebahagiaan sederhana seperti menghabiskan waktu bersama suami juga lenyap. “Papa dan mama yang biasanya selalu bersama, sekarang harus berpisah karena mama di penjara. Itu yang paling menyakitkan, waktu yang tidak bisa dibeli kembali,” ujar Alya.
Bagi Alya, kasus ini menjadi bukti bahwa hukum seharusnya melindungi, bukan malah menyengsarakan korban. Ia berharap, apa yang menimpa keluarganya menjadi pelajaran agar tak ada lagi pihak lain yang harus melalui pengalaman serupa. “Kasus ini bukan hanya tentang kami, tetapi tentang bagaimana hukum dijalankan di negara ini. Jangan sampai orang lain mengalami hal yang sama. Kami ingin menjadi korban terakhir,” tuturnya.
Awal niat baik untuk keluarga berubah menjadi malapetaka. Ike Farida kini mendekam di balik jeruji besi Rutan Pondok Bambu. Ibunya, lanjut Alya, ditangkap oleh sekitar 80 personel Polda Metro Jaya pada 4 September 2024. Menurut Alya, penangkapan ibunya tragis dan tak masuk akal. Sebab, tanpa pemanggilan apapun, penyidik menangkap Ike di Kedatangan Terminal III Bandara Soekarno Hatta dengan tindak kekerasan. Ike mendapatkan trauma psikis dan pendarahan dalam di kedua tangan, kaki, pendarahan di gigi dan bibir, serta lebam-lebam di sekujur tubuhnya.
"Dilakukan penahanan terhadap Mama. Padahal lagi-lagi, bukan pembunuh, bukan teroris, bukan apa-apa. Malah tidak pernah melakukan tindak pidana yang dituduhkan," tutur Alya.